Hendak dilihat seperti apakah (institusi) negara sekarang? Mungkin bagi para relawan yang kemarin ikut berjuang memenangkan Jokowi, negara haruslah menjadi representasi dari sebuah proses perjuangan kelas. Asumsinya, Relawan, aktivis dan sekian unit-unit sektoral yang (diklaim) berada di belakangnya, adalah kekuatan-kekuatan revolusioner yang telah memenangkan kompetisi dengan kaum borjuasi (elit). Walaupun, sejauh ini belum ada ledakan terjadi di setiap lokus sektoral di mana ketegangan-ketegangan hubungan produktif antara tenaga-tenaga produktif dan penguasa alat produksi, misalnya di pabrik atau di perkebunan tertentu. Sampai di sini, perebutan kekuasaan bisa dipahami sebagai Opsi perjuangan bukan ektensifikasi pasca kontradiksi sektoral.
Bagi sebagian orang, negara adalah lembaga otonom, baik terhadap kelas borjuasi maupun terhadap kaum proletar. Pandangan seperti ini sering di sebut paham Liberalis/Neo. Bagi Kelompok ini Negara adalah instrumen yang bertindak mewakili apa yang disebut kepentingan umum atau “Publik”, Di mana negara sebagai rahim pembentukan aturan bersama tentu adalah ruang di mana penindas dan tertindas bertarung. Praktek demokrasi dalam konteks negara seperti ini adalah ruang hidup mati antara kelas. Keluar dari pengapnya tindasan sektoral, masuk ke ruang politik sejenis ini hanya mengalami kepengapan dalam bentuk lain.
Baiklah mari kita berdiskusi dengan dua kutub pandangan ini. Maraknya “voluntarisme” politik nyata-nyata masih berlanjut pasca pilpres. Relawan tidak rela jika rejim yang mereka perjuangkan ini diambil alih oleh pihak-pihak yang dipandang sebagai musuh mereka, walaupun banyak cibiran bahwa hal ini karena sifat “ketidak relaan” dan “hasrat ingin ikut berkuasa” para relawan, namun sebagai bentuk dari sebuah upaya perjuangan maka ada baiknya kita lihat secara berbeda. Dalam konteks ini, menurut hemat kami, Kerelawanan politik belakangan ini bukanlah sekedar spontanitas sosial yang tak bermakna, namun merupakan akumulasi sadar dari kekuatan revolusioner massa yang menemukan salurannya melalui momentum Pilpres, layak disebut People Power sebenarnya.
Dengan demikian, identifikasi kelas atas geliat politik ini sebenarnya jelas, rakyat jelata. Namun karena adanya simpulan tak adil dari kesadaran sejarah yang ditanamkan oleh kekuasaan pada periode sebelumnya maka pergerakan seakan kesulitan menemukan penjelasan sistematisnya akibat ruang epistemologi perjuangan kelas yang telah dikotakkan di area “haram didiskusikan”.
Negara, dengan demikian adalah representasi dari perjuangan kelas yang berlangsung tanpa manifesto politik sebelumnya sehingga pada fase instrumentasi demokratiknya rawan direbut oleh pihak-pihak lawan. Fase yang paling krusial adalah fase pembentukan pemerintahan atau Kabinet, yang mana dengan kabinet inilah karakter kekuasaan akan dibentuk dan kebijakan dijalankan. Kalau, karakter kabinetnya lebih merupakan cerminan dari Negara yang Otonom, maka perjuangan politik kelas telah kalah di ujung pertarungan. Namun jika karakter kabinet lebih condong pada kepentingan kelas proletar maka inilah kemenangan kaum lemah.
Mengapa bisa sedemikian rupa, sebab perjuangan politik kelas proletar ini tidak memiliki institusi (partai) resmi, tak memiliki Manifesto politik, panduan strategi taktik maupun tokoh yang merupakan kesatuan dari organisasi dan ide-ide perlawanan rakyat. Secara ide, perjuangan spontanitas relawan ini tak memiliki basis yang solid pun juga tidak disertai dengan pembacaan yang matang pada kekuatan dan keadaan eksternalnya. Semuanya terlihat seperti cangkokan belaka, baik tokoh dan ide semua bersifat cair dan mudah dicerai-buraikan. Kita tahu, Jokowi bukan siapa-siapa di antara kaum proletar pejuang ini.
Bagi beberapa pihak, bahkan kondisi negara yang otonom pun, harus dimaknai sebagai bagian dari fase menuju revolusioner. Keadaan seperti ini masih diperlukan sebagai jalan ke arah itu. Namun, bagi kami apa yang selama ini terjadi pada masa pemerintahan SBY sudah menunjukkan keadaan negara yang seperti itu. Wajar jika status negara masih dikatakan sebagai bagian dari sistem Neolib, akan tetapi pen-status-an secara demikian hanya akan memiliki makna revolusionernya jika diletakkan dalam skema panjang tentang perjuangan politik. Jika hanya dibaca tanpa pintu keluar dan asal-usul pemberangkatan, maka negara yang seperti itu tak lebih hanya boneka penindas dari kekuatan-kekutan global. Perlu “Milestones” dalam perjuangan politik. Dan di sini kami yakin bahwa masih ada kelompok perlawanan yang masih memiliki model pembacaan yang demikian.
Terlepas dari kubu sebelah mana pada kontestasi pilpres beberapa waktu lalu, maka penting untuk memberi tema pada era perjuangan sekarang ini. Tentu melalui lembaga politik masing-masing yang kini telah mengerucut secara ideologis pada tiga pengelompokan, semoga tidak melempem nantinya,: 1) KMP yang sangat bisa menekankan pada isu-isu kerakyatan via lembaga koalisi legislatifnya. Dengan kekuatan dan cara pandang yang konon sangat anti asing, tentu sangat tepat jika aras politiknya adalah penekanan pada isu-isu kerakyatan, 2) Partai Demokrat yang mengklaim berposisi sebagai penyeimbang dengan pengalaman pemerintahan selama sepuluh tahun, tentu memiliki kapasitas dalam melakukan moderasi antara KMP dan KIH serta kemampuan untuk terus mendorong dan menguatkan konsolidasi demokratik, baik secara kelembagaan maupun secara substantif, 3) KIH, Koalisi yang juga menjadi tulang punggung pemerintahan ini tentu memiliki tugas berat, khususnya pada level konsolidasi nasional yang menuntut untuk penyatuan semua front untuk sebuah pukulan yang kuat pada sistem dan kepentingan global yang cenderung merugikan rakyat Indonesia. Hingga, pemerintahan yang terbentuk seharusnya adalah bentuk dari penyatuan front nasional tersebut. Front yang selama ini menempati posisi yang berpisah kini harus disatukan dalam pemerintahan yang merupakan representasi dari tenaga-tenaga revolusioner sektoral-sektoral. Dan jika Kabinet tak “berbau” ini, maka hora-hore politik tempo hari memang sekedar hora-hore, tak lebih.
Hingga pada akhirnya sore ini kita menunggu sebuah pengumuman tentang seperti apakah negara ke depannya bagi kita, kaum lemah ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H