Sebelum aku menuliskan artikel ini, aku mencoba menggunakan fitur pencarian untuk mencari tahu apakah ada yang telah menuliskan kegelisahan yang sama denganku terkait banyaknya iklan yang tampil di Kompasiana dan dirasakan mengganggu. Ternyata ada. Aku menemukan dua artikel. Artikel pertama berjudul Tata Letak Iklan Kompasiana Semrawut dan artikel kedua berjudul Iklan Kompasiana Mengganggu.
Aku rasa, ini menurut pendapatku pribadi ya, gais. Cara monetisasi kompasiana menggunakan iklan semacam Google AdSense maupun MGID itu kurang elegan, sih. Apalagi iklan-iklan itu ditampilkan berjubel saling tumpang tindih dengan konten lainnya yang membuat estetika website hancur berantakan. Disamping merusak nilai estetika, iklan-iklan yang beberapa diantaranya segede gaban itu juga mengganggu experience penggunanya.
Bukankah kenyamanan pengguna itu yang utama? Di zaman yang benih inovasi bergerak dengan begitu cepatnya seperti sekarang ini, tentu banyak sekali pesaing-pesaing bisnis melakukan banyak hal untuk merebut pangsa pasar Kompasiana. Berapa banyak yang telah mencoba membuat platform user generated Content (UGC) sejenis dengan berbekal teknik ATM alias Amati, Tiru, dan Modifikasi. beberapa diantaranya sudah gulung tikar karena sepinya peminat. Ada juga yang mengalami fase mati tak mau, hidup pun segan. Akan tetapi hal itu tentu saja tak cukup membuat pengelola berpuas diri dan merasa menang, to?
Banyak tulisan-tulisan yang menarik dan inspiratif di Kompasiana. Tak terhitung banyaknya informasi, pengetahuan, opini, dan hal lain yang dibagikan di sini. Hanya saja, ketika link itu dibagikan ke orang lain entah melalui sosmed atau aplikasi perpesanan, banyak yang akhirnya merasa tak nyaman membacanya karena tata letak iklan lebih ditonjolkan daripada isi artikelnya.Â
Iklan yang biasa mengganggu pengalaman pengguna dari handphone adalah iklan yang ukurannya memanjang ke bawah tipikal Skyscraper, menyulitkan pengguna untuk melakukan geser ke bawah atau atas. Iklan sticky atau melayang yang mengurangi area pandang atau area baca artikel. Autoplay video membuat akses konten terasa lambat. Iklan yang sangat jauh dari konteks artikel. Katakanlah artikel membahas tentang kiat berpuasa di bulan ramadhan akan tetapi iklan di sekitarnya yang muncul tentang cara membesarkan alat vital atau cara memperlama hubungan seks atau lainnya yang sejenis.
Aku tahu kalau Kompasiana telah menghadirkan layanan premium akan tetapi aku tidak tahu apakah ketika seorang member premium menulis artikel maka artikel itu tidak akan ada iklannya sama sekali di mana pun. Meskipun diakses member non premium sekalipun tetap tidak ada iklan?
Jujur saja, aku sendiri lebih banyak menulis di Kompasiana daripada membaca. Kalau diminta memilih, aku lebih memilih menulis sambil ditemani iklan daripada membaca sambil ditemani iklan. Maksudku begini: biarlah aku yang melihat banyak iklan asalkan orang yang berminat mengakses artikelku bisa dengan nyaman membacanya. Kalau ada iklan ya sewajarnya, lah. Jangan sampai terlalu mengganggu experience mereka. Kalaupun ada skema langganan premiun agar artikel kita bebas iklan diakses dari mana pun mungkin aku akan mengambilnya, kok. Yang penting mereka yang mau membaca merasa nyaman.
Aku memahami platform seperti Kompasiana membutuhkan dana operasional. Akan tetapi menurut pendapatku menggadaikan kenyamanan pengguna itu terlalu beresiko. Tidak kah ada cara lain yang lebih elegan? Tidak kah ada model bisnis lain yang cocok untuk mendukung platform ini agar tetap survive?
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI