A. Pembuka
Hari ini masyarakat kita sedang berpesta pora menikmati hari kemulian bagi umat muslim termasuk di dunia yakni hari raya besar agama islam Idul fitri. Dan pada ghalibnya ada momen istimewa di hari tersebut yakni tradisi mudik bagi masyarakat Indonesia.
Kata mudik menurut kamus KBBI adalah: 1. Berlayar/pergi Ke udik, ke hulu sungai, pedalaman; 2. Pulang ke kampung halaman.
Sedangkan Wikipedia mendefinisikan mudik adalah kegiatan perantau/pekerja migran untuk pulang ke kampung halaman. Suatu tradisi unik yang terjadi di Indonesia menjelang hari raya keagamaan seperi Idul Fitri, Â Idul Adha, Â Natal atau Tahun baru.
Tradisi mudik umumnya terjadi di negara Asia, terutama Indonesia yang menjadi fenomenal karena berpenduduk terbesar k-4 dunia dan mayoritas penduduk beragama islam. Bisa dibayangkan betapa sibuk puluhan juta penduduk bermigrasi sesaat dari daerah kota ke daerah. Sibuk dengan aktivitas transportasi baik melalui darat, laut dan udara, termasuk peningkatan aktivitas sektor lainnya baik perdagangan dari sisi ekonomi, juga sosial kemasyarakatan, dan lainnya.
Namun ada yang lebih menarik lagi selain tradisi mudik yakni aktivitas saat mereka berkumpul atau silaturahim dengan kerabat, saudara atau handai taulan yakni tradisi pemberian uang yang dikenal dengan Ang-pau.
Ada sebagian masyarakat atau ekonom menyatakan bahwa tradisi ang-pau merupakan budaya yang memboroskan uang dan tak memiliki dampak positif bagi ekonomi. Terutama bagi keluarga yang kekurangan, seolah ada pemaksaan keadaan untuk menyisihkan sebagian uang untuk dibagian kepada saudara-saudaranya.
B. Benarkah Tradisi Ang-Pau Suatu Pemborosan?
Kali ini saya tak membahas tradisi mudik sebagai fenomena ajaib yang membuat negeri kita over-heat dari sisi ekonomi dengan tejadinya inflasi hingga menembus dua digit. Tetapi saya lebih tertarik untuk membahas tradisi ang-pau yang dianggap sebagai membakar uang (burn money) sia-sia, karena tidak berdampak positif bagi ekonomi masyarakat.
Baiklah, saya akan menjelaskan secara sederhana dari dua kejadian untuk membantah stigma tersebut.
Momen pertama, ada sebuah keluarga memiliki 5 orang anak. Sang ayah memiliki uang sebesar Rp.1 juta, jika ia membagikan kepada anaknya, maka masing-masing akan mendapt uang sebesar Rp200 ribu.
Pada momen kedua, ada 5 keluarga yang berkumpul bersama. Jika setiap kepala keluarga mengeluarkan uang sebesar Rp1 juta, maka sang ayah akan membagikan ke anak-anak keluarga lainnya dan masing-masing anak akan mendapatkan sebesar Rp50 ribu.