Mohon tunggu...
Cak Kacung
Cak Kacung Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Terus bergerak untuk ilmu dan menata amal

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

PDIP dan Jokowi Dihantui Bayangannya Sendiri

15 Oktober 2014   22:38 Diperbarui: 17 Juni 2015   20:52 201
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Kemenangan PDIP pada Pemilu 2014 dianggap sebagai buah dari menjadi oposisi selama 10 tahun. Walhal, kemenangan PDIP pada Pileg dan kemenangan Jokowi pada Pilpres 2014 ibarat perayaan hari raya setelah puasa kekuasaan selama 10 tahun. Konsistensi PDIP dalam mengkritisi kebijakan pemerintah yang mereka anggap "tidak pro wong cilik" mampu menarik simpati rakyat.

Namun, situasi politik pasca Pemilu 2014 berbeda dengan pemilu-pemilu sebelumnya. Pilpres yang hanya diikuti 2 pasangan capres-cawapres menyisakan kontestasi yang seolah2 belum usai. Gesekan, konflik pilpres yang begitu panas membuat pihak yang kalah tidak mudah untuk menerima. Hal inilah yang memicu polarisasi kekuatan politik di parlemen. Kubu pendukung Prabowo-Hatta atau Koalisi Merah Putih (KMP) yang menguasai 353 kursi di parlemen (plus Partai Demokrat) atau 63% setidaknya telah meng-KO 5-0 koalisi kubu Jokowi-JK yang tergabung dalam KIH (Koalisi Indonesia Hebat).

Kekalahan terakhir pada pemilihan Pimpinan MPR membuat gusar kubu KIH. Takut diboikot di MPR yg membuat pelantikan Jokowi-JK mengalami hambatan. Belum lagi kekhawatiran akan mengalami kesulitan dalam melaksanakan program-program kampanye. Tentunya, dengan situasi politik parlemen seperti sekarang Jokowi akan dihantui impeachment sepanjang 5 tahun ke depan.

Ketakutan PDIP dan Jokowi adalah wajar. Meskipun impeachment presiden saat ini tidak semudah yang terjadi pada masa Gus Dur di tahun 2001. Saya mencoba menyelami suasana kebatinan PDIP dan Jokowi terhadap realitas politik ini.

Pertama, selama 10 tahun PDIP adalah motor penolakan terhadap kebijakan-kebijakan SBY, seperti soal kenaikan BBM, program BLT, konversi minyak tanah ke elpiji dll. Bahkan penolakan tersebut menjadi bagian kebijakan nasional DPP PDIP.

Kedua, konflik personal Prabowo vs Megawati-Jokowi yang belum selesai. Di antaranya, dokumen Batu Tulis yang membuat kubu prabowo meradang karena merasa dibohongi oleh Megawati. Pencapresan Jokowi membuat ketersinggungan Prabowo yang merasa pihak berjasa dalam proses pemenangan Jokowi sebagai Gubernur DKI Jakarta. Ibarat membesarkan anak harimau, Prabowo dilawan oleh orang yang dibesarkannya. Air susu dibalas air tuba…

Ketiga, PDIP terlena dalam eforia kemenangan Pileg dan Pilpres 2014. Gagap kemenangan inilah yg membuat jumawa kubu pendukung Jokowi. Merasa telah memenangkan hati rakyat, PDIP dan Jokowi lupa kalau ada kekuatan parlemen lebih besar di kubu sebelah. Hal ini diperparah sikap Megawati yang terus menutup diri terhadap kekuatan-kekuatan parpol lainnya. Hal ini berbeda dengan yang dilakukan SBY ketika memenangkan Pemilu 2004 dan 2009, SBY merangkul parpol-parpol dan elit-elitnya untuk diajak mengawal pemerintahannya. Bahkan partai gurem yang tidak lolos Parliamentary Treshold dirangkulnya.

Keempat, hal ini diperparah dengan lemahnya bargain position Jokowi di depan Bu Mega. Jokowi harus nurut apa kata Bu Mega dalam keputusan-keputusan strategis mempertegas bahwa Jokowi bukanlah seorang presiden tetapi hanya sebatas petugas partai (meminjam istilah Bu Mega). Meskipun Jokowi punya hak prerogatif sebagai presiden, tetap saja keputusan-keputusan strategis di tangan orang lain, Megawati – Tim Transisi – Surya Paloh - JK.

Kondisi internal yang tidak kondusif seperti ini membuat kegalauan politik Jokowi semakin meningkat. Jika Jokowi-JK tidak mampu melakukan rekonsiliasi dan konsolidasi kekuatan politik, elit-elit politik maka bayang-bayang mimpi buruk “Memori Kejatuhan Gus Dur” akan terus membayangi.

Jokowi melupakan satu hal, ‘untuk menjadi presiden, memenangkan hati rakyat saja tidak cukup, presiden juga harus dapat memenangkan hati parlemen’. Karena tanpa dukungan parlemen, terlalu banyak energi sia-sia nantinya. Pada 2009, SBY yang didukung oleh lebih dari 55% kursi parlemen dan lebih dari 60% suara pada Pilpres 2009 masih kewalahan untuk memimpin negeri. Ini bisa jadi pelajaran penting bagi pemerintahan Jokowi-JK ke depan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun