BBM Naik. Kas Negara Selamat, Rakyat Terjerat
17 November 2014, Presiden Joko Widodo menyampaikan pengumuman kenaikan harga BBM. Kondisi Kas negara serta dana cadangan yang dinyatakan dalam kondisi kritis, menjadi “motivasi” pemerintah untuk mencabut subsidi BBM yang berdampak kepada kenaikan harga BBM. Alasan lain pemerintah adalah subsidi yang tak tepat sasaran, tapi apakah benar 100% tidak tepat sasaran subsidi BBM tersebut? Jawaban saya, tidak. Banyak pengguna BBM subsidi yang memang orang-orang yang bisa dibilang berada di kelas ekonomi menengah kebawah.
Meskipun pemerintah menyampaikan kalau pencabutan subsidi BBM tersebut akan digunakan untuk beberapa sektor yang lebih bermanfaat untuk masyarakat dan akan dibarengi pemberian bantuan. Namun masyarakat sudah terlanjur merasakan dampak menyakitkan dari kenaikan BBM sebesar dua ribu rupiah dari harga sebelumnya ini. Mulai dari kenaikan harga sembako dan bahan pokok lainnya yang sangat fantastis. Salah satu contoh, Harga Cabe rawit di Jakarta ada yang mencapai Rp. 80.000 / kg, atau di Riau yang sempat seharga Rp. 150.000 / kg. Daerah lainnya juga mengalami hal yang sama. Selain harga Sembako dan Bahan Pokok, biaya lainnya pasti akan ikut naik. Misalnya tarif Angkutan Umum, Biaya makan di warung, belum lagi biaya kontrakan atau sewa rumah bagi para masyarakat pekerja yang bekerja tidak di daerah asalnya.
Banyak protes dari beberapa kalangan yang mempertanyakan kebijakan tersebut. Salah satunya dari Kwik Kian Gie, Menko EKUIN zaman Presiden Abdurrahman Wahid mempertanyakan kebijakan pemerintah tersebut. Bahkan Kwik juga menyatakan kalau harga enam ribu lima ratus pun, Pemerintah sudah untung. BBM bersubsidi itu pembohongan, subsidi itu kalau pemerintah mengalami kerugian, tapi ini pemerintah sudah untung (Inilah.com).
Pemerintah juga menyampaikan kalau akan ada Bantuan untuk masyarakat sebagai kompensasi dari kenaikan BBM. menurut saya kebijakan ini sangat tidak mendidik. Bantuan yang diberikan sama saja dengan BLT zaman Presiden SBY. Ini tidak mendidik, karena sama saja dengan mengajarkan rakyat untuk menunggu bantuan dan berebut bantuan. Lalu inikah yang dinamakan revolusi mental yang diusung Jokowi pada masa Kampanyenya?
[caption id="attachment_336737" align="aligncenter" width="490" caption="poskotanews.com"][/caption]
Katakanlah Kas negara selamat, tapi rakyat terjerat kehidupannya. Biaya hidup yang dibutuhkan oleh “wong cilik” akan semakin bertambah. Karena dampak yang dirasakan oleh mereka lebih terasa dibanding masyarakat ekonomi kelas menengah keatas. Mungkin benar kebijakan ini menyelamatkan kas negara, tapi bukan dengan kerja keras dan upaya pemerintah, tapi dengan “pengorbanan” rakyat, khususnya “Wong Cilik”. Lalu, dimana puluhan janji-janji kampanye presiden baru kita dulu yang dibilang lebih merakyat dan kebijakannya pro rakyat? Mungkin lupa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H