"We have always shared a common dream for Burma."
- Michael Aris -
Film dibuka dengan keindahan panorama Burma (baru berganti nama menjadi Myanmar pada 1989), diiringi dongeng tentang negeri itu yang dituturkan oleh Jenderal Aung San kepada anaknya. Pangkuan sang ayah pada 1947 itu adalah yang terakhir bagi Suu Kyi, Jenderal Aung San ditembak mati oleh tentara ber-syal merah tepat 6 bulan sebelum Burma merdeka. Scene berlanjut ke 1998, kala Michael Aris sudah mulai sakit, lalu meloncat mundur ke 1988 kala ia dan Suu Kyi masih hidup bersama di Inggris. Perpindahan scene ini terasa tidak nyaman bagi penonton, terutama bagi mereka yang awam dengan Suu Kyi. Saya sempat menduga film ini akan beralur maju-mundur dengan time background yang berubah-ubah, untungnya tidak. Setelah scene 1988, ketika Suu Kyi mendapat kabar tentang ibunya yang sakit di Burma, alur film berjalan maju dengan pengemasan yang cukup rapi.
Gambaran negatif tentang Burma sebenarnya sudah nampak dalam scene London 1988, kala Aris dan Suu Kyi menonton berita di televisi tentang kerusuhan pada aksi demonstrasi mahasiswa Burma. Perubahan suasana film benar-benar terasa kala Suu Kyi tiba di Rangoon: dimulai dengan kata-kata tegas bernada kasar, tatapan-tatapan penuh curiga, musik yang mencekam, serta adanya rasa was-was dari semua karakter di dalam film. Terlepas dari semua itu, sebuah kejadian di rumah sakit menjadi opening yang sangat bagus untuk mengawali segala pergulatan seorang Suu Kyi. Selanjutnya, sebagaimana yang sudah dicatat dalam sejarah, Suu Kyi diminta menjadi simbol gerakan oposisi yang dilakukan mahasiswa dan aktivis pro-demokrasi, turut serta dalam aksi damai besar-besaran di depan Pagoda Shwedagon, membentuk National League of Democracy (NLD), dan melakukan kampanye di berbagai pelosok Burma. Ironis, dalam kesibukan Suu Kyi berkeliling Burma untuk mengkampanyekan pentingnya demokrasi dan mempersatukan berbagai kelompok etnis di Myanmar, dia tidak berada di rumah saat sang ibu meninggal.
Meninggalnya sang ibu pada akhir tahun 1988 membuat pemerintah militer berkehendak untuk memulangkan Suu Kyi kembali ke Inggris, tetapi ia menolak dan menegaskan akan tetap berada di Burma hingga pemerintahan yang demokratis tercipta. Usaha Suu Kyi mendapat banyak hambatan, dimulai dari pencekalan kampanye NLD, penangkapan aktivis-aktivis pro-demokrasi, hingga 'memenjarakan' Suu Kyi sebagai tahanan rumah.
Disinilah kisah cinta dimulai!
Penahanan Suu Kyi membuatnya benar-benar terisolasi. Jika sebelumnya ia bisa menghubungi Michael Aris (suaminya) melalui telepon di kedutaan Inggris, maka setelah masa penahanan ia hanya diperbolehkan berkirim surat saja. Suu Kyi hidup berdua bersama seorang pembantu yang telah melayani keluarganya selama belasan tahun. Hari-hari awal masa penahanan dilalui Suu Kyi dengan mogok makan, ia melakukan itu hingga memperoleh jaminan bahwa aktivis-aktivis pro-demokrasi yang ditangkap oleh pemerintah militer tidak mengalami penyiksaan. Suami dan anak-anak Suu Kyi yang menemani selama beberapa hari awal masa penahanan tidak berhasil membujuknya untuk makan. Sang suami yang tidak tega melihat istrinya menderita tergerak untuk bernegoisasi dengan pemerintah militer guna mengusahakan jaminan keamanan untuk para tahanan politik.
Cinta sepasang kekasih penggemar politik asia tenggara ini kembali diuji setelah suaminya di deportasi dari Myanmar. Kemenangan Suu Kyi pada pemilu 1990 tidak memberikan dampak apapun, Suu Kyi tetap ditahan karena pemerintah tidak mengakui hasil pemilu tersebut. Kepulangan Suu Kyi ke Inggris pasca pemilu pun batal. Tidak berhenti disitu, sang suami mengusahakan agar dunia internasional mengenal Suu Kyi. Ia berjuang dengan melobi beberapa orang, mengumpulkan segala tulisan dan arsip tentang Suu Kyi, dan mengajukan nama Suu Kyi sebagai kandidat peraih nobel perdamaian. Dengan tujuan untuk mengangkat moral ibunya, Alexander Aris, anak pertama mereka, ditunjuk sebagai penerima nobel perdamaian dan mewakili sang ibu dalam penyerahan penghargaan. Iringan musikCanon in D menjadi soundtrack mengharukan dalam film ini.
Jika anda menyimak kata demi kata dalam film ini, maka banyak quotes menarik dalam dialog antara Suu Kyi dengan suaminya. Tidak hanya berfilosofi tentang politik, tapi juga tentang cinta dan impian. Nuansa romantis terasa begitu kental dalam dialog Suu Kyi dan Aris, tetapi mampu dihadirkan dengan lebih cerdas dan inspiratif oleh Rebecca Frayn selaku screenplay writer film ini. Salah satu quotes yang saya kenang dalam film ini adalah pembicaraan mereka tentang cinta, saat adegan di balkon rumah di waktu fajar. Michael Aris menyemangati Suu Kyi bahwa Burma adalah pemersatu mereka, dengan segala rintangan dan impian mereka berdua. Pertemuan di tahun 1995 itu menjadi kunjungan kelima pasca penahanan Suu Kyi sekaligus saat-saat terakhir Michael Aris di Myanmar.
Scene kembali ke tahun 1998 (awal film), kala Michael Aris divonis mengidap kanker prostat. Dokter memberikan vonis bahwa hidupnya tidak sampai 3 tahun lagi, Aris pun 'galau' apakah akan memberitahu Suu Kyi perihal sakit yang dideritanya atau tidak. Setelah menerima sepucuk surat dari Inggris, Suu Kyi langsung menghubungi suaminya. Dengan suara serak dan nafas yang berat Michael Aris menenangkan istrinya dan menjelaskan bahwa ia sedang mengusahakan agar bisa ke Myanmar secepatnya, dengan target waktu saat ulangtahunnya yang ke-53 pada 27 Maret 1999. Aris tidak berani menjanjikan karena setelah kunjungan terakhirnya pada 1995, permohonan visa Michael Aris ke Myanmar selalu ditolak oleh pemerintah militer. Kedutaan Besar Myanmar menawarkan akan memberi visa kepadanya apabila ia bersedia menandatangani surat perintah untuk memulangkan Suu Kyi ke Inggris. Segala lobi yang dilakukan oleh Kedutaan Besar Inggris melalui PBB, negara-negara lain dan berbagai macam organisasi internasional, serta tokoh-tokoh internasional tetap tidak membuat pemerintah junta militer Myanmar memberikan visa kepada Michael Aris. Junta militer Myanmar beralasan bahwa negerinya yang miskin tidak mampu memberikan fasilitas perawatan terhadap penyakit yang diderita Michael Aris.
Walaupun Suu Kyi sudah menjelaskan rencana kedatangan suaminya dengan pesawat yang di-carter oleh PBB dan akan dirawat oleh dokter yang pernah merawat Dalai Lama, pemerintah junta militer tetap menolak. Mereka justru menawari Suu Kyi sebuah tiket penerbangan langsung dan fasilitas VIP menuju rumah sakit tempat suaminya dirawat. Suu Kyi yang mengetahui akal busuk pemerintah militer memilih untuk menolak tawaran tersebut. Ultimatum pun diberikan: "your family or your country!".