Mengikuti berita-berita tentang sikap tegas Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini, saya bangga sekaligus prihatin. Bangga karena tindakan populer itu membawa angan saya pada nuansa “Surabaya bebas prostitusi”. Prihatin karena tindakan popular itu terkesan mengabaikan aspek-aspek strategis. Ada banyak pertanyaan muncul di benak saya, antara lain:
1. Apakah benar penutupan lokalisasi Dolly efektif untuk mencegah penyebaran HIV/Aids?
2. Apakah sudah dipertimbangkan, bahwa penutupan yang dilakukan menjelang Pilpres dan Idhul Fitri itu tidak memicu terjadinyaaksi-aksi yang berpotensi mengganggu stabilitas ketertiban dan keamanan?
3. Bagaimana tindakan Tri Rismaharini (Surabaya) terhadap praktik-praktik prostitusi terselubung di Surabaya? Yang notabene juga merupakan sumber penularan HIV/Aids.
Dalam setiap aksi penutupan lokalisasi, selalu saja ada pertimbangan-pertimbangan idealis menjadi alasan. Di antaranya: mengentas PSK dari jurang kenistaan; mencegah penyebaranHIV/Aids; memutihkan 'daerah hitam' yang berpotensi menjadi sumber terjadinya kekerasan;mencegah terjadinya perdagangan manusia , memutus mata rantai penyebaran minuman keras (miras) , narkotika dan obat keras berbahaya (narkoba), dll.
Baiklah. Menurut saya,anggapan bahwa PSK kerasan di lokalisasi karenafaktor ekonomi adalah salah besar. Bahwa awal mereka terjun ke dunia hitam itu karena faktor ekonomi tak bisa dipungkiri. Tetapi setelah menjadikan prostitusi sebagai ladang kehidupan, yang terjadi kemudian adalah metamorfosa. Bukan lagi faktor ekonomi menjadi alasan, tetapi gaya hidup. Bukan lagi lokalisasi menjadi pangkalan, tetapi prostitusi itu sendiri. Kalau sudah seperti ini, tidak ada lokalisasi pun praktik prostitusi tetap berlangsung. Bahkan bisa lebih sulit terkontrol.
Ada cerita menarik tentang metamorfosa itu. Beberapa tahun lalu, seorang pelaku Usaha Kecil Menengah (UKM) sahabat saya, sempat tergelincir ke lembah kenistaan seperti Dolly. Hampir setiap galaunya ia menghabiskan waktu dengan PSK-PSK di sana. Sampai kemudian hatinya tertambat pada salah seorang PSK, sebut saja Mawar.
Suatu saat sahabat saya meminta pendapat, bagaimana kalau ia menikahi Mawar. Saya ajukan pertanyaan: Apa alasanmu memilih PSK untuk menjadi istri? Apakah tidak takut terbayang-bayang bahwa wanita yang kamu pilih jadi istri pernah jadi piala bergilir?
Untuk pertanyaan pertama, ia menjawab:
Mawar itu PSK. Tapi dia lain dari yang lain. Selain cantik dia cerdas, saya coba minta dia bantu mengerjakan pembukuan perusahaan dia mampu. Dia punya kemauan untuk maju.
Untuk pertanyaan kedua, ia menjawab:
Siapa mau sih jadi PSK? Kalau dia menemukan ladang rejeki yang lebih baik dan halal, saya yakin dia tidak akan memilih itu. Kalau soal dia pernah melayani banyak laki-laki, mudah-mudahan saya bisa melupakan. Sebab menikahi gadis sekali pun, belum tentu dia perawan. Bisa saja dia juga bekas lelaki hidung belang. Bedanya kan kalau PSK buka daganan di stand, kalau gadis yang ga perawan buka dagangannya via black market (baca: freelance).
Menikahlah mereka. Mawar mendapat tugas baru di bagian administrasi. Kerjanya cuma mencatat keluar masuk barang dan menggaji karyawan setiap akhir pekan dan akhir bulan. Dua tahun kemudian, saya mengunjungi sahabat saya itu. Si Mawar sudah tidak ada lagi. Kemana?
"Balik asal. Mungkin di sini memang bukan habitatnya," jawab sahabat saya lesuh.
Saya mencoba menerka alasan Mawar memutuskan kembali ke wisma tempatnya bekerja sebagai PSK. Mungkin karena belanjanya kurang?
"Masyaallah.. sampean tanya semua karyawan saya. Bagaimana saya memanjakan dia. Setiap bulan dia bisa nabung Rp 10 juta. Itu nett. Belanja makanan tinggal pesan pembantu, kalau pingin perhiasan saya juga yang belikan. Nyuruh siapa saja karyawan dia bebas. Karena semua tahunya dia istri saya. Dan tidak ada yang tahu kalau dia bekas PSK," kilah sahabat saya. Lantas apa yang menjadi alasan Mawar kembali ke dunia prostitusi?
Sahabat saya mengaku pernah beberapa kali berusaha membawa pulang Mawar karena dorongan rasa cintanya. Sebab anak pun mereka belum sempat punya. "Dia merasa tidak kerasan hidup dengan saya. Tidak bisa bebas. Tidak bisa pakai tangtop setiap saat sambil memamerkan tatto di punggung dan pahanya, tidak bisa merokok seenaknya, merasa diatur-atur. Ya , kalau itu alasannya saya bisa apa? Hidup bermasyarakat di rumah dan perusahaan mana bisa disamakan dengan hidup bermasyarakat di lokalisasi," katanya.
Sekarang mari kita membayangkan apa yang telah dilakukan sahabat saya terhadap Mawar. Ia telah berjuang mengentas Mawar dari lokalisasi tidak saja dengan penghasilan yang cukup, tapu juga dengan hati dan cinta kasih. Beitu pun masih dianggap mengatur-ngatur, apalagi hanya dengan peraturan."Habitat kami lah yang berbeda," kata sahabat saya. Habitat itulah yang saya maksud dengan gaya hidup.
Ada contoh lain. Yang ini seorang 'mami' (baca:germo/mucikari) di sebuah diskotek di kawasan Blimbing,Malang. Ketika diskotek itu tutup, dia diperistri seorang pedagang besi tua. Lama tidak mendengar ceritanya, terakhir dia masuk penjara gara-gara tertangkap sedang nyabu sambil pesta seks dirumah bekas anak buahnya (baca: PSK freelance). Alasannya? Kangen. Sekali lagi bukan karena alasan ekonomi, tetapi gaya hidup.
Ada satu cerita lagi. Suatu saat saya berkesempatan ngobrol dengan seorang istri simpanan seorang pengusaha konveksi. Dia secara blak-blakan menyebut pria yang menjadikannya istri simpanan itu, pelitnya minta ampun.
"Bayangkan, setiap bulan saya cuma dikasih uang belanja Rp 5 juta. Lha padahal, untuk pulsa saja berapa, untuk beli handuk dan sabun saja berapa, belum beli make-up," paparnya.
Saya bertanya soal pengeluarannya setiap bulan. Ia merinci sbb:
-Untuk telepon dengan pria itu bisa habis pulsa Rp 750.000- Rp 1.000.000/bulan. Boros? Tidak. Karena dia diwajibkan minta ijin kemana saja mau pergi, di tempat dia pergi dia harus menyambung hubungan teleponnya demi agar si pria bisa mendengar background suara sebagai bukti dia tak sedang selingkuh.
-Kalau istri pada umumnya biasa hanya butuh selembar handuk tiap hari, ternyata istri simpanan perlu 3 - 4 handuk setiap hari. Handuk untuk mandi, handuk untuk pasca-senggama, handuk untuk wajah dan handuk untuk vagina. Begitu pun sabun tidak cukup satu macam. Sabun wajah, sabun badan dan sabun khusus vagina. "Ini saja ga cukup Rp 500.000/bulan lho," katanya.
-Make-up dan salon bisa Rp 800.000/bulan.
-Makan kadang ditraktir si pria, tetapi lebih sering beli sendiri. Hidup di rumah kost tidak leluasa untuk masak sendiri.
To the point setiap bulan kamu masih bisa nabung berapa?
"Ya.. bisa nabung Rp 500.00 saja itu lumayan. Pengeluaran saya rutin untuk memenuhi selera dia sekitar Rp 2.500.000-lah. Lha apa saya ga bayar kost dan bayar pembantu? Belum ongkos naik taksi kalau kemana-mana?"
Secara kebetulan saat itu sedang lewat tukang bakso bernama Pak Roni. Seperti biasa saya langganan. Di tengah Pak Roni meracik bumbu kuah baksonya, saya coba lemparkan pertanyaan (dengan volume yang saya besarkan supaya terdengar) oleh si perempuan itu. Di bawah ini dialog kami:
Saya : Pak Roni.. dagangan segini banyak mesti habis?
Pak Roni: Alhamdulillah habis, Pak.
Saya : Kalau habis bisa dapat untung berapa?
Pak Roni: Kalau Rp 150.000 dapatlah, Pak. Alhamdulillah…
"Wuuuih....," tiba-tiba perempuan istri simpanan pengusaha konveksi tadi memotong pembicaraan kami. "Sebulan Rp 4,5 juta dong? Itu bisa lebih kan? Kalah dong gue? Hebat.. hebat.. hebat.." katanya.
Saat makan bakso, saya sengaja mendekat supaya bisa bertanya dengan nada sedikit pelan. "Mbak, itu jual bakso dapat Rp 4,5 juta/bulan lho. Kenapa ga alih profesi jadi penjual bakso saja?"
Si perempuan tadi ketawa ngakak. Lalu raut wajahnya mengkerut. "Masak si Pak saya jual bakso keliling? Dekil begitu? Ah.. enggak lah" ujarnya.
Bandingkan penghasilan dia dengan Pak Roni. Rp 4,5 juta/bulan itu membuatnya menjadi majikan atas dirinya sendiri, tidak harus belanja pulsa, sabun, dan make-up sampai ratusan ribu. Bukankah penghasilan Pak Roni lebih besar?
"Lha nanti kalau saya pingin triping siapa yang ngajak, kalau pingin ineks siapa yang kasih, kalau pingin nyabu numpang ke siapa? Wedeeeew.. bisa 'parno' (baca: paranoid)," ujarnya sambil ngakak.
Cerita-cerita di atas adalah bukti-bukti bahwa prostitusi bukan semata-mata karena faktor ekonomi. Tetapi lebih banyak disebabkan faktor gaya hidup. Hal tersebut juga sebagai bukti, bahwa penutupan lokalisasi tidak akan berpengaruh signifikan terhadap maraknya praktik prostitusi. Penutupan lokalisasi lebih erat kaitannya dengan penataan dan pencitraan sebuah kota.
Dalam kenyataan, beberapa daerah yang angka populasi penularan HIV/Aids tinggi justru daerah-daerah yang tidak lagi terdapat lokalisasi. Tetapi daerah-daerah yang menjadi lahan subur berdirinya usaha esek-esek terselubung, seperti cafe remang-remang, panti pijat, spa, tempat hiburan malam yang menyediakan purel, dsb.
Bagaimana di Surabaya? Diakui atau tidak, usaha esek-esek terselubung itu masih gampang ditemukan. Cafe remang-remang masih banyak ditemui semisal di kawasan Kenjeran, di areal taman stren sungai Kalimas Jl Kayoon. Panti pijat esek-esek juga bertebaran di tengah kota mulai dari kelas teri (beratarif Rp 100.000-an) seperti di kawasan Jl Pandegiling, Jl Pasarkembang, kawasan Manukan dan Sumemi, kawasan Pacarkeling, Kapaskrampung, dll. Panti pijat esek-esek kelas kakap(bertarif di atas Rp 500.000) seperti di ruko-ruko elit di kawasan Jl Mayjen Sungkono, Jl Kedungdoro, Jl Tunjungan, dsb. Belum lagi tempat-tempat tongkrongan di taman-taman kota, termasuk Taman Bungkul yang digembar-gemborkan sebagai taman terbaik se-Asia Tenggara.
Sekali lagi, saya sangat setuju penutupan lokalisasi Dolly jika dikaitkan dengan penataan dan pencitraan Surabaya sebagai Kota Indamardi (Industri, Perdagangan, Maritim dan Pendidikan), Kota Budaya, dan kota tujuan wisata di Jawa Timur.
Dan karenanya, menurut saya, penutupan lokalisasi Dolly bukanlah hal yang mendesak dan dipaksakan harus terlaksana sesuai jadwal, 18 Juni 2014. Di bawah ini adalah alasan yang perlu menjadi pertimbangan Pemkot Surabaya kalau tidak mau ada yang mengkait-kaitkan penutupan Dolly dengan pencitraan parpol tertentu menjelang Pilpres:
- Tanggal 18 Juni 2014 ada di dalam hari-hari kampanye parpol dan pendukung capres-cawapres, sangat rawan ditunggangi kepentingan politik yang berpotensi memicu terjadinya tindakan anarkis.
- Tanggal 18 Juni 2014 adalah mendekati bulan suci Ramadhan. Penutupan lokalisasi bisa diartikan sebagai usaha mensucikan kota menyambut bulan suci itu. Tetapi perlu dipertimbangkan, bahwa selama bulan itu masyarakat juga sedang bersiap menyambut Idhul Fitri. Hari raya umat Islam ini diakui atau tidak telah menjadi tradisi masyarakat umum, termasuk umat beragam agama dan keyakinan. Hara raya ini ditandai dengan meningkatnya kebutuhan bahan makanan, naiknya harga-harga bermacam kebutuhan pokok, naiknya ongkos transportasi untuk mudik, dsb. Sangat tidak elok, di tengah kondisi seperti itu, insan yang selama ini menggantungkan sumber penghasilan dari sana tiba-tiba seperti terhukum.
Saya kurang setuju jika penutupan lokalisasi Dolly dikaitkan dengan pengentasan PSK dari limbah kenistaan dan mencegah penyebaran HIV/Aids. Sebab uang pesangon (baca: santunan) Rp 5.000.000/PSK, bukanlah solusi bagi PSK untuk meninggalkan prostitusi. Sebab prostitusi itu sendiri merupakan pangkalan penyebaran HIV/Aids dan bukanlah keberadaan lokalisasi.
Prostitusi akan terus ada selama tidak tumbuh kesadaran untuk tidak membuka celana dalam (CD) di sembarang tempat. Mari merenung demi kemanusiaan....(*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H