Mohon tunggu...
Wildan Abdulloh
Wildan Abdulloh Mohon Tunggu... -

Posisi sekarang ada di Kota Pahlawan.. Belajar tanpa batas waktu.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Negara Konsumtif Republik Indonesia (NKRI)

16 April 2012   09:19 Diperbarui: 25 Juni 2015   06:33 242
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Kenaikan harga BBM yang "berhasil" digagalkan dengan demonstrasi sebenarnya hanya sebagai masa persiapan saja. Sekedar mengingatkan saja bahwa konsumsi BBM kita perharinya adalah 1.115.000 bbl/Day sedangkan kemampuan produksi sumur-sumur gas tanah air adalah 1.023.000 bbl/Day. Pastinya kita menjadi negara importir minyak dan hal ini juga yang menjelaskan kalau Indonesia sudah keluar dari OPEC pada tahun 2008.

Jika belum bisa menaikkan kapasitas produksinya atau menemukan ladang-ladang minyak baru maka saya memprediksi bahwa harga BBM akan terus naik. Dan anak cucu kita bisa merasakan hal ini mungkin lebih parah. Jika mengambil analogi sederhana bahwa jika ada sungai maka pasti ada mata air. Sejauh mana pemerintah telah berupaya membendung "sungai-sungai" yang kasat mata. Alih-alih membendung malah makin banyak jalur sungai baru yang dibuat. Betapa mudahnya masa seperti sekarang ini seseorang mendapatkan kredit kepemilikan kendaraan bermotor tanpa adanya kontrol jumlah penyebarannya. Jika dulu saya masih kecil belum kenal yang namanya B*J** sekarang mudah sekali kita menemukannya, bahkan di desa-desa yang belum ter-rampok oleh pasar modern mini. Belum lagi impor motor merk China. Lihat saja di TV jika waktunya iklan. Timing iklannya pasti lebih lama daripada acara yang ingin kita lihat. Dan kita tidak bisa bertindak apa-apa, kecuali anda mau mengganti channel dengan sabar untuk menghindari iklan.

Satu lagi tentang kendaraan bermotor. Bagaimana pun sudah dibatasi mengapa kita tidak bisa memproduksi kendaraan sendiri secara utuh. Mulai dari mesin sampai chasingnya. Saya heran berapa banyak orang pintar dari negara ini yang masih di luar negeri. Yah, disini memang sperti rimba kawan. Tak heran jika ada  istilah ucapan selamat bagi orang yang baru mendapat pendidikan dari luar negeri "Welcome to the junggle"

Yah, jika membicarakan pasar modern mini seperti indo***** dan al*******. Sebenarnya saya tidak setuju dengan keberadaan mereka yang bisa muncul sembarangan. Jelas, jika toko mini modern yang lengkap dan layanannya 24 jam hadir di sekitar lingkungan kita maka toko-toko kecil penduduk asli akan mulai kehilangan omzet mereka. Jika mau membandingkan harga, (saya sendiri pernah mencobanya). Jelas toko milik tetangga harganya lebih murah. Jika membeli di toko tetangga tentu dampak positifnya lebih banyak. Hubungan kekeluargaan tambah rekat, membantu perekonomian tetangga kita, juga kita tidak akan mendapatkan kembalian permen sebagai ganti uang recehan yang katanya habis. Coba saja anda hitung kalau satu pembeli saja dengan kembalian 3 permen yang harganya tidak sampai 100 perak. Mereka bisa untung Rp. 50  tiap permennya. Jadi untuk satu orang tadi mereka dapat untung Rp. 150. Dapat diperkirakan dalam satu hari pembeli yang datang ke tempat itu minimal 150 orang, maka dalam sehari mereka dapat untung Rp. 22500. Jika sebulan penuh maka minimal dapat Rp. 675.000 itu belum dihitung kalau hari libur kemungkinan pembeli akan lebih banyak.

Sekian dulu. Semoga bermanfaat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun