Sebuah Renungan atas Kegundahan Kita dalam Kehidupan Berbangsa dan Bernegara Saat Ini
Negarakertagama adalah salah satu karya monumental dari Mpu Prapanca pada abad ke 14, dikala itu Majapahit berada dibawah kepemimpinan Raja Hayam Wuruk dan Mahapatih Gajah Mada. Negarakertagama yang menjadi acuan dalam hukum tata negara mampu menjadi frame dalam kehidupan masyarakat Nusantara pada saat itu. Di dalam karya sastra ini terdapat istilah Pancasila. Pancasila pada jaman tersebut masih dalam tataran sumber akhlak dan moral yang memaparkan lima buah pantangan, yakni dilarang melakukan kekerasan, dilarang mencuri, dilarang memiliki rasa dengki, dilarang berbohong, dilarang mabuk-mabukan.
Berangkat dari guratan sejarah Bangsa Indonesia yang sangat panjang sehingga muncul berbagai macam pemikiran serta pandangan yang mengkristal dalam Sidang BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan). Pada tanggal 29 Mei 1945, selaku ketua sidang Dr. Radjiman Wediodeningrat menyampaikan kepada peserta sidang agar mengemukakan gagasan mengenai dasar negara Indonesia. Hal ini mendorong mereka untuk menggali kekayaan kerohanian, kepribadian dan wawasan kebangsaan yang terpendam lumpur sejarah (Latif, 2011).
Sampai akhirnya pada tanggal 1 Juni 1945 dalam pidatonya Bung Karno menguraikan lima hal yang kelak menjadi konsensus para Founding Fathers . Pertama mengenai prinsip Kebangsaan, “Kita hendak mendirikan suatu negara "semua buat semua". Bukan buat satu orang, bukan buat satu golongan, baik golongan bangsawan maupun golongan yang kaya, - tetapi "semua buat semua". Inilah salah satu dasar pikiran yang nanti akan saya kupas lagi. Maka, yang selalu mendengung di dalam saya punya jiwa, bukan saja di dalam beberapa hari di dalam sidang Dokurutu Zyunbi Tyoosakai ini, akan tetapi sejak tahun 1918, 25 tahun yang lebih, ialah: Dasar pertama, yang baik dijadikan dasar buat negara Indonesia, ialah dasar kebangsaan” (Pidato Soekarno, 1 Juni 1945).
Kedua prinsip yang diutarakan Bung Karno ialah prinsip Internasionalisme, “Kita bukan saja harus mendirikan negara Indonesia Merdeka, tetapi kita harus menuju pula kepada kekeluargaan bangsa-bangsa. Justru inilah prinsip saya yang kedua. Inilah filosofisch principe yang nomor dua, yang saya usulkan kepada Tuan-tuan, yang boleh saya namakan "internasionalime". Tetapi jikalau saya katakan internasionalisme, bukanlah saya bermaksud kosmopolitisme, yang tidak mau adanya kebangsaan, yang mengatakan tidak ada Indonesia, tidak ada Nippon, tidak ada Birma, tidak ada Inggris, tidak ada Amerika, dan lain-lainnya.
Internasionalisme tidak dapat hidup subur, kalau tidak berakar di dalam buminya nasionalisme. Nasionalisme tidak dapat hidup subur, kalau tidak hidup dalam taman-sarinya internasionalisme. Jadi, dua hal ini, saudara-saudara, prinsip 1 dan prinsip 2, yang pertama-tama saya usulkan kepada tuan-tuan sekalian, adalah bergandengan erat satu sama lain” (Pidato Soekarno, 1 Juni 1945).
Ketiga adalah prinsip mufakat, pemusyawaratan dan perwakilan, “Kemudian, apakah dasar yang ke-3? Dasar itu ialah dasar mufakat, dasar perwakilan, dasar permusyawaratan. Negara Indonesia bukan satu negara untuk satu orang, bukan satu negara untuk satu golongan, walaupun golongan kaya. Tetapi kita mendirikan negara "semua buat semua", "satu buat semua, semua buat satu". Saya yakin syarat yang mutlak untuk kuatnya negara In-donesia ialah permusyawaratan perwakilan”(Pidato Soekarno, 1 Juni 1945).
Prinsip keempat adalah kesejahteraan “Priinsip No. 4 sekarang saya usulkan, Saya di dalam 3 hari ini belum mendengarkan prinsip itu, yaitu prinsip kesejahteraan, prinsip: tidak akan ada kemiskinan di dalam Indonesia Merdeka” (Pidato, Soekarno 1 Juni 1945). Prinsip Ketuhanan menjadi uraian terakhir, karena beliau berasumsi bahwa akhir dari segala usaha mencapai Indonesia Merdeka adalah untuk bertaqwa kepada Tuhan, “Prinsip yang kelima hendaknya: Menyusun Indonesia Merdeka dengan bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa” (Pidato Soekarno, 1 Juni 1945).
Perdebatan sengit yang diakhiri dengan aklamasi peserta sidang terhadap prinsip-prinsip dasar negara yang disampaikan Bung Karno, pidato tersebut menjadi tonggak awal kelahiran Pancasila. Walaupun ada yang menyatakan diawal kelahirannya Pancasila hanya dianggap sebagai kontrak sosial, untuk meredakan perdebatan tersebut.
Kemudian pada saat penyusunan Teks Proklamasi 17 Agustus 1945, mengacu pada spirit Piagam Jakarta 22 Agustus 1945. Sehingga pada tanggal 18 Agustus 1945 Piagam Jakarta diresmikan oleh sidang PPKI menjadi UUD 1945, dengan menghilangkan “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk pemeluknya” dan diganti dengan “Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Pada masa awal kemerdekaan ada upaya untuk kembali menggugat Pancasila, muncul dua pandangan besar yakni agar pemerintah kembali ke Undang Undang Dasar 1945 dengan Pancasila sebagaimana yang terdapat dalam Piagam Jakarta sebagai dasar negara dan pandangan kedua yakni agar pemerintah tetap menjalankan Undang-Undang Dasar 1945 dengan Pancasila sebagai dasar negara sesuai dengan hasil sidang PPKI. Tidak terjadinya kesepakatan dalam konstituante akhirnya mendesak Presiden Soekarno untuk mengeluarkan Dekrit Presiden pada tanggal 5 Juli 1959. Pertentangan kembali terjadi ketika Pancasila tetap menjadi pembenaran bagi kaum komunis maupun antikomunis. Bung Karno tetap ingin menyatunya dua arus besar ini dibawah Pancasila, walaupun besar keinginan golongan antikomunis untuk menjaga kemurnian sila pertama yakni Ketuhanan Yang Maha Esa. Dianggap tak mampu meredakan situasi yang tidak kondusif pada saat itu akhirnya, Bung Karno digulingkan dengan ditolaknya pidato pertanggungjawaban Nawaksara pada saat sidang MPRS.