Meski saya sudah diberi daftar pertanyaan sebelum pengambilan gambar berlangsung, satu pertanyaan dari wartawan stasiun televisi NHK-Jepang, masih tidak lepas dari fikiran saya. Pertanyaanya sendiri sederhana: kenapa aktivitas riset secara umum harus ditunjang dengan alat-alat yang mahal? Kenapa riset yang bagus identik dengan biaya tinggi? Pertanyaan tersebut meluncur ketika mereka "ternganga" melihat mikroskop yang kami gunakan untuk riset. Namanya Titan Krios cryo-scanning/transmission electron microscope. Tingginya tidak kurang dari 4,5 meter dan mesti di tempatkan dalam ruang tersendiri yang kedap suara, vibrasi dan bertekanan relatif tinggi. Dari sisi ukuran saja sudah cukup membuat kru televisi ternganga, apalagi ketika mendengar harganya. Sekira 6 juta dolar Amerika, per unit, alias hampir sekitar 60 milyar rupiah !  Oh ya, belum termasuk biaya instalasi dan biaya instrumen pendukungnya yang kalau di total semuanya mungkin mencapai 8 juta USD ! Mungkin karena mahalnya, jumlah mikroskop jenis ini sangat terbatas. Total di dunia sekira 20 biji saja, di seluruh Jepang sendiri hanya ada dua unit, di Kanada ada satu buah, paling banyak beredar ada di Amerika Serikat. Wajar saja, anggaran riset mereka gak ketulungan besarnya. Kompensasi harga yang mahal ini dibayar dengan kemampuan sang mikroskop yang extra-ordinary, luar biasa ! Dengan alat ini kami bisa "melihat" isi sel makhluk hidup hingga bisa membedakan dua titik terdekat (resolusi) dalam skala nanometer (sepersemilyar meter) atau bahkan bisa didorong satu-dua digit angstrom (sepersepuluh nanometer) . Kalau anda bandingkan dengan mikroskop cahaya (sekelas yang biasa kita gunakan saat praktikum di sekolah menengah), resolusinya masih nangkring di skala milimeter. Kalaupun dilengkapi dengan alat tambahan semacam model confocal microcope, akurasinya hanya merangkak ke skala mikrometer saja.  Jauh sekali dengan kemampuan mikroskop elektron. Dengan mikrsokop ini kami seolah bisa "menyentuh" molekul-molekul, baik dalam tempat asalnya (in situ), maupun diluar tempatnya semula (ex situ). Dan tentu saja ini sangat berarti bagi aktivitas riset. Mikroskop elektron adalah salah satu contoh saja bagaimana sebuah riset ditopang dengan instrumen yang super-duper mahal. Instrumen lainnya yang bernilai jutaan dolar juga banyak banyak sekali berceceran. Lalu kenapa riset, utamanya bidang non-sosial, membutuhkan alat dengan harga selangit tersebut? Jawabanya tentu tergantung dari tujuan riset itu sendiri. Esensi dari riset adalah membuka "tabir" fenomena alam untuk kemudian bisa memberikan salah satu solusi teknis atas masalah yang ada di tengah manusia. Jawaban sains untuk berbagai masalah dibangun dari akumulasi informasi dari berbagai fenomena yang tergali. Makin banyak informasi, makin baik pula jawaban yang diberikan atas masalah yang ada. Ambil contoh saja bagaimana upaya manusia mengatasi berbagai penyakit yang hingga saat ini tidak memiliki obat. Anda bisa menyebut AIDS, Parkinson, kanker atau apapun yang hingga saat ini belum ada obatnya. Kenapa demikian? simpel saja, karena akumulasi informasi untuk fenomena-fenomena tersebut belum cukup banyak untuk bisa digunakan sebagai pijakan mensintesis obat yang ampuh. Ceritanya akan lain ketika informasi yang diperoleh sudah cukup untuk membangun pemahaman yang komprehensif. Kisah obat sakit kepala atau aspirin adalah contohnya, yang disintesis ketika akumulasi informasi yang diperoleh peneliti akhirnya bisa digunakan untuk memahami mekanisme penyakit ini dan molekul-molekul "krusial" yang menjadi titik kritis untuk bisa dihambat. Disitulah peranan instrumen yang "state of the art", yang berpresisi tinggi, berkualitas istimewa. Menopang kegiatan riset untuk menggali informasi sedalam-dalamnya dan sekomprehensif mungkin. Dan dengan topangan tersebut, peneliti bisa berkreasi sedemikian luas untuk menjawab masalah dengan berbagai pendekatan. Informasi makin banyak tergali, bahkan bisa jadi mengoreksi informasi-informasi terbaru. Mengandalkan kreativitas saja tentu tidak jarang berbenturan dengan kendala teknis dalam riset. Dalam konteks mikroskop,  sejenius apapun peneliti, matanya tidak akan mampu melihat materi ukuran mikro- atau nanometer. Butuh alat. Tanpa itu, peneliti cuma bisa meraba-raba saja, dan hasilnya jelas akan berbeda jika dia bisa "melihat" atau bahkan "menyentuh"-nya. Tentu saja, riset bukan sulap. Di topang dengan alat secanggih apapun bukan jaminan sebuah masalah terjawab seketika. Karena, sekali lagi, solusi dalam sains adalah akumulasi informasi, yang bisa jadi membutuhkan puluhan tahun untuk bisa membangun pemahaman yang komprehensif demi menjawab sebuah masalah. Apakah kemudian alat tersebut percuma? Tidak sama sekali ! Disini alat berperan vital sebagai katalis dalam akumulasi informasi tersebut. Paling mudah dibayangkan misalnya teknologi super komputer yang bisa mengkalkulasi data atau melakukan sebuah simulasi dengan super cepat. Tanpa super komputer, tentu saja butuh waktu lebih lama memperoleh informasi dari hasil kalkulasi atau simulasi. Apakah masalah selesai ketika super komputer ada? Tidak juga. Karena bisa jadi kalkulasi lanjutan dibutuhkan, simulasi lebih rumit harus dilakukan, dan seterusnya. Tapi sekali lagi, setidaknya langkah tidak terlalu tertatih-tatih. Jadi, pertanyaan sang wartawan di awal, mesti dikembalikan ke konteks cakupan riset itu sendiri. Jika puas hanya bermain-main di wilayah "permukaan" saja dari sebuah "bola masalah", maka bisa jadi kita tidak butuh alat-alat dengan harga selangit. Tapi jika diharapkan masuk ke dalam "bola" tersebut, mengetahui apa yang ada didalamnya, dan mencari detil bagaimana dia terbentuk, sehingga bisa mencari cara "merusak" atau "mencegah" pembentukannya, maka  bisa jadi kita membutuhkan alat yang lebih baik. Dan sayangnya, alat dengan kualitas dan presisi yang lebih baik berbanding lurus dengan harganya. Dan "wilayah bermain" riset, entah itu dipermukaan atau masuk ke dalam "bola", bukan sebuah alasan untuk mengkategorikan mana yang riset yang baik dan mana yang bukan. Baik tidaknya riset sama sekali tidak ditentukan hal tersebut. Riset yang baik bisa lahir dari alat yang sederhana, dan sebaliknya. CV Raman, Fisikawan India, peraih Nobel Fisika 1930, setidaknya membuktikan itu. Efek Ramman, yang menjelaskan inelastisitas hamburan foton, lahir dengan peralatan "seadanya" di India saat itu.  Alat hanya sebuah topangan saja untuk memperluas dan memperdalam cakupan informasi yang bisa diperoleh karena kita bisa meminimalisir hambatan teknis ketika mengamati sebuah fenomena lewat aktivitas riset.  Baik tidaknya riset itu kemudian berjalan, tentu saja tidak lepas dari variabel lain. Jadi, tidak benar jika semua riset harus selalu ditopang dengan biaya mahal karena kebutuhan sebuah alat. Seberapa luas dan dalam informasi yang ingin digali dalam sebuah riset, seberapa besar kendala teknis yang akan dihadapi, adalah contoh variabel penentu sebuah alat berbiaya mahal diperlukan dalam sebuah riset.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H