Ada lagu anak-anak yang dulu senantiasa mengudara saat menjelang lebaran datang. Dinyanyikan oleh Dhea Ananda dengan nada riang, liriknya sederhana dengan pesan yang kuat dan terbaca jelas oleh semua kalangan, meskipun segmentasi lagunya ditujukan untuk anak-anak. Saya tidak ingat betul apa judulnya, tapi sebagian besar liriknya masih saya hafal dan bisa saya nyanyikan. Isinya tentang ajakan Dhea untuk tidak terlalu mementingkan baju baru, makanan, atau pesta saat berlebaran, karena bukan itu esensinya. Dalam bahasa lain, lagu sederhana ini ingin memotret dan menggeser tradisi berlebaran kita yang penuh dengan "lipstik penampilan", mulai dari baju yang baru hingga makanan yang 'wah'. Padahal tanpa lipstik itu pun, makna idul fitri tidak mengalami distorsi sedikitpun. Rasanya begitulah Dhea berpesan dalam lagunya.
Nah, lain Dhea, lain pula Gubernur Jawa Barat, Ahmad Heryawan, dalam mempersiapkan lebaran yang sebentar lagi menjelang. Tidak tanggung-tanggung, 1 milyar rupiah lebih disiapkan untuk hal tersebut (dibeberapa media dilaporkan mencapai 1.7 Milyar). Bukan sekedar baju baru atau makanan, apalagi pesta. Uang berjumlah besar itu, yang diambil dari kas negara, disiapkan untuk membuat kartu lebaran plus perangko yang berhiasa foto dirinya. Kartu tersebut akan dikirim ke seluruh jajaran pejabat pemerintahan hingga ke level kelurahan. Menelan biaya besar karena jumlahnya yang mencapai 300 ribuan lembar (total sekitar 400 ribuan jika digabung dengan kartu Wakil Gubernur, Dede Yusuf). Dalihnya positif, konon kartu itu sebagai upaya menjalin silaturahim dengan warganya karena tidak semua terjangkau teknologi (internet, telepon/sms, atau televisi). Plus katanya pula, ini bentuk penghargaan atas dukungan dan doa warga Jawa Barat plus komitment dan tanggung jawab moral berbagi kebahagiaan di hari yang Fitri bagi warganya. Rasanya sangat luhur dan baik niatnya.
Saya sepakat untuk tidak perlu dan tidak penting memperdebatkan niatannya. Tapi menjadi perlu untuk mempertanyakan "mekanisme" dan "cara" yang beliau tempuh. Bagi saya, cara yang ditempuh beliau sungguh aneh dan (maaf) konyol. Lihat desainnya teknis kartu dan perangkonya. Apakah penting menampilkan foto Sang Gubernur disitu ? seberapa urgen sih membuat perangko khusus bergambang Gubernur Ahmad Heryawan ? Dalihnya untuk sosialisasi mungkin saja atau juga sebagai bentuk orisinalitas kartu Sang Gubernur. kalau sosialisasi ditunjukkan ke seluruh warga, mungkin ada benarnya. Kadang ada saja warga yang hidup dalam "tempurung", tanpa tahu wajah pemimpinya sekarang. Tapi coba lihat, kartu itu ditunjukkan untuk para pejabat pemerintahan (tingkatan yang paling rendah mungkin di kelas RT/RW). Konyol jika orang dilingkungan pemerintahan tidak tahu wajah pemimpinnya sendiri. Jadi sosialisai buat siapa ? Konyol juga kalau diharapkan kartu tersebut ditempel di kelurahan agar semua warga melihat wajah sang pemimpin. Bagi saya ini cara sosialisasi pemimpin yang benar-benar aneh dan (maaf) kurang berwibawa.
Tidak salah kalau memang beberapa pihak menyebut ini tindakan yang "narsis" ! Tanpa itu pun silaturahim bisa tetap terjalin, tanpa harus mendesain khusus perangko dengan harga yang lumayan besar dan mendesain kartu dengan sesederhana mungkin. Tidak ada yang terdistorsi dari pesan yang tesampaikan dari lembaran kartu tersebut, kecuali memang ada pesan lain yang ingin disiratkan Sang Gubernur, yakni : Kemewahan dan Keglamoran. Semoga tidak demikian adanya.
Di luar cara mahal dan aneh yang dipilih Sang Gubernur tersebut, masih banyak jalan lain yang lebih murah dan (dan bahkan) terakses publik secara lebih luas. Mulai dari siarakan di televisi dan radio, atau jika mau lebih hi-tech bisa juga lewat pesan singkat atau e-card lewat e-mail. Lewat rangkaian cara tersebut, tujuan Sang Gubernur bisa sama-sama tercapai. Menjadi aneh kalau akhirnya cara mahal tersebut tetap ditempuh dengan berbagai macam dalih. Bagi saya, cara aneh dan mahal seperti itu malah justru menjadikan niat sang Gubernur menurut saya menjadi sangat amat absurd ! Kenapa ?
Pertama, alasan tidak semua warga jawa barat terakses teknologi (televisi atau internet). Kalau memang ini alasanya, sepatutnya dikalkulasi dengan benar berapa jumlah keluarahan atau desa yang belum sepenuhnya terakses teknologi tersebut. Penggunaan kartu (jikapun tetap dilakukan) seyogyanya cukup ditujukkan untuk wilayah-wilayah dengan keterbatasan tersebut. Angka 400 ribu buah itu sebuah jumlah yang fantastis untuk ukuran Jawa Barat. Untuk internet saja, Jawa Barat menduduki peringkat kedua setelah DKI Jakarta dalam hal jumlah kelurahan yang terakses oleh internet. Apalagi untuk sekedar listrik atau malah televisi. Bagi kelurahan yang terakses teknologi, cukuplah lakukan dengan siaran di TV atau radio. Aksesibilitas kedua media ini bahkan lebih luas ketimbang sekedar kartu yang dikirimkan ke kepala desa atau lurah atau ketua RT sekalipun. Jikapun ternyata kartu masih diperlukan untuk beberapa wilayah nir teknologi, tentu jumlahnya akan menurun drastis, dan anggaran pun bisa terpangkas besar. Dengan cara-cara tersebut, esensi silaturahim tetap bisa terjalin tanpa harus memakan anggaran negara dengan jumlah yang tidak patut.
Kedua, bentuk penghargaan dan komitmen. Saya yakin bukan selembar kartu lebaran yang ingin masyarkat terima dari Gubernur sebagai bentuk penghargaan karena sudah dipercaya mengemban amanah memimpin provinsi Jawa Barat. Bukan itu ! Penghargaan yang diinginkan adalah menjalankan amanah itu sebaik-baiknya dengan kebijakan berpihak ke publik. Itu lebih esensial ketimbang sekedar mengirimkan kartu lebaran. Intensitas yang tinggi dalam mengunjungi rakyat di daerah untuk langsung hearing aspirasi mereka, juga merupakan penghargaan tersendiri bagi warga. Di sisi lain, perhatian pada nasib aparat-aparat desa dan kelurahan untuk bisa mendapatkan kesejahteraan yang layak, penerapan sistem punishment and reward yang objektif juga sebuah keharusan. Dan ini juga bukti komitmen dan keseriusan Sang Gubernur dalam mengemban amanah besar itu. Esensi penghargaan dan komitmen bisa jauh lebih bermakna jika dilakukan dengan cara tersebut. Cara ini jauh lebih berwibawa untuk mencapai tujuan yang sama ketimbang dengan cara "aneh" lewat kartu lebaran berharga miliaran rupiah tersebut.
Untuk bisa memahami esensi dengan baik dan tepat, rasanya Pa Gubernur harus belajar banyak ke Dhea Ananda. Bahwa silaturahim, penghargaan dan komitmen bisa tetap terjaga, terbentuk, dan ditunjukkan tanpa harus keluar biaya besar dan tanpa harus dilakukan dengan cara yang aneh. Banyak cara lebih berwibawa dan murah untuk melakukan itu semua tanpa harus mendistorsi esensi yang ingin tercapai. Seperti Dhea Ananda bilang, tanpa baju baru pun esensi lebaran masih bisa kita raih.
Selamat Lebaran pa Gubernur, mohon maaf lahir dan bathin.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H