[caption id="attachment_78121" align="alignright" width="326" caption="http://www.bisnis-jateng.com/index.php/author/rachmat-sujianto/"][/caption] Banyak "kesesatan" yang muncul di tengah konflik Rancangan Undang-undang Kesitimewaan (RUUK) Provinsi Yogyakarta yang kini bergerak menjadi bola liar. Bukan bentuk kesesaatan atau penodaan agama seperti selama ini diberitakan, tapi lebih kepada bentuk-bentuk "kesesatan berbahasa" yang muncul di tengah konflik Yogyakarta. Dan tidak banyak yang sadar, konflik ini justru melebar dan memanas karena para tokoh dan pemimpin yang berwenang, termasuk masyarakat luas, melakukan praktik-praktik "kesesatan" dalam berbahasa. Benarkah demikian? Mari kita cermati bersama. Ketika kita menyampaikan sebuah 'pernyataan', kita mengemasnya dalam susunan "kalimat" sedemikian rupa sehingga substansi dan pesan dalam pernyataan tersebut bisa tersampaikan dengan baik. Penyusunan "kalimat" ini jelas bukan sekedar menggandengkan "kata" demi "kata", atau sekedar membariskan "huruf" alfabet saja sehingga "readable" (mudah dibaca). Ketepatan memilih kata (diksi), ketapatan mendifiniskan sesuatu (terminologi), ketepatan memilih analogi ataupun ketepatan konteks (suasana) dalam menyampaikan pernyataan tersebut menjadi hal-hal yang (saya lihat) dilalaikan oleh para tokoh dalam mengeluarkan pernyataannya. Kelalaian-kelaian itulah yang saya sebut dengan "kesesatan berbahasa" yang dilakukan oleh pejabat atau tokoh. Efeknya, publik akan menangkap pernyataan tersebut dengan makna berbeda (misconception), bahkan bertentangan dengan makna sebenarnya. Di sini pun, saya nilai publik melalukan "kesesatan berbahasa" karena melakukan kesalahan dalam "pemaknaan" pesan. Dalam ilmu bahasa, bentuk-bentuk "kesesatan" ini dikenal dengan "fallacy". Secara umum, "kesesatan" bahasa antara lain disebabkan karena adanya kesalahan dalam penggunaan bahasa itu sendiri (misalnya kesalahan pada diksi, penggunaan terminologi, dan lainnya). Selain itu, bisa juga kesesatan dibangun oleh kesalahan dalam relevansi, baik dalam membuat atau memilah premis maupun penyimpulan premis yang tidak tepat (premisnya tidak berhubungan dengan kesimpulan yang akan dicari). Dan sejatinya, konflik Yogyakarta dipicu oleh rangkaian "kesesatan" yang muncul akibat pernyataan tokoh-tokohnya. Saya sodorkan beberapa "pernyataan" utama saja yang "menyeruak" di tengah konflik. Pertama : Kesesatan penggunaan kata atau terminologi. Ini bisa kita ambil dari pernyataan tentang monarki versus demokrasi yang dikeluarkan oleh Pak Beye saat membuka sidang kabinet terbatas beberapa waktu lalu. Saya kutipkan kalimat lengkapnya sebagai berikut:
"Sebagai negara demokrasi, nilai-nilai demokrasi harus ditegakkan, tidak mungkin ada sistem monarki. Saya yakin ada sistem yang jadi jalan tengah,"
Salah? Secara general tidak, sebab memang demokrasi tidak bisa di-kawinkan dengan praktik-praktik ke-tata negara-an yang bertentangan, salah satunya monarki. Ini pesan yang sebenarnya harusnya ditangkap. Pesan bahwa semua praktik tata negara di wilayah hukum Indonesia, menurut Pak Beye, harus diselaraskan dengan nilai-nilai demokrasi. Tapi, pesan tersebut menjadi salah mengingat monarki yang dikenal oleh masyarakat luas, termasuk (mungkin saja) Pak Beye, adalah sebuah praktik dimana kekuasaan dipegang secara turun temurun oleh seseorang (dinasti). Citra monarki adalah sangat negatif secara umum karena berkorelasi positif dengan 'kedikatoran' dan 'kekuasaan mutlak tanpa batasan'. Di sinilah maka pesan Pak Beye menjadi salah dimaknai, karena pemilihan kata "monarki" untuk menyindir suatu proses kekuasaan di Yogyakarta bukanlah sebuah diksi yang tepat. Inilah "kesesatan" terminologi yang dilakukan Pak Beye. Alih-alih menyampaika pesan, Pak Beye justru memang 'menuding' ada praktik monarki di Yogyakarta. Efeknya bisa kita lihat bersama, publik mengabaikan substansi utama dalam pesan Pak Beye, tapi lebih menyoroti kata "monarki" yang begitu sangat amat negatif di telinga kita. Inilah "kesesatan" awal yang kita jumpai di konflik Yogya. Kesalahan pilihan kata yang efeknya menjadi sangat fatal hingga saat ini. Kedua : Kesesatan Premis dan Penyimpulan. Aktornya kali ini adalah Menteri Dalam Negeri, Gamawan Fauzi. Saya kutipkan kalimat pendeknya yang keluar saat aksi rakyat Yogyakarta mengepung DPRD beberapa hari lalu :
"Rakyat Yogya itu 3,5 juta, yang demo berapa,"
Bagi yang belum bisa menangkap makna kalimat pendek dia, saya bantu memahaminya dengan memecahnya menjadi rangkaian premis sebagai berikut : Premis 1 : populasi rakyat Yogyakarta mencapai 3,5 juta jiwa Premis 2: jumlah pendemo yang menuntut opsi 'penetapan' hanya ribuan saja kesimpulan : pertama, angka 'ribuan' tidak bisa mewakili 3,5 juta rakyat Yogyakarta seluruhnya karena jumlahnya yang amat sedikit. Kedua, yang mendukung opsi 'pemilihan' jauh lebih banyak (yakni 3,5 juta minus ribuan orang yang turun aksi menudukugn 'penetapan'). Di sinilah Mendagri melakukan 'kesesatan' dengan mengambil kesimpulan berdasarkan premis yang tidak berhubungan. Benar bahwa jumlah pendemo hanya dalam 'orde angka' ribuan saja, sementar populasi total penduduk Yogya mencapai 3 juta lebih. Tapi bukan berarti mereka yang tidak turut serta kemudian dikelompokan sebagai bagian dari yang mendukung opsi 'pemilihan' gubernur Yogya. Ada premis-premis lain yang mestinya beliau pertimbangkan : mulai alasan kenapa tidak semuanya turun ke jalan hingga tidak ada data pasti tentang persentase penduduk yang mendukung 'pemilihan' ataupun 'penetapan'. Sangat disayangkan seorang pemipin mengeluarkan penarikan kesimpulan lewat proses "kesesatan" seperti itu yang mengakibatkan kondisi makin bergejolak. Kesesatan "penafsiran" pun akhirnya muncul di tengah publik. Pernyataan Mendagri dipandang sebagai 'tantangan' terhadap warga Yogyakarta untuk turun ke jalan dengan jumlah massa yang jauh lebih besar. Penafsiran ini juga jelas 'sesat', tapi wajar muncul akibat pesan yang disampaikan juga dikemas dengan "kesesatan". Ketiga : Kesesatan dalam pemilihan analogi. Sangat disayangkan sekali ini dilakukan oleh sarang seorang tokoh yang sangat saya kagumi, Prof. Ichlasul Amal, mantan Rektor UGM. Beliau menyamakan aksi masa yang dilakukan oleh rakyat Yogyakarta beberapa hari lalu dengan aksi galang masa yang dilakukan oleh PKI. Ya, PKI, Partai Komunis Indonesi, partai yang dilarang bergentayangan sejak tahun 1966 lalu oleh Jendral Soeharto. Berikut kutipan lengkap pernyataan beliau:
“Saya kurang setuju dengan cara-cara seperti ini. Show of force seperti ini adalah cara-cara lama” "Cara show of force atau menunjukkan kekuatan besar dengan mengerahkan ribuan massa adalah cara lama yang dilakukan PKI dulu dalam mem-fait accompli keputusan Keraton dengan masyarakat Yogya"
Pernyataan lebih 'tegas' dan 'kasar' disampaikan oleh politis kontroversial Ruhut Sitompul, yang senada dengan Prof. Ichlasus Amal di atas. Berikut kutipannya :
"Iya kalau lihat demo kemarin aku ingat waktu tari genjer-genjer waktu di Halim tahun 1965. Seperti orang tari genjer-genjer tahun 1965,"
Saya menangkap inti pesan yang disampaikan oleh Prof. Ichlasul Amal di atas, bahwa bentuk-bentuk pengerahan kekuatan untuk mempengaruhi suatu keputusan politik (atau hukum) tidak bisa dibenarkan. Tapi sangat disayangkan jika kemudian mengidentikannya dengan gerakan PKI. Stigma PKI begitu buruk di mata rakyat Indonesia, termasuk warga Yogyakarta tentu saja. Terlalu kentalnya stigma buruk tersebut, membuat pesan utama dalam pernyataan tersebut menjadi kabur. Inilah "kesesatan" yang muncul. Publik meresponya sebagai bentuk tuduhan bahwa warga Yogyakarta sama dengan kaum komunis yang (dituduh) menggerakan peristiwa 30 September 1965. Sangat emosial dan sensitif sekali analogi ini. Dan jelas inipun bentuk "kesesatan" publik dalam menangkap sebuah pernyataan, meski harus kita akui muncul karena pernyataan tersebut dibangun dengan "analogi" yang sesat. Saya tidak perlu mengurai lebih panjang kesesatan Bang Ruhut kemudian yang makin memperparah kondisi ini. Masih banyak analogi yang lain yang bisa digunakan untuk masalah unjuk kekuatan ini. Saya sangat menyayangkan jika kemudian langsung lari ke "PKI". Meskipun memang PKI menggunakan cara-cara penggalangan kekuatan massa untuk mem-fait accompli, tapi akan sangat memancing emosi jika PKI dijadikan sebagai patokan karena stigmanya yang begitu negatif. Ditambah lagi kondisi emosi warga Yogya yang masih begitu tinggi, analogi-analogi yang tidak tepat justru akan makin membakar amarah mereka. Makin memunculkan rangkaian "kesesatan" baru dalam memaknai sebuah pernyataan pejabat.Mereka asyik mensintesa makna dan pesan baru dari pernyataan yang terlontar oleh pejabat atau tokoh, yang jauh bergeser dari makna dan pesan inti dalam pernyataan tersebut. Cerita konflik Yogya saya fikir baru saja dimulai, belum masuk ke babak inti karena RUUK masih belum di bahas oleh anggota dewan. Jika awal cerita saja sudah begitu 'runyam' diwarnai banyaknya bentuk kesesatan, saya khawatir kondisi akan makin parah jika semua pihak tidak berusaha sekuat tenaga untuk bisa menghindari bentuk-bentuk "kesesatan" bahasa di tengah konflik ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H