Mohon tunggu...
Cahyo Budiman
Cahyo Budiman Mohon Tunggu... Ilmuwan - Orang biasa

tukang bakso dan mie rebus

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Berapa gajimu ??

14 Oktober 2012   16:40 Diperbarui: 24 Juni 2015   22:51 32
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Bab pertama dalam buku Tim Plentzer, Police Corruption, percenting misconduct and maintaining integrity (1999), dibuka dengan pernyataan tegas. Korps polisi saat ini tidak lain hanya an organized criminal gang !!

Alasanya sederhana, kajian Plentzer menunjukan bahwa aparat kepolisian di berbagai belahan dunia tidak lepas dari perilaku korup.  Sayang, Indonesia tidak disinggung dalam bukunya. Tapi saya khawatir, jangan-jangan aparat bhayangkara kita juga hanya gerombolan gang criminal berseragam polisi?

Pernyataan Wakapolri, Komjen Nanan Sukarna menguatkan kekhawatiran itu. Secara implisit dia mengaku perilaku korup di tengah aparat kepolisian kita. Alasanya menurut beliau: rendahnya gaji !

Anda tentu bagian dari yang mencaci sang Komjen, tapi maaf saya tidak ingin ikut-ikutan mencaci. Dengan alasan sederhana. Saya sepakat bahwa ada korelasi positif antara gaji dan tindakan korup. Jangan berdebat masalah besar-kecilnya korelasi tersebut. Yang pasti positif. Anda bisa cek di berbagai kajian-kajian para pakar yang banyak tersebar di internet.

Lebih menarik bagi saya adalah mencari informasi: berapa gaji yang “aman” bagi aparat kepolisian, atau aparat pemerintah lainnya, sehingga menjamin mereka bebas dari perilaku korup?

Saya menemukan jawaban dalam paper works terbitan IMF tahun 1997. Bukan angka nominal, melainkan formula matematika yang membuat rambut saya acak-acakan karena sukar memahaminya. Kemungkinan penyebabnya dua hal. Pertama, latar belakang pendidikan saya bukan berasal dari rumpun ilmu ekonomi sehingga sukar memahaminya. Kedua, saya memang bego ! Apapun itu, bagi anda yang lebih memahaminya, akan sangat senang jika bisa berbagi dengan saya.

Tapi terus terang saya pribadi sangsi alias ragu. Meskipun kita menemukan “batas aman” gaji aparat, saya tidak yakin serta merta perilaku korup para aparat polisi, dan pemerintah, akan lenyap. Disinilah saya sepertinya sedikit berbeda dengan Komjen Nanan.

Apa pasal?

Komjen Nanan sepertinya hanya menekankan permasalahan kebobrokan aparat kepolisian pada satu permasalah saja: gaji yang kecil ! Dengan cara berfikir beliau, permasalahan akan selesai jika (kemudian) gaji dikerek naik di nominal tertentu. Nanan lupa bahwa kalau dia “bedah” data gaji para koruptor, sebenarnya gaji mereka sudah dalam range di atas rata-rata.

Anggota dewan memiliki gaji puluhan juta per bulannya. Demikian juga mentri kabinet. Gaji pejabat daerah juga dipastikan dalam range puluhan juta. Take home pay mereka jauh dari kategori kurang. Tapi faktanya, justru disitulah korupsi berpusar. Mereka yang yang mengantongi gaji di atas rata-rata justru menjadi pelaku korupsi. Lalu dimana peranan gaji?

Gaji tinggi tidak akan berperan apa-apa jika dibiarkan dia “berjuang sendiri” memberantas korupsi. Ini yang terjadi pada kasus Gayus. Pegawai Pajak kelas III.a dengan topangan sisten renumerasi Departemen Keuangan, yang kita semua tahu sangat mencukupi. Gaji tinggi para anggota dewan, pejabat daerah, menteri, dan seterusnya gagal memberantas perilaku korup mereka. Karena gaji dibiarkan “bergerak” sendiri mereduksi semua perilaku amoral itu. Padahal “gaji” bukanlah super hero yang bisa mengerjakan itu sendiri.

Maka Komjen Nanan semestinya memperhatikan aspek lainnya, di luar rendahnya gaji aparat, dalam rangka menekan perilaku korup di lingkungan kantornya.

Komjen Nanan lupa, atau pura-pura lupa, ada korelasi positif yang sangat tinggi antara gaji dan perubahan gaya hidup. Kenaikan gaji (siapapun) senantiasa akan diiringi dengan peningkatan gaya hidup.  Yang tadinya “terpaksa” menggunakan angkutan umum, bergeser menuju angkutan lain yang lebih mahal. Yang terbiasa mobil sekelas Xenia, Avanza, naik kelas menjadi Alphard dan sejenisnya. Yang terbiasa “terpaksa” tidak ber-gadget, menjadi gadget-holic.Yang terbiasa “terpaksa” window-shopping, menjadi….. ya anda tahu sendiri.

Salah? Sebenarnya tidak. Tapi yang kerap terjadi adalah perubahan gaya hidup yang berlebihan. Menyingkirkan prinsip-prinsip fungsional dalam mengkonsumsi sesuatu, melainkan lebih pada nilai sosial lainnya yang sebenarnya tidak penting.

Dengan mental seperti itu, kenaikan gaji sebesar apapun, tetap akan menghasilkan margin yang sedikit. Resultanya: merasa kurang ! Lalu dicarilah cara-cara lain untuk terus memuaskan gaya hidupnya, memperlebar margin gaji dan pengeluarannya. Dan seterusnya tanpa henti. Dan ini terjadi di pejabat !

Dan, mental-mental korupsi muncul ! Apalagi, di negeri ini yang baik dan buruk “berselingkuh” sedemikian asyik sehingga susah sekali dibedakan. Atau bahkan orang tidak peduli mana yang baik, mana yang buruk.

Hal kedua yang dilupakan, atau (lagi-lagi) pura-pura lupa, adalah perlindungan sistem yang dibangun secara tegas untuk anti terhadap korupsi. Dalam hal ini tujuanya tidak muluk-muluk, hanya dua saja: membantu peranan gaji; dan mencegah mental korup, diantaranya gaya hidup yang berlebihan.

Permasalahan yang dijumpai di banyak instansi, atau bahkan negara, adalah ketidaksadaran akan masalah pada sistem kita yang tidak tegas. Anda pasti heran, bagaimana koruptor dan aparat penegak hokum bisa saling berbantah-bantahan dengan menggunakan dalil ayat-ayat hukum. Dua-duanya sama-sama fasih, sama-sama pintar memilah dalil. Dan masyarakat bingung mana yang benar.

Undang-undang disatu sisi digunakan untuk menangkap dan memenjarakan koruptor. Di sisi lain, undang-undang yang sama di gunakan untuk membebaskan koruptor. Lihat bagaimana pembelayaan Prof. Yusril Ihza Mahendra yang berhasil membebaskan mereka yang terlibat kasus korupsi. Mereka di tahan atas nama hukum. Lalu Prof. Yusril membebaskan mereka, juga atas nama hukum !! Baik penahanan maupun pelepasan, keduanya sama benarnya karena hukum mengatur itu.  Dan kita bingung, jadi koruptornya salah atau benar??. Sistem macam apa ini ??

Di satu sisi kita mesti dan wajib sepakat dengan Komjen Nanan. Polisi yang bersih memang harus ditopang dengan kesejahteraan aparatnya yang baik. Tapi, disisi lain, kita mesti mengingatkan Sang Wakapolri untuk tidak membiarkan gaji tinggi berjuang sendiri memberantas perilaku korup ! Itu mustahil !

Jadi berapa gaji mu?? Apakah engkau korupsi??

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun