Mohon tunggu...
Cahyo Budiman
Cahyo Budiman Mohon Tunggu... Ilmuwan - Orang biasa

tukang bakso dan mie rebus

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Menyelamatkan "Jang Geum" Lewat Duet SBY-Mega

24 November 2010   11:20 Diperbarui: 26 Juni 2015   11:20 549
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_74496" align="alignleft" width="210" caption="http://www.spcnet.tv/"][/caption] Pulau Yeonpyeong, sebuah pulau kecil yang "hanya" berjarak 80 km di sebalah barat kota Incheon, Korea Selatan siang itu akhirnya "membara" dibombardir tidak kurang dari 200 artileri  Korea Utara. Serangan ini merupakan klimaks dari ketegangan berkepanjangan dua negera serumpun tersebut selama ini. Sebelumnya, perang hampir saja meledak menyusul insiden tenggelamnya kapal selam Korea Selatan akibat dihantam torpedo akhir April lalu. Empat puluh lima awaknya tewas dalam insiden tersebut. Korea utara kemudian dituding sebagai pihak yang bertanggung jawab yang melepaskan torpedo tersebut. Ketegangan ini terus berlanjut hingga beberapa waktu lalu Korea Utara "unjuk gigi" dengan fasilitas pengayaan uranium-nya yang membuat Korsel beserta AS plus sekutunya berang. Dan akhirnya kita tahu bersama, "negeri Jang Geum" itu akhirnya berperang melawan tetangganya sendiri Selasa kemarin (23 November 2010). Saya satu dari pihak yang setuju bahwa perang kedua negara tersebut sejatinya adalah "pertarungan" dua kepentingan ideologi berbeda : sosialisme dan kapitalisme. Sosialisme di usung oleh Korut dan tumbuh kian kuat akibat sokongan Rusia dan China, dua negara besar yang punya pengaruh kuat di dunia. Korsel dengan kapitalismenya jelas masuk dalam lingkaran "sahabat" AS plus sekutunya. [caption id="attachment_74498" align="aligncenter" width="620" caption="Kepulan asap menjulang di Pulau Yeonpyeong (Kompas.com)"]

12905978411590646224
12905978411590646224
[/caption] Tapi apapun pemicunya, kita harus segera berfikir meredakan ketegangan di semenajung Korea karena ekskalasinya akan berdampak ke seluruh penjuru dunia. Di Indonesia, beberapa jam setelah insiden Yeonpyeong tersebut, indeks harga saham gabungan (IHSG) ambrol sekitar 60 poin. Hal yang sama terjadi di bursa saham negara-negara asia lainnya yang juga mengalami penurunan. Terlihat sekali efek konflik ini yang begitu cepat menjalar ke berbagai penjuru negara yang terpisah ribuan mil dari semenanjung Korea. Meskipun ekonom Faisal Basri menengarai adanya "keuntungan" lain yang bisa kita peroleh dari konflik tersebut (catat misalnya saat perang korea pertama dulu kita mendapat keuntungan berlipat dari ekspor karet), tapi tentu tidak bijak jika kemudian kita bertepuk tangan menyaksikan sisi lain di belahan bumi ini membara oleh perang.
1290596968917253032
1290596968917253032
Menyerahkan ke AS dan China untuk meredakan konflik tersebut bukanlah pilihan tepat karena dua negara tersebut berdiri pada posisi asimetris. China akan cenderung "membela" Korut, sebaliknya AS pasti akan menuding-nuding Korut. Pesimisme juga rasanya patut kita lontarkan jika hanya menggantungkan diri pada "six-party talks" (Korsel, Korut, AS, Jepang, China, Rusia) karena hanya akan memindahkan konflik dari daratan ke meja perundingan. Perlu peranan pihak lain yang "relatif" lebih netral dan punya ikatan emosional yang cukup kuat bagi kedua negara tersebut. Dan Indonesia punya potensi untuk bisa memainkan posisi itu. Kenapa Indonesia ? Pertama, kita punya ikatan emosional (yang kuat) dengan Korut. Bagi yang lupa, saya coba buka memori kita bersama tentang "diplomasi bunga" Bung Karno saat Presiden Korut Kim Il Sung (Ayah dari Kim Jong Il, pemimpin Korut saat ini)  melakukan kunjungan diplomatik ke Indonesia di tahun 1965. Melihat kim Il Sung yang terpesona dengan serumpun bunga anggrek saat berjalan-jalan di Istana Bogor, maka Bung Karno memberinya hadiah bunga anggrek tersebut. Bukan cuma diberikan saja, Bung Karno "membumbui"nya dengan sebuah nama baru bagi bunga tersebut : "Kimilsungia", akronim dari "Kim Il Sung" dan "Indonesia" (untuk yang ini kita semua faham tentang kelihaian Bung Karno dalam menyusun banyak akronim). Bunga Kimilsungia kini luas dikembangkan di Korut dan bahkan dinobatkan sebagai bunga nasional negara tersebut. Inilah keberhasilan besar dari "diplomasi bunga" ala Bung Karno yang membangun ikatan emosional kuat dengan Korut. Maka tidak heran jika kemudian bukan rahasia lagi bahwa Kim Jong Il saat ini juga memiliki hubungan dekat dengan mantan presiden RI kita, Megawati Soekarno Putri. Mereka melanjutkan hubungan persahabatan orang tuanya dan memeliharanya hingga kini. Ibu Mega bisa kita sodorkan sebagai pihak yang "sepatutnya" bisa ditugaskan untuk melakukan diplomasi ke Korut demi meredakan ketegangan disana. Hubungan "antar sahabat" ini tentu akan lebih "soft" dalam "menjinakkan" Kim Jong Il dan kemudian menenangkan negara-negara sekitarnya. Kedua, bertumpu pada "kejinakan" Korut semata tentu bukan pilihan tepat, Korsel pun wajib di dekati karena bagaimanapun konflik tersebut dipicu oleh dua negara tersebut. Harus diakui bahwa pasca orde lama tumbang hubungan dengan negara-negara komunis (termasuk Korut) menjadi renggang akibat orientasi Indonesia yang lebih berkiblat ke Washington. Coba saja cek, tidak pernah ada catatan kunjungan kenegaraan SBY ke Korut (atau sebaliknya, Kim Jong Il ke Indonesia)  selama ini. Rencana SBY ke Korut pun beberapa bulan lalu berakhir dengan pembatalan (yang diisukan akibat tekanan negara-negara tertentu yang tidak mengingkan Indonesia membangun relasi dengan Korut). Kontras sekali dengan frekuensi pertemuan kenegaraan RI dan Korsel yang sudah berlangsung beberapa kali. Ini fakta yang menunjukkan bahwa secara diplomatik, kita lebih dekat dengan Korsel. Disinilah peranan SBY seyogyanya dimainkan. Sebagai seorang pemimpin yang berwenang memainkan hubungan diplomatik, SBY punya kekuatan untuk "berbicara" dengan Lee Myung-bak, sang presiden Korsel.Perlu dicatat pula, dua-duanya merupakan sosok "US-oriented". Lee Myung-bak sebagai presiden negara dari sekutu Paman Sam tentu saja mengakomodasi dengan baik kepentingan-kepentingan AS di negaranya. Sama halnya SBY yang beberapa kali bahkan secara ekspresif menyatakan AS sebagai negara keduanya. Riuhnya penyambutan Obama saat beberapa waktu lalu berkunjung ke negara kita pun turut menunjukkan fakta bahwa SBY benar-benar berada dalam lingkaran AS dan sekutunya. Jadi, SBY biarlah memainkan perananya untuk berbincang dengan Lee Myung-bak agar bisa meredakan tensi ketegangan  di wilayah tersebut. Jika dipadukan dengan soft power Bu Mega yang mendekati Kim Jong Il di sisi utara, tentu duet antara dua pemimpin tersebut akan sangat besar pengaruhnya dalam membangun perdamaian di Semenanjung Korea. Permasalahannya adalah : Mau kah mereka "berduet" untuk pekerjaan tersebut ? Mengingat "konflik" keduanya juga memang sudah menjadirahasia publik sejak Pilpres 2004 dan 2009 lalu. Tapi bagaimanapun, mari sama-sama berharap semoga saja merekabersedia bekerja sama kembali seperti saat keduanya berada dalam satu kabinet (SBY menjadi salah satu mentri di kabinet Bu Mega). Jika tidak, rasanya sulit mencari cara lain untuk bisa menyelamatkan si cantik "Jang Geum" dari amukan peluru Korut :D

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun