Mohon tunggu...
Cahyo Budiman
Cahyo Budiman Mohon Tunggu... Ilmuwan - Orang biasa

tukang bakso dan mie rebus

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Yusril (Tetap) Kalah!

23 September 2010   00:07 Diperbarui: 26 Juni 2015   13:02 558
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_266227" align="alignright" width="300" caption="Yusril saat di Kejaksaan Agung (Republika.com)"][/caption] Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) 22 September 2010 dipandang oleh banyak pihak sebagai bentuk kemenangan Yusri lhza Mahendra atas Jaksa Agung Hendarman Supandji. Substansi putusan itu memang sepertinya seiring dengan pandangan Yusril yang mempermasalahkan keabsahan Hendarman Supandaji sebagai Jaksa Agung dalam jajaran Kabinet SBY-Bodiono saat ini. Dalam pandangan Yusril, Hendarman seharusnya turun dari `kursi`nya begitu pemerintahan SBY-JK berakhir 2009 lalu karena SK pengangkatannya menempatkan beliau sebagai Jaksa Agung anggota kabinet pemerintahan tersebut. Konsekuensinya, Hendarman dinyatakan sebagai Jaksa Agung ilegal pasca pemerintahan SBY-JK berakhir dengan landasan hukum tersebut. Inilah kira-kira jalan fikiran Yusril, dan putusan MK memang secara substansi mengamini asumsi Yusril, Jaksa Agung Hendarman dinyatakan berhenti dengan dasar hukum tersebut. Di mana kemenangan Yusril? Dalam kaca mata saya, tidak ada bentuk-bentuk kemenangan yang diraih Yusril lewat putusan itu. Alih-alih kemenangan, justru Yusril makin menegaskan `kekalahannya` akibat putusan MK. Kenapa bisa demikian? Pertama. Sejatinya, Yusril berteori bahwa Jaksa Agung adalah ilegal sejak 2009 lalu, walhasil putusan-putusan yang diteken Jaksa Agung tersebut juga dengan sendirinya tidak sah. Yusril akan mendapat keuntungan dari teori ini, karena penetapan beliau sebagai tersangka kasus korupsi Sistem Administrasi Badan Hukum (Sisminbakum) dikeluarkan di masa pemerintahan SBY-Boediono, atau berada dalam dimensi waktu dimana Hendarman dianggap ilegal di mata Yusril. Penetapan tersebut bisa dianggap ilegal alias inskonstitusional karena dilakukan oleh Jaksa Agung yang juga inkonstitusional. Ini sebenarnya yang ada dalam fikiran Yusril. Tapi yang terjadi, putusan MK tidaklah sekongruen dengan pemikiran Yusril, Benar, bahwa MK menyatakan bahwa Jaksa Agung harus berhenti seiring dengan ketukan palu MK tertanggal 22 September 2010, pukul 14.35. Tapi, MK sama sekali tidak menyatakan bahwa tindakan Jaksa Agung adalah ilegal pasca berakhirnya pemerintahan SBY-JK. Tindakan Hendarman sebagai Jaksa Agung tetap sah hingga jatuhnya keputusan MK tersebut. Tapi, jika Hendarman mengambil sebuah tindakan hukum pasca putusan MK, barulah kemudian itu dianggap ilegal. Dalam logika ini, putusan Hendarman dalam menetapkan Yusril sebagai tersangka kasus Sisminbakum tetap sah ! Inilah kekalahan Yusri. Harapanya bahwa putusan MK berefek pada statusnya sebagai tersangka, sama sekali tidak sesuai dengan yang dia angankan. Kedua. Putusan MK tidak tegas terkait pemberhentian Jaksa Agung Hendarman. Benar bahwa logika hukum mengatakan bahwa sepatutnya Jaksa Agung diganti begitu palu putusan MK diketuk. Tapi di negara kita ada mekanisme lain yang bisa dilakukan tanpa harus melanggar putusan tersebut, yakni konvensi ketatanegaraan. Lewat konvensi ini, bisa saja kemudian proses pergantian Jaksa Agung diundur dengan alasan persiapan administrasi dan teknis laiinya. Tentu saja ini sah secara hukum. Jadi meskipun MK sudah memutuskan Jaksa Agung berhenti dan harus diganti sejak putusan itu, pemerintah bisa tetap mempertahankan Hendarman sebagai Jaksa Agung hingga pengangkatan Jaksa Agung baru nanti. Perlu dicatat bahwa pemerintah memang sedang mempersiapkan pergantian Jaksa Agung seiring dengan pergantian Kapolri mendatang. Jadi, dengan menggunakan dasar konvensi ketatanegaraan tadi, pemerintah bisa tetap menjalankan rencananya tersebut terkait pergantian Jaksa Agung, tanpa harus terburu-buru dan tanpa harus melanggar putusan MK. Inilah efek dari kealpaan MK memberikan tenggat waktu terkait pergantian Jaksa Agung. Meski secara `de jure` Jaksa Agung saat ini sepatutnya berhenti, tapi secara `de facto` Hendarman bisa terus menjadi Jaksa Agung tanpa harus melanggar hukum dengan memanfaatkan mekanisme konvensi tersebut.Dalam konteks ini, lagi-lagi Yusril harus gigit jari karena Hendarman bisa terus menjadi Jaksa Agung sampai pergantian dilakukan oleh pemerintah sesuai dengan perencanaan mereka. Yusril kalah, karena (lagi-lagi) tidak ada Jaksa Agung ilegal yang muncul sebagai efek dari putusan MK tersebut. Saya pribadi melihat, ini jalan tengah yang sudah berhasil dibuat MK dalam menyelesaikan polemik hukum ketatanegaraan di negeri ini akibat posisi Jaksa Agung yang dipermasalahkan. Bisa dibayangkan, jika Jaksa Agung ilegal sejak 2009 lalu, berapa kasus pidana atau sejenisnya yang harus kemudian ditinjau ulang akibat dikeluarkan oleh Jaksa Agung yang ilegal. Saya sepakat dengan Mahfud MD dan Jimly Ashidiqie yang berkali-kali menegaskan bahwa ini hanyalah permasalahan administrasi. Dan tentu harapannya, jangan sampai permasalahan administrasi ini mengorbankan substansi hukum lainnya, termasuk pidana korupsi Sisminbakum. Saya mengapresiasi putusan MK yang setidaknya berimplikasi pada terus berjalannya penyelesaian kasus-kasus pidana korupsi yang tengah dikerjakan oleh Kejaksaan Agung, termasuk kasus Sisminbakum, tanpa harus memporak-porandakan sistem ketatanegaraan kita. Implikasi ini pula yang membuat Yusril harus saya posisikan sebagai pecundang karena putusan MK sama sekali tidak akan berpengaruh pada kasus yang sedang dijalaninya.

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun