Terbayangkah oleh anda bahwa sampah rumah tangga sehari-hari, kotoran hewani dari kandang di kampung kita dapat berakhir kembali ke rumah kita, namun dalam bentuk yang amat berbeda -- listrik! Ya, sampah yang kita buang setiap harinya dapat menjadi sebuah sumber energi, begitupun dengan kotoran hewani yang sering kita hindari karena kotor dan baunya.
Sumber energi ini, yaitu zat organik dari sebuah bahan biologis, baik tanaman atau  hewan, disebut sebagai biomassa. Contoh-contoh biomassa yang lebih sering kita dengar mungkin adalah tanaman energi, seperti gabah padi, tebu, tanaman jarak ataupun minyak kelapa sawit, dimana tanaman tersebut didistilasi dan diproses lebih lanjut menjadi campuran untuk biofuelatau Bahan Bakar Nabati (BBN). Namun, ada juga jenis yang lainnya yaitu limbah organik seperti limbah makanan, limbah kayu ataupun limbah peternakan.
Sebenarnya, biomassa adalah salah satu sumber energi yang paling lama sudah kita pakai, beribu-ribu tahun sebelum listrik ditemukan. Misalnya, saat nenek moyang kita jaman dahulu membakar kayu bakar untuk memasak atau memanaskan air, mereka sudah memakai biomassa dalam bentuk limbah tanaman. Energi yang dihasilkan dari pemanfaatan biomassa ini disebut bioenergi.
Lantas, bagaimana caranya limbah-limbah tanaman ini, atau bahkan limbah hewani dapat dirubah menjadi listrik?
Singkatnya, energi yang tersimpan dalam biomassa dilepaskan baik melalui pembakaran langsung biomassa, atau reaksi kimiawi melalui bakteri anaerobik yang melepaskan gas metana dari limbah hewani atau sampah-sampah yang terkumpul misalnya di TPA yang kemudian dapat dijadikan bahan bakar pengganti gas bumi (sumber energi fossil) untuk menghasilkan listrik.
Cara pemanfaatan dengan pembakaran langsung mungkin tidak terlalu asing bagi kita -- limbah nabati yang dibakar akan menghasilkan panas yang akan memanaskan air, dimana uap yang dihasilkan akan memutar turbin dan membuat listrik dari generator yang tersambung dengan turbin. Pada kali ini, kita akan lebih membahas secara khususnya Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa).
PLTSa memiliki berbagai jenis dan cara kerja, ada yang tergantung dan sangat spesifik kebutuhan bahan bakarnya (limbah makanan, sisa hasil pertanian, dll.), ada pula yang terbagi berdasarkan proses pengolahan bahan bakarnya (biogas, pembakaran langsung, dll.). Seperti apakah pembangkit listrik dari biogas atau PLTSa yang sudah terpasang di Indonesia, dan bagaimana potensinya?
Potensi dan Tantangan PLTSa di Indonesia
Indonesia, negara dengan penduduk terbanyak keempat di dunia, tentunya menghasilkan banyak sampah. Dalam tahun 2016 saja, Indonesia sudah menghasilkan 65 juta ton sampah. Lalu, bagaimana dengan pemanfaatan sampah untuk pembangkitan listrik? Spesifik untuk sampah kota, Indonesia memiliki potensi sampai 2,1 GW, namun pemanfaatannya saat ini bahkan tidak sampai 1%, yaitu di angka 17,6 MW. Dengan sampah yang berlimpah ini, dan teknologi pemanfaatannya yang kurang lebih sudah kita pahami, lantas mengapa potensi ini tidak terkembangkan dengan baik? Apakah faktor-faktor yang menghambat pengembangan PLTSa di Indonesia?
Faktor pertama yang sangat besar pengaruhnya terhadap tingkat keekonomian atau keatraktifan proyek PLTSa adalah tidak adanya tipping fee atau gate fee untuk pembuangan sampah di Tempat Pembuangan Akhir (TPA). Tippingfeeini adalah biaya yang harus dikeluarkan oleh pembuang sampah kepada perusahaan manajemen limbah saat membuang sampahnya di TPA. Penerapan tipping feesebenarnya dapat kita nalar -- sampah yang memiliki dampak bagi lingkungan hidup disekitarnya, terutama dampak kesehatan, perlu diurusi agar tidak berbahaya bagi lingkungan sekitar. Saat sebuah organisasi atau bahkan individu membuang sampah dalam jumlah besar, bukankah bisa saja ia harus membayar suatu biaya kompensasi untuk organisasi yang mengurusi sampahnya?
Di negara-negara maju, pembuangan limbah di TPA memakan biaya yang cukup signifikan dan bahkan terdapat pajak untuk pembuangan yang juga cukup tinggi. Lantas, perusahaan dalam membuang limbahnya dapat memilih untuk membuangnya ke PLTSa daripada ke TPA agar lebih hemat biaya. Hal ini membuat pembuangan limbah ke PLTSa sangat efektif karena harganya yang umumnya lebih murah. Untuk pengembang PLTSa sendiri, tipping fee ini juga menjadi pemasukan yang cukup tinggi, bisa mencapai 30-40% dari omset pembangkit listrik tersebut. Ketiadaan sistem tipping fee membuat tidak adanya insentif bagi pembuang limbah untuk memilih PLTSa sebagai alternatif sistem pembuangan limbahnya sendiri.