Nilai pada hakekatnya adalah norma atau suatu tatanan kehidupan dalam masyarakat yang mencakup etika, moral. Dalam arti sempit dunia pendidikan kita, nilai adalah hasil akhir sebuah penghitungan suatu pengujian baik teoritis maupun praktek. Dunia pendidikan kita masih terikatdengan pengertian nilai secara sempit. Sesuatu yang sangat menjebak dan pada akhirnya berakibat fatal. Dalam kamus bahasa Indonesia bisa kita temukan bahwa nilai memiliki arti selain sebagai angka kepandaian tapi juga memiliki arti sebagai sifat-sifat (hal-hal) yang penting/berguna bagi kemanusiaan dan sesuatu yang menyempurnakan manusia sesuai dengan hakekatnya yang menunjukkan bahwa nilai memiliki pemahaman yang sama dengan norma.
Tatanan pendidikan kita hampir sama sekali tidak menyentuh moral dan etika yang merupakan arti sebenarnya dari “nilai”. Pendidikan moral dan etika hanya menyentuh aspek nilai dalam arti sempit, yang saya artikan hanya sebagai angka kepandaian, tetapi tidak sampai kepada pendidikan praktis yang menyentuh jiwa anak didik untuk mengalami kedewasaan psikologis berdasarkan norma dan etika yang benar.
Secara jelas terlihat dari tingkah laku, perbuatan dan tindak tanduk anak-anak dan remaja masa kini. Melihat dan mendengar berita di televisi yang sekarang 90% memberitakan tentang kriminalitas, kerusuhan, kekerasan yang sebagian besar dilakukan anak-anak usia remaja antara 15 – 25 tahun sungguh menjadi data yang sangat mencengangkan. Dengan kondisi negara kita yang memiliki masyarakat usia produktif (sekolah) yang cukup besar hal ini menjadi keprihatinan. Hal-hal positif tengah diupayakan pemerintah yang setiap tahun berusaha menyempurnakan kurikulum pendidikan yang selalu jauh dari sempurna. Kurikulum yang semakin diupayakan untuk dapat menyentuh arti nilai yang sebenarnya yaitu mendidik anak agar tahu dan dapat menerapkan norma/etika secara benar dan tepat. Tetapi, tampaknya akan tetap menjadi perjuangan yang berat jika tidak saya katakan sia-sia karena dunia pendidikan kita masih ada dalam kekangan nilai dalam arti sempit.
Secara sederhana, selama nilai teoritis menjadi tujuan akhir suatu kelulusan anak dalam pendidikan maka arti nilai tidak akan berkembang dan menyentuh norma/etika. Perkembangan kedewasaaan manusia tidak dapat ditentukan dengan sebuah angka. Penilaian dalam bentuk angka hanya dapat menentukan apakah anak mengetahui jawaban mana yang benar dan jawaban mana yang salah tetapi tidak akan bisa mengetahui apakah anak sudah menerapkan pengetahuan itu. Hal tersebut dapat diatasi dengan memberi tugas praktek kepada anak, tapi jika tetap tujuan akhir yang didoktrinkan adalah untuk mendapatkan suatu nilai tertentu dalam angka, maka anak akan mengerjakan tugas praktek tersebut sebatas untuk mendapat angka, setelah itu selesai.
Butuh langkah progresif dan inovatif dari pemerintah dalam menyempurnakan sebuah kurikulum dan yang terpenting mengubah paradigma para pendidik untuk dapat menangkap arti nilai yang sebenarnya. Perkembangan dunia yang semakin pesat menuntut orang-orang yang hidup didalamnya untuk dapat berkembang dengan pesat pula. Hal tesebut menimbulkan gaya hidup instan dalam masyarakat, tidak terkecuali dalam dunia pendidikan.
Banyak cara dipakai untuk mendapatkan nilai secara instan; mencontek, copy paste, menyuap pendidik, dan sebagainya. Bahkan yang luar biasa dinegara kita para pendidik pun melakukan cara-cara instan dalam memberikan nilai kepada anak didiknya. Banyak kasus yang saya dapat, meski tidak semuanya, dimana anak usia SMA masih sulit dalam membaca dan membuat kalimat dengan benar dalam Bahasa Indonesia. Dalam bidang Eksak (Matematika dan IPA), khususnya bidang Matematika anak usia SMA masih sulit dan cenderung tidak bisa melakukan proses penjumlahan dan pengurangan. Yang menjadi pertanyaan menggelitik adalah kok bisa mereka lulus hingga jenjang SMA? Bagaimana para pendidik sebelumnya memberi nilai pada mereka? Apa saja yang para pendidik sebelumnya ajarkan pada mereka?... Kasus tersebut saya dapatkan bukan didaerah yang sulit menemukan akses pendidikan, tapi dikota besar yang sangat mudah menemukan akses pendidikan.
Kasus diatas adalah salah satu contoh fatal tekanan dari sebuah nilai dalam arti sempit yang berwujud angka. Dalam kurikulum pendidikan kita pemerintah telah menentukan 3 aspek penilaian yaitu Afektif, Kognitif dan Psikomotorik. Afektif adalah penilaian sikap, kognitif adalah penilaian dalam berpikir dan psikomotorik adalah penilaian ranah ketrampilan. Dari ketiga aspek tersebut prosentase terbesar yang dipakai dalam penentuan kelulusan adalah nilai kognitif . meskipun aspek afektif dan psikomotorik dalam prakteknya juga dilakukan penilaian tetap tidak menjadi pegangan utama dalam menentukan kelulusan, toh penilaian dalam aspek afektif dan psikomotorik dapat direkayasa untuk mendukung penilaian kognitif. Ironis…
Satu lagi akibat fatal dari penilaian secara sempit adalah ketakutan anak didik terhadap ujian, baik ujian semester, ujian sekolah dan yang utama terhadap Ujian Nasional (UN). Ketakutan yang ditimbulkan sangat kronis dan mengakibatkan siswa sangat phobia dengan status “tidak lulus ujian”. Dengan efek domino dimana sekolah dipandang buruk jika ada siswa tidak lulus Ujian Nasional, maka sekolah pun memakai berbagai cara supaya anak didiknya dapat dinyatakan lulus. Sayangnya cara-cara yang dipakai adalah cara curang dan tidak jujur, yaitu dengan melakukan mark up nilai/menaikkan nilai (angka) anak didik supaya dapat dinyatakan lulus. Miris..!!
Dengan hal ini kita bisa memahami dari mana para birokrat kita memiliki ilmu korupsi, ketidakjujuran, ketidakadilan, dan tidak memiliki rasa malu. Ya..semua berasal dari pendidikan kita sendiri. Dari persoalan yang terjadi kita bisa belajar bahwa ada suatu permasalahan dalam sistem penilaian pada pendidikan kita.
Kita yang dikenal sebagai negara yang beragama dan bertoleransi ternyata tidak menampakkan hal tersebut bahkan terkesan mengikisnya dalam pendidikan anak didik kita. Sebagai negara yang beragama dan bertoleransi hendaknya pendidikan tentang agama dan toleransi (Pancasila) menjadi hal pokok (garis depan) dalam pengajaran. Logikanya sederhana, apabila seorang manusia memiliki moral dan akhlak yang baik maka ilmu-ilmu lain yang dipelajarinya akan ditempatkan dan diaplikasikan untuk kebaikan. Ilmu Eksak dan ilmu sosial bisa dipelajari dan dibaca, tetapi ilmu tentang moral dan akhlak hanya bisa diterapkan. Jika bangsa ini mampu mendidik dan memunculkan manusia-manusia yang bermoral dan berakhlak baik maka bangsa kita akan mudah jauh dari korupsi, perpecahan, kerusuhan, dan terorisme. Kita bisa belajar, pejabat-pejabat yang benar dan baik pasti dalam hidupnya memiliki moral dan akhlak yang baik yang ia dapatkan dari pendidikan agama dan toleransi (Pancasila) dengan porsi yang lebih besar dari ilmu lain yang mereka pelajari.
Salam Perubahan…
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI