Mohon tunggu...
Cahya Saputra
Cahya Saputra Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Program Studi Pendidikan Sejarah, Universitas Siliwangi, Tasikmalaya, Jawa Barat, Indonesia.

Singkatnya saya seorang mahasiswa yang sedang menggali dalamnya lautan pengetahuan, yang senantiasa menggali dan menghimpun pengalaman dan selalu menjadikan pengalaman sebagai guru bagi kehidupan. Sebenarnya saya tidak tau, layak atau tidaknya menerima label sebagai seorang mahasiswa, karena saya merasa belum bisa ikut berkontribusi bagi negara umumnya dan diri sendiri khususnya, karena menurut hemat saya, penamaan mahasiswa ini bukan sekedar embel-embel belaka, yang dinobatkan begitu saja kepada siswa yang berhasil mengikuti rangkaian kegiatan pengenalan lingkungan kampus, melainkan bagaimana kehormatan dan kebijaksanaan berfikir yang senantiasa menuntun untuk berfikir benar dan bertingkah laku benar, sehingga pada giliranya setiap orang yang bergelar "Mahasiswa" harus bisa membawa sedikitnya perubahan bagi diri sendiri, dan besarnya bisa berguna bagi kehidupan orang lain. Hallo, saya Cahya Saputra seorang putra yang lahir dari 2 orang terkasih, mereka adalah Aah Ahidin dan Lina Marlina, saya lahir pada 03 Mei 2005, Selasa. Saya gemar berfikir akan bagaimana kelak saya bisa hidup berguna, maka dari itu menulis adalah salah satu implementasi saya untuk berupaya mewujudkan tujuan hidup saya. Senantiasa "Bismillah", selalu diakhiri dengan "Hamdallah"

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Eksistensi "Nyai" di Era Kolonial, Pada Awal Masa Pendudukan Bangsa Barat di Nusantara

2 September 2024   21:20 Diperbarui: 2 September 2024   21:23 115
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Nyai ini merupakan panggilan kepada perempuan muda dalam bahasa Bali, Jawa, dan Sunda untuk mereka yang mau dijadikan pelayan bagi para tuannya, sebenarnya banyak sekali faktor yang membuat seorang perempuan ini memilih untuk menjadi seorang Gundik atau Nyai, salah satu contohnya ketika adanya satu kebijakan bernama "Culture Stelsel" dimana masyarakat bumi putera ini diharuskan untuk menjadikan 20% lahan tanahnya ditanami tanaman komoditas sesuai perintah Belanda, dan ketika sudah 75 hari maka setiap orang harus menyerahkan hasil tanah yang mereka punya untuk dijadikan sebagai pajak. 

Malangnya nasib para bumiputera yang tidak memiliki lahan tanah sehingga harus menjadi buruh untuk memenuhi pajak tersebut, tetapi tidak sedikit juga banyaknya laki-laki pribumi yang sakit dan harus digantikan oleh para istrinya, kemudian hal inilah yang menjadi implikasi terjadinya pernyaian di era Kolonial. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun