Mohon tunggu...
Cahyaningtyas Rizky Soft
Cahyaningtyas Rizky Soft Mohon Tunggu... -

karena "perahu kertas" ku pasti akan berlabuh kepada orang yang tepat

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Bermain di Sekolah Golden Age

13 Juni 2014   05:44 Diperbarui: 20 Juni 2015   03:57 66
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Bermain merupakan sebuah pendekatan yang tepat dalam melaksanakan sebuah pendidikan di lingkungan anak usia dini. Tentunya dengan menggunakan metode, strategi, dan media menarik, dan menyenangkan. Melalui bermain, secara tidak langsung melalui bermain dapat mengeksplorasi, menemukan semua kemampuan yang ada pada diri anak usia dini.

Bermain merupakan sebuah kebutuhan bagi anak. Meskipun anak yang masih terlalu dini (sekitar 1-3 tahun) belum mengerti apakah kegiatan bermain yang dilakukan merupakan bermain yang membahayakan dirinya atau tidak. Karena bermain akan memberikan kesenangan tersendiri bagi dirinya baik itu disadari atau tidak. Namun jika sudah memasuki usia 2-5 tahun, maka anak usia dini harus sudah diarahkan dalam kegiatan permainnya. Atau bisa dikenal dengan kegiatan bermain sambil belajar. Mengusahakan meskipun mereka sedang bermain, mereka tidak menyadari bahwa didalamnya juga mengandung proses penanaman hal-hal baru yang belum diketahuinya yang akan memberikan sejuta manfaat untuk memenuhi kebutuhan hidupnya kelak.

Misalnya permainan bola bersusun, tanpa mereka sadari mereka mempelajari tentang urut-urutan dari mulai yang paling besar di bawah dan yang palingkecil di bawah. Di samping itu, bola-bola tersebut juga berwarna-warni yang terdiri dari merah, kuning, hijau, ungu, putih, biru dan lain-lain. Melalui kegiatan yang berulang-ulang pasti sang anak akan secara cepat menghafalkan macam-macam warna tersebut.

Selain permainan-permainan yang akan mengembangkan kemampuan kognitif sang anak, perkembangan fisiknya juga harus diperhatikan. Misalnya dengan senam, atau sekadar berlari. Ini dilakukan untuk mengetahui seberapa kuat atau lemahnya fisik seorang anak. Perkembangan lainnya yaitu perkembangan psikomotornya, dapat diterapkan melalui kegiatan yang paling sederhana yaitu menggambar ataupun mewarnai. Membebaskan anak usia dini untuk mengembangkan imajinasinya untuk mengekspresikan apa yang pernah lihat dengan kemampuan menggambar atau mewarnainya.

Sesungguhnya ciri dasar pendidkan anak usia dini memang hanya bermain, bermain dan bermain. Otak mereka belum mampu menerima sebuah pelajaran-pelajaran yang bersifat memberatkan otaknya. Tidak baik jika terlalu memaksakan seorang anak untuk terlalu pintar di masa usia keemasannya. Jadi teringat akan perkataan dosen PAUD saya yang bernama Bapak Mukhlis, beliau mengemukakan bahwa belajar untuk anak usia dini itu HARAM hukumnya, anak usia dini hanya butuh bermain. Perkataan yang selalu terngiang-ngiang di dalam benak saya.

Memang ada benarnya perkataan Pak Mukhlis tersebut. Sedikit menoleh pada pengalaman masa kecil saya dulu. Setiap hari pikiran saya hanya bermain. Sampai suatu ketika saya mengalami kejadian yaang mengakibatkan kepala saya terbentur tembok dan berdarah. Setiap satu minggu sekali harus control ke rumah sakit, sepulang dari rumah sakit saya selalu meminta dibelikan mainan baru. Ini menandakan, bahwa jiwa anak usia dini memang hanya bermain. Otak mereka hanya berisikan tentang permainan yang akan menyenangkan menurut dirinya masing-masing.

Namun, terkadang bermain juga menimbulkan berbagai nilai-nilai negatif. Jika anak terus-terusan bermain, ini akan menimbulkan sifat manja yang akan sulit untuk dikontrol jika ia sudah dewasa. Peran orang tua sangat diperlukan disini. Orangtua harus mampu senantiasa mengawasi dan mengontrol ketika anaknya bermain. Jika memang orangtua sudah tidak mampu mengawasi maupun mengontrol anaknya karena kesibukan karirnya yang begitu padat, maka orangtua harus melemparkan kewajibannya ini ke lembaga-lembaga PAUD yang ada disekitarnya. Agar kebutuhan anaknya terpenuhi, dan sang anak dapat memperoleh kebutuhan batiniahnya melalui permainan-permainan yang diberikan di sekolahnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun