Seorang ibu pernah memberikan kesaksian tentang pengalaman hidupnya pada saat pesta perak pernikahannya. Dia bercerita bahwa saat menikah, ia sudah sangat menghayalkan dan berharap bahwa suaminya dapat membahagiakan, memanjakan, serta melindunginya. Sangat terbayang olehnya segala keinginan akan dipenuhi oleh suaminya. Tetapi betapa kecewanya dia karena justru yang terjadi kebalikan dari apa yang telah di bayangkan nya.Â
Dia menemukan suaminya sebagai seorang yang diminta di layani, seorang yang sakit-sakitan. Suaminya lemah, pengangguran dan minta di manjakan. Hampir setiap hari ini termenung sendiri, karena pernikahannya tidak membawa kebahagiaan bagi dirinya, melainkan sebaliknya ia di tuntut membahagiakan pasangannya. Dan ketika anak-anaknya lahir, dia juga harus menjadi pelayan, yang lelah berkorban untuk memenuhi segala kebutuhan anak-anaknya. Kemudian suatu saat dia berpikir buat apa menikah dan hidup?Â
Ternyata untuk menghidupkan, mengurus orang lain, dan itu sangat melelahkan. Â Tetapi, akhirnya ia mulai sadar, bahwa hidup sebenarnya adalah suatu pelayanan. Iya harus mau berkorban, bahkan mati untuk hidup orang lain. Semakin banyak memberi, semakin banyak menerima. Ia bersyukur karena boleh hidup untuk menghidupkan orang lain. Sebagai manusia yang beriman kita meningkatkan pelayanan kepada orang yang susah dan miskin, sebab di situlah terletak tujuan dan kepenuhan hidup kita.Â
Memang tidak semudah ini, sebab dunia akan mengejek, menertawakan dan perasaan kita sendiri akan berontak. tetapi, dimana kita bertahan di situ kita akan menang. Tuhan akan senang dan kehidupan baru serta kebahagiaan akan menjadi kenyataan. Hiduplah bukan untuk dirimu sendiri melainkan untuk menghidupkan orang lain, kendati harus menyangkal diri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H