Mohon tunggu...
Cahyaning Putri Nabila S
Cahyaning Putri Nabila S Mohon Tunggu... Mahasiswa - Saya adalah seorang mahasiswa Universitas Airlangga angkatan 2024.

saya memiliki hobi yaitu menikmati musik korea, dan segala hal tentang negara ginseng tersebut menjadi impian saya. Terutama dengan boygroup krea yang bernama NCT Dream.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Bahaya Catcalling : Pelecehan Seksual Secara Verbal Terhadap Perempuan

28 Desember 2024   13:52 Diperbarui: 28 Desember 2024   13:57 44
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://images.app.goo.gl/99kUPwKsedUCnXic8 

Pelecehan seksual bukanlah hal yang asing di kalangan masyarakat Indonesia, tentu semua orang memiliki kemungkinan menjadi korban. Namun, pada kebanyakan kasus perempuan lah yang menjadi korban dan laki-laki sebagai pelaku. Walaupun, tidak menutup kemungkinan bahwa hal tersebut dapat terjadi sebaliknya. Menurut Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, pada tanggal 1 Januari 2024 hingga saat ini yaitu tanggal 25 November 2024 tercatat ada 23.812 kasus kekerasan dengan 5.227 korban laki-laki dan 20.624 korban perempuan. Pelecehan seksual sendiri diartikan sebagai perilaku tidak senonoh dan melanggar hukum yang dilakukan dengan menggunakan unsur seksual kepada seseorang dan tanpa persetujuannya, baik secara verbal maupun non verbal.

Pelecehan seksual dapat terjadi di lingkungan terbuka maupun tertutup. Adapun contoh pelecehan seksual yang paling sering terjadi di lingkungan terbuka adalah catcalling. Dimana catcalling merupakan salah satu bentuk pelecehan seksual secara verbal, dilontarkan melalui godaan atau candaan terhadap korban. Catcalling biasanya dilakukan oleh segerombalan orang bertujuan untuk mengganggu atau menggoda seseorang. Dalam interaksi tersebut, muncul perkataan-perkataan yang merendahkan korban (Qila et al., 2021). Seperti "cewek, sendirian aja", "sayang banget kalau cewek cantik dianggurin", "kamu mau aku temenin ga?", "nomor hpnya dong cantik" dan lain-lain.

            Fenomena catcalling sendiri merupakan salah satu perbuatan yang bertentangan dengan norma kesusilaan (Afrian et al., 2022). Namun seringkali hal ini tidak dianggap serius, lantaran sang korban maupun pelaku tidak sadar bahwa ia telah melakukan dan menerima pelecehan. Banyak orang menganggap bahwa catcalling adalah sebuah candaan, perbuatan yang tidak memiliki arti apapun, dan merupakan sebuah pujian atau validasi bahwa ia terlihat menarik di mata orang lain, Tentu ini bukanlah hal yang benar, karena memang pada dasarnya catcalling merupakan salah satu bentuk pelecehan yang dapat menyebabkan sang korban tidak nyaman. Pada dasarnya setiap manusia berhak atas rasa aman dan tentram serta perlindungan terhadap suatu ancaman ketakutan, sebagaimana yang telah diatur dalam Pasal 30 Undang-Undang No. 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia (Afrian et al., 2022).

            Menurut Qila, Rahmadina, dan Azizah (2021) dalam perspektif beberapa orang, martabat laki-laki masih lebih tinggi dibanding perempuan. Perempuan dianggap lemah, dan laki-laki memiliki sisi dominan dan dianggap lebih kuat. Hal ini menyebabkan adanya ketidakadilan atau ketidakseimbangan kuasa antara perempuan dan laki-laki. Catcalling bisa dialami oleh siapapun tanpa memandang usia. Dampak terburuk yang diterima korban atas perbuatan catcalling ini dapat berupa rasa trauma dengan hal yang bersangkutan dan terus menerus mengingat kejadiannya (Qila et al., 2021). Di Indonesia saat ini sebenarnya sudah banyak edukasi tentang betapa berbahayanya catcalling bagi perempuan dan bagaimana cara kita sebagai korban untuk melawan hal tersebut. Namun, karena minimnya literasi dan kesadaran masyarakat tentang hal ini menjadikan catcalling adalah hal yang normal dan biasa terjadi di kalangan masyarakat.

            Selain pemahaman masyarakat yang kurang tentang catcalling, lemahnya hukum terhadap pelaku pelecehan seksual ini menjadi penyebab masih banyak kasus pelecehan seksual secara verbal yang dialami perempuan. Catcalling juga terjadi tanpa kesukarelaan korban (Afrian et al., 2022). Kebanyakan korban tidak berani untuk melaporkan pelecehan yang ia terima, hal ini terjadi karena pada beberapa kasus justru sang korban merupakan pihak yang kerap disalahkan. Baik itu menyalahkan korban yang masih berada di luar rumah pada waktu ia menerima pelecehan, menyalahkan cara berpakaian korban, hingga menyebut bahwa korban terlalu baperan dan menganggap hal tersebut terlalu lebay untuk dilaporkan. Stigma-stigma seperti ini yang harus dihilangkan dari masyarakat, agar korban-korban pelecehan seksual mendapatkan keadilan dan para pelaku menerima sanksi atas perbuatannya.

            Saat ini, pelaku catcalling dapat dipidanakan. Dengan disahkannya Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual yang disebut sebagai UU TPKS pada 12 April 2022, dinilai mampu melindugi hak-hak korban pelecehana seksual. Undang-Undang yang terdiri atas 93 pasal dan 58 halaman ini diharapkan dapat menajdi payung penegakan hukum secara tegas terhadap segala bentuk pelecehan seksual baik fisik maupun nonfisik (Hidayatullah dalam Khumairok et al., 2024). Selain UU TPKS, dalam KUHP pasal 289 -- 296 tentang pencabulan juga dianggap masih relevan dengan fenomena catcalling yang memuat unsur seksual di dalamnya. Sejalan dengan beberapa peraturan tersebut, UU No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi turut mempertegas tindakan catcalling dapat dipidanakan. Tepatnya pada Pasal 34 -- 35 yang menjabarkan sanksi-sanksi bagi pelaku catcalling (Khumairok et al., 2024).

            Dengan adanya hukum-hukum ini, seharusnya dapat menjadi solusi agar kasus-kasus pelecehan di Indonesia dapat berkurang dan para korban juga tidak memiliki ketakutan untuk melaporkan pelecehan yang ia terima baik secara fisik maupun nonfisik. Serta, diharapkan kepada pemerintah untuk lebih memperhatikan kasus-kasus seperti ini dan memberikan sanksi yang setimpal agar menimbulkan efek jera terhadap pelaku. Selain itu, jika memang hukum tidak dapat sepenuhnya membantu, korban dapat memanfaatkan era digital pada saat ini. Korban harus berani untuk speak up terkait pelecehan yang ia terima dan mengunggahnya di media sosial, agar sang pelaku juga mendapatkan sanksi sosial dari masyarakat. Hal tersebut juga merupakan langkah awal yang bagus untuk membantu mengurangi kasus pelecehan seksual baik secara verbal maupun non verbal di Indonesia.

REFERENSI

Afrian, F., & Susanti, H. (2022). Titian: Jurnal Ilmu Humaniora PELECEHAN VERBAL (CATCALLING) DI TINJAU DARI HUKUM PIDANA Verbal Harassment (Catcalling) in Review from the Criminal Law. 06(2). https://online-journal.unja.ac.id/index.php/titian

Khumairok, M. atul, & soekorini, N. (2024). Catcalling Sebagai Perilaku Pelecehan Seksual Secara Verbal Ditinjau dari Perspektif Hukum Pidana. 7(1). https://doi.org/10.31933/unesrev.v7i1

Qila, Z. S., Rahmadina, R. N., & Azizah, F. (2021). Catcalling sebagai Bentuk Pelecehan Seksual Traumatis Catcalling as a Traumatic Form of Sexual Harassment. 1, 95--106.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun