Mohon tunggu...
Cahyani DWY
Cahyani DWY Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

simple woman\r\nhttp://ekacahyani10.wordpress.com\r\nhttp://ladangpaprika.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Senyum Pak Tua

30 November 2014   19:27 Diperbarui: 17 Juni 2015   16:26 38
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Jangan kau tanyakan kenapa aku bisa hidup. Kalian selalu menganggapku musuh kalian yang terbesar. Tak sadarkah engkau? Bila engkau sakit, dan bocorlah dari dua lubang tubuhmu itu, apakah itu salahku? Kalian memang hanya bisa menyalahkan yang lain. Apakah karena Tuhan menciptakanmu sebagai makhluk yang lebih baik dari aku? Tunggu. Kau selalu berkata dirimu makhluk sempurna. Bolehkah aku tertawa? Aku akan tertawa sekeras-sekerasnya. Sempurna apanya? Kalian tak lebih dari makhluk yang diberikan kepala yang lebih besar dariku! Hati? Hati yang selalu kalian sebut nurani itu. Oh, masihkah ada hati nurani? Setelah kulihat kalian dengan mudahnya mencabut nyawa satu sama lain. Ada yang yang membunuh dengan cepatnya. Bahkan, adapula, saudaramu yang telah diatas, yang telah diawang-awang itu, yang terkadang kalian pikir mereka dewa, eh, ternyata masih membunuh saudaranya yang dibawah pelan-pelan.

Terlalu banyak yang menyalahkan bangsaku bila kami datang. Hah! Padahal itu salah kalian sendiri. Kalian yang mengundang kami! Seperti Pak Tua ini dan gerobaknya yang selalu penuh sampah. Aromanya yang begitu menggoda mengundangku untuk berkunjung. Tetapi, cukuplah. Aku lebih betah bersama Pak Tua. Ia tak pernah mengeluh seperti kalian! Ia bahkan tak pernah kudengar berbicara. Apa ia bisu? Atau memilih membisu? Karena ia terlalu tua untuk bicara. Kalaupun ia bicara, adakah yang mau mendengarkannya? Beruntunglah kalian. Tak perlu berpura-pura tak dengar. Pak Tua tidak akan bicara apa-apa.

Aku bertengger di pinggir mulut gerobak. Aku sudah sangat kenyang. Menjilat makanan-makanan yang tidak kalian habiskan. Hei, jika kau punya lebih, mengapa tak kalian berikan pada Pak Tua ini? Lihat badannya yang kurus kerempeng! Ia tak lebih dari sekedar tongkat bercabang yang berjalan. Pasti sulit kau bedakan, antara pegangan gerobak dengan jari-jari Pak Tua. Apakah ia begitu dekatnya dengan sang pencipta, sehingga setiap tiga hari ia selalu berpuasa?

Wah, kalian merasa tersindir? Lihatlah. Satu diantara kalian rupanya mendengarku. Ia mendongakkan kepala dari balik kendaraan bajanya. Merogoh saku dan memberi kertas pada Pak Tua. Lihatlah. Kalian lihat? Pak Tua hanya tersenyum dan menarik gerobaknya, melangkah perlahan meninggalkan manusia penyodor kertas. Terang saja Pak Tua menolak. Jika aku menjadi dia pun, aku akan menolak. Kalian hanya memberi kertas. Apa artinya?

“Sombong banget sih jadi pengemis. Dikasi uang ngga mau!”

Apa? Kalian bilang apa? Mungkin ia Pak Tua yang kumal. Namun ia bukan pengemis. Adakah kalian yang lebih pantas mendapatkan julukan itu? Yang kerjanya hanya mau meminta banyak tapi tak pernah berusaha lebih. Kalian tak tahu. Gerobak Pak Tua selalu penuh! Tapi akan sekejap kosong, ia tukar pada juragan di depan pasar. Dia bisa mendapat kertas dari sana. Kalian bertanya, “Berapa?” Pentingkah untuk kujawab? Tanyakan Pak Tua, jangan tanya padaku! Yang jelas ia masih bisa mengisi perutnya. Ya. Cukup untuk makan. Untuk apa lagi? Sebentar lagi ia mungkin akan ditimbun dalam tanah merah. Oh, adakah benda yang kau bawa ketika masuk ke liang kubur selain jazadmu? Keluarga?  Jangan tanya aku! Aku hanya lalat, bukan keluarga Pak Tua! Ia tak mungkin tercipta begitu saja oleh Sang Raja Semesta. Namun, dimana keluarganya? Tanyakan pada Pak Tua, jangan tanya padaku. Aku akan tertawa sekeras-kerasnya. Karena ia akan menjawab dengan sudut bibirnya yang melebar.

Aku dan kawananku berputar-putar di atas gerobak Pak Tua. Mungkin kemarin ia terlalu lelahnya, sehingga Pak Tua begitu saja membaringkan tubuhnya di depan teras toko ini. Hei Pak Tua, bangunlah! Hari telah berganti! Kau harus menjual hasil jerih payahmu yang kemarin! Oh, kau tidak bisa mendengarku. Jangan sampai pemilik Toko ini membawakanmu sapu untuk mengusirmu. Bangkitlah Pak Tua, bangkit!

Aku terbang mendekat ke wajah Pak Tua. Mungkin bila kuhinggap di wajahnya, ia akan gatal dan terbangun. Kuinjakkan kakiku kuat-kuat. Terbang ke hidungnya, terbang ke telinganya yang beruban. Sekawanan Lalat Hijau besar datang mendekat. Aku menyingkir. Bukankah mereka datang hanya untuk bangkai?

Matahari semakin tinggi dan membawa serta sang pemilik toko. Badannya yang besar berlari-lari dengan perut yang bergetar melihat tubuh tua tergeletak di depan tokonya.

“Pak, Pak..” ia mengguncang-guncang tubuh tua itu. Tak ada jawaban. Matanya pun tak sedikitpun berkeriapan.

Kawanan manusia mulai ramai berdatangan. Mengerumuni Pak Tua. Satu dari mereka tampak memegang tangan Pak Tua dan menempelkan telinga ke hidung Pak Tua. Ia menggeleng.

“Kita harus membawanya ke rumah sakit!” seseorang menyahut.

“Rumah sakit mana?” yang lainnya bertanya.

“Rumah sakit manapun” satu lagi berujar.

“Siapa yang bertanggung jawab nanti?” yang lainnya kembali bertanya.

Sejenak semua diam. “Si pemilik toko saja!” kata seseorang.

“Aku bukan keluarganya!” seru si pemilik toko, “Ia tidur di emper toko tanpa sepengetahuanku. Aku tak bertanggung jawab apa-apa”

“Bawa saja ke salah satu rumah ibadah..” seseorang mengusulkan.

“Tunggu, dia beragama apa?”

Mereka mulai mendengung seperti lebah. Meributkan agama Pak Tua. Seingatku bersama Pak Tua, ia tak pernah beragama apa-apa. Atau mungkin ia terlalu banyak agama? Ia pernah mengunjungi semua rumah ibadah! Untuk apalagi? Ia hanyalah Pak Tua dengan gerobak sampahnya. Ia selalu berbahagia pada setiap hari raya agama apapun. Oh, hari-hari biasa pun ia selalu bahagia! Lihat saja. Senyumnya selalu mengembang. Bahkan kini ketika ia dikerumuni manusia-manusia yang riuh meributkannya. Bak artis saja kini kau Pak Tua! Pak Tua tidak menyahut, hanya ada sudut mulutnya yang melebar. Kaku.

Cahyanidwy, November 2014

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun