Dikayuhnya sepeda buatan China itu setiap hari. Hilir mudik menempuh jalan sepanjang Pringgokusuman, jalan Abu Bakar Ali, jalan sekitar Masjid Syuhada menuju Bundaran UGM, belok kanan ke arah Masjid Kampus dan berakhir di Fakultas Ilmu Budaya. Selain ngampus, hari-harinya lebih banyak ia habiskan di masjid peringatan itu, Masjid Syuhada. Sedang di asrama puteri hanya sekedar untuk melepas lelah, memberikan hak pada tubuhnya untuk beristirahat, mengumpulkan tenaga untuk esok hari, berjibaku kembali menabung bekal akhirat.
“Sejak kecil aku selalu dicekoki Ibu sama Bapak, mereka selalu bilang akhirat haruslah menjadi tujuan utama. Kumpulkan sebanyak-banyaknya bekal terbaik untuk kehidupan di akhirat kelak. Ahhh… Ibu sama Bapak memang paling top deh urusan mendidik anak-anaknya. Kalau saja sejak kecil aku nggak didoktrin dengan yang seperti itu, pasti aku nggak bakalan kayak sekarang. Ya nggak Mas?”. Katamu suatu ketika.
Menantang panas dan hujan dengan perut kadang terisi kadang kosong juga menjadi rutinitasmu. Sudah sejak dulu kau mendawamkan Puasa Daud, puasa selang-seling hari. Hari ini puasa esoknya tidak, lusa berpuasa lagi esoknya berbuka, tidak puasa.
“Aku tuh sebenarnya cemburu saja sama Nabi Daud, beliau kan laki-laki, masak sih suaranya semerdu itu? konon, suaranya itu tak kalah elok dengan paras Nabi Yusuf, hingga alam sekitar yang mendengar senandungnya pasti terpana, bahkan ikut bersenandung bersamanya. Kok bisa itu lho? Jangan-jangan karena tirakatnya yang sangat dahsyat itu, berpuasa selang sehari?” tuturmu menceritakan alasan kenapa mendawamkan sunah Nabi Daud. Ingin agar setiap ayat yang kau lantunkan menyentuh hati yang mendengarkannya, tidak sekedar merdu.Ya, lantunan ayat-ayatmu memang sudah merdu, tak salah jika juri MTQ Provinsi memilihmu sebagai juara pertama. Tapi, prestasi itu saja belum cukup bagimu. Kau ngin seperti Nabi?
Selain dengan berpuasa, riyadah yang pasti kau dawamkan adalah membaca surat-surat cinta-Nya. Lembaran-lembaran surat cinta yang setiap hari kau bawa, biasanya kau simpan di saku gamismu. Kebiasaan yang juga sejak dulu kau lakukan.
“Kalau saja aku masuk Pesantren Tahfiidzhul-Quraan sejak kecil Mas, mungkin aku bisa seperti Imam Syafi’i, hafal seluruh Al-Quran sejak masih umur tujuh tahun. Paling tidak umur 12 tahun lah, saat aku meneruskan ke jenjang sekolah menengah aku sudah hafal seratus empat belas surat cinta-Nya. Sekarang? Hanya 1 juz dan beberapa surat-surat pilihan saja yang kuhafal”. Keluhmu.
Namun ada satu surat yang selalu kau memintaku untuk mendengarkannya, menyimak hafalanmu, barangkali ada ayat yang terlewat atau salah hukum bacaannya. Surat itulah surat cinta ke -47 dari bundelan surat-surat cinta-Nya, surat Muhammad. Kau tidak hanya hafal surat itu sepertinya, tapi juga bisa menghayati ayat demi ayatnya. Pernah kusaksikan ekspresi wajahmu saat kau sampai pada lantunan ayat ke -15. Awalnya aku hanya aneh dengan nada lagu yang kau lantunkan, mengapa tiba-tiba berubah? begitu ceria, sumringah? Seperti orang yang baru saja mendengar berita sukacita. Kenapa gerangan?
“Gimana aku nggak sumringah coba Mas, di ayat itu tuh Allah melukiskan dengan indah bagaimana hadiah syurga itu. Ah, kalau saja amal kebaikanku sudah cukup untuk ditukar dengan hadiah itu, tak apalah aku disegerakan untuk dipanggil menghadap-Nya”. Katamu tanpa beban.
“Oh ya, aku juga selalu ngusahain surat cinta ke -47 ini selalu kubaca setiap shalat, biar nggak sampai terlupa. Aku kan nggak mungkin tuh kalo jadi imam shalat Mas, jadi aku baca saja setiap shalat sunah. Biar apa juga coba?”.
Aku termenung, memikirkan jawaban dari pertanyaanmu itu. Pikirku mungkin kamu takut dosa. Kalau tidak salah, aku pernah mendengar sebuah hadist yang menerangkan bahwa orang yang melupakan hafalan ayat-ayat-Nya bisa jadi berdosa. Ah, pasti karena itu. Belum sempat kusampaikan apa yang menjadi perkiraanku itu, kau sudah menjawabnya lebih dulu.
“Biarrr… emmh… Kebayang nggak sih Mas, besok saat kita semua membutuhkan syafa’at Rasulullah dan kita diberi kesempatan bertemu dengannya, terus giliranku untuk bercakap-cakap dengannya tiba, lalu beliau menyapa: ‘Sahabatku, kekasihku, menurutmu pantaskah aku memberikan syafa’at untukmu? Apa yang kau punya hingga bisa kau tukar dengan syafa’at dariku?”. Beliau tersenyum teduh sekali, meneduhkan padang mahsyar yang terik menyengat. Aku bingung amalan apa yang bisa kutukar, ibadah wajib saja sering bolong-bolong apalagi sunnahnya. Namun ternyata atas izin Tuhan, dengan mantap kubacakan sebuah surat yang diberi nama sesuai dengan namanya, surat ke -47 itu.