Mohon tunggu...
Cucu Cahyana
Cucu Cahyana Mohon Tunggu... Administrasi - Guru Bahasa Indonesia untuk Penutur Asing

Urang Sunda, Suka Baca, Bola, Biru...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Duhai Pendampingku...

26 Agustus 2012   22:29 Diperbarui: 25 Juni 2015   01:17 369
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

“Aamiin. Jzk Mas”

Dari: +6285725XXXXXX

Sent: 20-08-2012

(balasan SMS Lebaran)

“Jzk Khoir Mas”

Dari: +6285725XXXXXX

Sent: 15-07-2012

(balasan SMS Ulang Tahun)

“Udah Mas, gpp”

Dari: +6285725XXXXXX

Sent: 16-06-2012

(balasan SMS menawarkan bantuan)

Biasanya, seperti itulah balasan pesanmu. Tak lebih dari empat sampai lima kata, begitu singkat. Tak pernah kau selipkan smiley atau emoticon yang semisalnya. Tak pernah kau mengirim SMS basa-basi, sekedar menanyakan kabar atau hal-hal lainnya. Bilapun kau bertanya sesuatu via SMS pasti langsung ke hal inti.

Tak usahlah bermimpi menerima SMS guyonan, SMS puitis atau SMS gaya “Raja / Ratu Gombal”. Mending disimpan saja mimpi itu di brangkas dan kunci rapat-rapat. Jangan lupa, buang kuncinya ke Samudera Hindia, biar nggak kepikiran untuk bermimpi seperti itu lagi.

Perihal ucapan selamat hari lahir, tahukah? SMS itu sudah kurancang berminggu-minggu sebelumnya. Di minggu-minggu itu bahkan aku sibuk mencari referensi. Searching dan googling kata-kata yang indah, gabung di fan-page khusus penyaji kata-kata romantis dan puitis. Yang rada-rada british atau rada-rada ng-etnis. Pokoknya yang... prikitiew-prikitiew begitu.

Lalu, apa balasanmu? Ya...begitulah, tetap tak lebih dari empat sampai lima kata. Ngirit plus-plus. Maksudnya, beberapa hurufnya corrupted. Do’a “Jazaakallaah khoiron katsiiro” misalnya, cukup kau singkat dengan Jzk, ckckck... Apa jadinya kalau terbaca Jawwaztuka coba, bagaimana?

“Itu tandanya si Teteh nggak care sama kamu A”. Kata adik perempuanku suatu ketika. Kalau ibarat main panahan, busurnya itu tepat sekali di fokus sasaran, kena banget, nusuk begitu kira-kira. Lebih lanjut, dia memberitahuku tentang sifat dan sikap perempuan yang semakin membuatku sedih saja. Perempuan tuh kalau begini tandanya ini, kalau begitu tandanya itu. Katanya panjang lebar.

“Coba lihat sms-nya singkat-singkat gituh!”.

“Kalau care sedikiiiit... aja, mesti bales sms-nya nggak males-malesan kayak gitu A...”. Ampuuun... intonasi kata “sedikiiiiit...”-nya itu lho?.

“Dia kan pemalu Dek”. Sanggahku. Membela hati yang mulai cengeng. “Dia itu... orang jawa tulen. Orang jawa yang masih tulen itu sama pemalunya kayak orang sunda”. Tambahku.

Waaaaa... Alesan A aja itu mah”.

“Eh, ngeyel”. Sanggahku lagi.

“Sri kasih tahu yah A... perempuan tuw yah, sepandai-pandainyah dia nyembunyiin rasa suka, ya... sms-nya nggak gitu-gitu amat kali... Itu mah namanya pelit...hihihi”.

“Hush... sama calon kakak ipar kok bilang kayak gitu”. Ibu yang dari tadi asyik meracik bumbu opor, melirik kami sambil senyum-senyum.

“Waaaaa.... preetttt... ingat iklan jin rokok itu nggak A?”. Kelihatannya Adikku tambah senang saja. Terlihat dari sumringah raut wajahnya. Asyik rupanya melihatku semakin galau. “Itu tuh yang ada orang jelek minta dibikin ganteng sama si Jin. Tahu ‘kan apa kata si Jin. NGIMPI! Wkwkwkwk...”. Ejeknya.

Teganya dia memorak-porandakan mimpi terindah kakaknya. Mimpi yang sudah menjadi setengah nyawa baginya. “Hmhhhh... kau memang mimpi terindahku, cinta...”.

MIMPI? What? Jadi, benar semua itu cuma mimpi? Ibu... bantu anakmu membuat mimpinya menjadi nyata, tolong bujukin Tuhan untuk turut campur. Tolong sampaikan juga sama Tuhan... izinkan anakmu memperbaiki keturunan. Barangkali kalau ibunya cantik, imut, baik dan shalihah seperti dia, anak-anaknya bakalan menurut sifat Ibunya. Kalau perempuan ya persis, kalo laki-laki ya jadi ganteng dan shalih gituh. Tuhan... bukankah Engkau Maha Baik dan berpihak kepada sesiapa saja hamba-Mu, apalagi yang berniat baik? Iya kan?. Please...!!!

]***[

“Hihihi...” perempuan berpipi chubby itu terkikik lepas. Semakin terlihat cute saja bagiku. Belum lagi lesung pipit yang terbentuk saat dia tersenyum, seperti pusaran angin saja. Semakin lama semakin menghanyutkan.

CUP, Kukecup lesung pipit itu, aku tak mau hanyut terlalu lama.

“Sudah ah, tertawanya jangan berlebihan, nggak baik”. Kujembel pula pipi tembemnya itu.

“Kata Rasul, banyak tertawa itu membuat kita goflah, lalai sama Allah”.

"Oke?". Ibu jari dan telunjukku tak lupa berubah simpul, lingkaran. Meski masih sedikit terkikik, perempuan cantik di sisiku itu mulai mengurai tawanya.

“Astaghfirullaah”. Ucapnya, dengan sisa-sisa lengkungan senyum dan pusaran angin kecil di pipinya, dia beristighfar.

“Senang ya? Merasa menang ya?”. Godaku, sambil sekali lagi menjembel pipi tembemnya.

“Iya dong. Berarti dulu itu aku sukses membuat Mas Ihya galau hihihi...”.

Lagi-lagi, kujembel pipinya itu. Sungguh menegemaskan.

“Aw, seneng banget sih jembelin pipi...” pekiknya pelan. Aku hanya menyeringai.

“Emmmhhh... gitu ya? Senang ya?”. Kini tak hanya satu tanganku saja yang njembeli pipinya, dua-duanya bekerjasama, menarik pipinya ke sisi kanan dan kiri.

“Aw, sakit ah Mas...”. katanya sambil menepis kedua tanganku.

“Berarti dulu itu Mbak Laras yang imut ini pura-pura ‘alim saja tha? Bersembunyi dibalik label muslimah gitu ya?”.

“Ckckck... ternyata, sama saja dengan yang lain-lain, menggoda dengan berbagai cara. Pandai membuat lawan jenisnya galau”. Kataku dengan tekanan nada yang agak serius. Akting yang sebenarnya tak mungkin meloloskanku casting sinetron. Namun entah mengapa, di hadapannya aktingku ini betul-betul sempurna.

Sepersekian detik saja, lesung pipitnya tenggelam-muram. Raut mukanya tertekuk. Lengkung senyumnya memudar, bibir manisnya itu pun kini rapat tersusun, manyun. HEY! bukankah manyun seperti itu saja dia terlihat lucu? imut bin cute? Oh Tuhan, dulu benakku ini suka sekali melukis bibir manyunnya itu?

“Lho, bidadarinya kok jadi manyun gitu? Tambah lucu deh”. Candaku lagi. Mencoba mengembalikan lengkung senyumnya tadi. Kugelitik pinggangnya sedikit. Tapi dia tetap saja manyun. Malah tanganku sempat ditepisnya hingga mental ke kayu dipan. Bibirnya pun semakin mengatup.

“Eh!”. Aku cukup kaget juga dengan perubahan drastisnya itu.

“Mas jahat”. Setelah mendiamkanku beberapa saat, tak mempan meski beberapa kali kugoda dan kugelitiki, kata itulah yang akhirnya keluar.

“Laras memang bukan lulusan pesantren Mas, Laras memang nggak terlalu mendalami ilmu agama, tapi sejak cahaya itu perlahan-lahan menerangi hati Laras, Laras tak pernah ingin menjauhinya. Sungguh Mas, Laras selalu ingin berusaha menjadi muslimah yang baik, selalu berusaha tidak berma’shiyat kepada-Nya, termasuk menjaga hubungan yang tidak halal dengan Mas waktu itu”. Nada suaranya terdengar parau, mungkin terbawa rasa hatinya. Perubahan yang begitu tiba-tiba dan begitu cepat. Begitulah mungkin perempuan. Hatinya mudah sekali terbolak-balik. Kadangkala susah ditebak kemana perasaannya akan menuntun akalnya?

“Eeee... serius tha? Mas ‘kan cuma bercanda cinta...”.

“Mas jahat”. Kalimat itu lagi. Sepertinya dia memang serius menanggapi candaanku tadi. Candaan yang mungkin terasa menyudutkannya. Komentarku saat tadi kami sama-sama mengenang masa-masa dulu, saat belum menikah. Dia yang dulu tak acuh dengan perhatianku, menjauh dari segala usahaku mendekatinya. Selalu singkat saat membalas SMS, tak pernah lebih dari empat sampai lima kata. Tak pernah sekalipun mengirimi SMS guyonan, basa-basi atau menyisipkan smiley padanya.

“Laras nggak ada niat menggoda Mas dengan cara-cara seperti itu. Atau pura-pura jual mahal, atau pelit. Laras SMS pendek-pendek seperti itu juga bukan apa-apa. Laras hanya ingin menjaga hati dari perasaan yang tidak pada tempatnya”. Katanya, sambil terus mempertahankan raut manyunnya.

Lucu deh lihat perempuan ngomel sambil manyun. Untung saja huruf-huruf vokal yang diucapkannya tak berubah semua menjadi huruf “U”. Tambah lucu kalau seperti itu.

“Laras takut perasaan itu tumbuh dan menjalar ke tempat yang bukan haknya. Tumbuh subur kemudian berbuah, na’udzubillah”. Seperti tak ingin menjeda kalimatnya berlama-lama, ia meluncurkan kembali kalimat bernada kesal bin curhatnya itu.

“Laras akui, sebenarnya Laras juga saat itu punya perasaan yang sama. Karena itu, Laras tak mau mengumbarnya sebelum semuanya halal seperti sekarang”.

Aku senyum saja mendengar omelan-curhatanya. Apalagi mendengar pengakuan kalau dia dahulu juga menyukaiku, dalam ketakacuhan dan penghindarannya.

“Seandainya suami Laras sekarang ini adalah Mas Ihya, dan yang dulu SMS-an, yang dulu deketi Laras itu bukanlah Mas Ihya. Apa Mas Ihya mau, mewarisi cinta sisa-sisa? Mendapatkan cinta yang sudah pernah Laras berikan sama yang lain?"

"Mas mau, dapet cinta bekas orang lain? cinta sisa yang sebagiannya pernah laras cecerkan seperti itu? mau?”. Manyun bibirnya itu semakin lucu saja. Dan entah salah apa, aku begitu kasihan dengan ujung dasternya, dari tadi tak henti ia pelintir.

“Itu ‘kan seandainya cinta... 'kan suaminya Mbak Laras betulan Mas-mu yang keren ini...”.

Aku menggodanya lagi.

“Iiiih... Mas ini, aku serius lho Mas”. Sepertiku bilang, ngomel sambil manyun saja sudah lucu, apalagi ditambah ekspresi jengkel. Hahaha... aku malah semakin gemas melihatnya.

“Iya cinta, Mas juga faham. ‘kan sudah Mas bilang, tadi itu cuma becanda”.

Aku turun dari dipan dan berjongkok persis menghadapkan wajahku ke wajahnya. Kutangkupkan kedua tanganku ke pipi tembemnya itu.

“Lihat sini cinta, lihat mata Mas ya...”. Pintaku. Awalnya dia terlihat enggan, malah memalingkan mukanya ke samping kanan. Namun setelah kuulangi hingga ketiga kali. Dia tatapkan juga matanya itu ke arahku.

Cinta... dengarkan baik-baik ya...”. Kujeda sebentar sambil menikmati kerlap-kerlip bolamatanya. Senang sekali melihat kedalaman matanya sedekat ini.

“Cinta... Bidadari dunia-akhiratku...”. Kuusahakan agar raut mukaku tampak serius. Tak ingin membuatnya salah paham lagi.

“Sudah, jangan manyun lagi ya... sungguh Mas sampaikan ini dengan sesungguhnya... ”.

Kali ini aku harus sempurna mengatakannya, tak boleh kalah dengan akting tak sengaja tadi itu. Aku ingin momen ini kami kenang lama-lama.

“Dengar ya...” kedua tanganku masih kutangkupkan di pipi chubby-nya. Kedua mata kami pun masih saling berpandangan. Sungguh, kulihat dia menuruti kata-kataku. Dia sedang menunggu kalimat yang akan kukatakan. Perhatiannya sudah tertuju hanya padaku. Aku yakin, dia tak menyadari kalau hujan mulai merintik di luar sana.

“Dengar...”. Kataku.

“Pleeeeease jangan manyun terussssss... lihat tuh, bibirnya jadi kayak paruh bebek mechuchu ...”

Sambil terkikik aku bangkit, terus berlari menghindari serangan bantal guling yang dilemparkannya. Tak kena, ia pun bangkit menjawil bantal hati. Turun dari dipan dan mengejarku.

“Mas jahat...” pekiknya.

“Mas jahat...” berulang-ulang ia pekikan kata itu, sambil terus mengejarku. Untung saja hujan sudah turun cukup ramai. Pasti tetangga tak ‘kan mendengar pekikannya itu. Andai saja terdengar, mereka bisa bertanya-tanya penasaran, atau resah atau bahkan mereka mendatangi rumah yang baru kami tinggali ini. Rumah yang baru seminggu dihuni pengantin baru.

Allaahummarzuqnii zaujatan shaalihatan. warzuqnii dzurriyyatan shaalihaatin. Amien.

Get your own valid XHTML YouTube embed code

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun