Mohon tunggu...
Cucu Cahyana
Cucu Cahyana Mohon Tunggu... Administrasi - Guru Bahasa Indonesia untuk Penutur Asing

Urang Sunda, Suka Baca, Bola, Biru...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Spring #1

5 Desember 2011   14:20 Diperbarui: 25 Juni 2015   22:48 113
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Aku tahu, musim tak 'kan selamanya beku seperti ini. Pada saatnya nanti, musim semi pasti tiba. Tuhan hanya menangguhkannya untukku, agar semua indah pada waktunya..."

Seperti saat ini, tanda-tanda datangnya musim semi itu mulai kurasa. Salju yang setiap pagi-menjelang siang serta saat malam hari turun membekukan, kini mulai jarang datang. Hanya satu-dua kali seminggu ia turun, itu pun tidak mesti setiap minggunya. Yang lebih menyenangkan, aku mulai bisa merasakan hangatnya mentari pagi. Aku mulai bergairah menyambut pagi. Bahkan setiap malam datang, aku selalu merindui pagi biar segera saja ia tiba.

Orkestra dari musik-musik sendu mulai semakin lamat kudengar. Perlahan dan perlahan musiknya berganti nada, musik yang kudengar kini mulai ceria. Musik yang bahkan memaksa jari-jari kakiku menjentik. Merangsang telapak kakiku menepuk-nepuk lantai, membuat bunyi perkusi yang asyik, penuh gairah.

Biar saja orang-orang  mengira bulan-bulan ini masih sebagai bulan beku. Aku hanya merasakan bulan ini sudah masuk musim semi. Aku mulai bisa melihat, di tangkai hatiku, pucuk-pucuk hijau mulai menguncup. Rumput dan bunga liar di pelatarannya mulai bisa bergoyang-riang. Aku begitu --begitu bergairah menyambut musim ini.

Tahukah engkau mengapa musim yang indah ini kurasakan lebih awal tiba? itu semua karenamu. Lama sudah aku berjumpa denganmu. Awalnya, aku memang tak begitu tertarik dengan segala hal tentangmu. Siapa kamu, bagaimana dan seperti apa kepribadianmu aku tak pernah peduli. Aku hanya dipaksa menatap wajahmu sekali --dua kali dalam sepekan. Itu pun hanya sekedar berpapasan. Namun, kepedulianku kepadamu kini telah jauh berbeda. Bahkan karena sebegitu pedulinya aku kepadamu, aku mulai cukup peduli dengan diriku sendiri. Aku harus mulai mematut diri, membuatku terlihat pantas bila harus berpapasan denganmu.

Petang kemarin, hampir sepekan yang lalu, aku semakin yakin bahwa musim semi telah tiba. Saat itu, tak kusangka bisa melihatmu, sekilas mata kita bersitatap.

"Assalamualaikum... mari Kak!". Sapamu lembut. Tak lupa kau bungkukan badanmu sedikit, kau tundukan pandang ke permukaan tanah itu. Ah, kuharap sang tanah tak berubah menjadi cermin, hingga tak 'kan kau lihat halku, yang tengah terpaku memandangimu.

"Wa 'alaikum salam...". Jawabku. Aku yakin kau hanya mendengar jawabanku berhenti sampai disitu. Pasti tidak kau dengar kalimatku itu dengan sempurna. Andai kau mendengarnya, dan aku cukup bernyali menyatrakannya di depanmu.

"Wa 'alaikum salam wahai Bunga Musim Semi. Sungguh, Tuhan telah menitipkan percikan Maha Indah-Nya pada dirimu. Lihatlah, tingkahmu yang semakin mempesonaku itu. Tatapanmu tak lama-lama kau persilakan untuku. Itulah mungkin, mengapa bening matamu selalu terjaga. Kau berkedip dengan sempurna dan memandangkan matamu seperlunya. Pantas jika mata bening nan indah itu menjadi milikmu". Itulah jawaban salamku yang seharusnya kau dengar.

Kini aku semakin yakin musim semi sudah benar-benar tiba. Saat kutuliskan perihal ini, pucuk-pucuk di ranting yang gundul mulai muncul. Bunga-bunganya malah kurasa sudah bermekaran.

Aku masih membayangkan bening tatapanmu. Tatapan yang beradu tak sengaja denganku itu. Tatapanku yang penuh keterpesonaan dan tatapanmu yang lurus tanpa keterpesonaan yang sama denganku. Ah, tak apalah, tetesan air yang lembut saja mampu mengikis kerasnya batu, aku yakin, kabar tentang perasaanku ini, lambat laun akan menetesi bagian lambut hatimu, dan selanjutnya memengaruhi penilaian hatimu.

Awalnya, mungkin kau akan bertanya-tanya, penasaran, heran dengan segala perubahan sikapku kepadamu. Sempat risih dan menilai aneh segala perhatianku, lalu karena kesabaran dan ketulusanku kau mulai berempati. Setelah itu, perlahan-lahan kau bukakan pintu hatimu untukku. Ah, begitulah aku, begitu percaya diri. Aku yakin bisa meluluhkan hatimu, duhai Bunga Musim Semi. Yang perlu kulakukan hanya-harus terus memberitakan rasaku ini padamu. Melaui cara apa saja.

Terimakasih telah menjadi jawaban Tuhan atas doaku pada-Nya. Kini rinduku sedikit terobati. Rindu yang selama ini dibelenggu musim dingin yang beku.

"Duhai, selamat datang musim semi nan indah. Selamat tinggal musim-musim yang beku. Kini telah kutemukan bungaku. Dia, Bunga Musim Semiku".

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun