Harga Bahan Bakar Minyak (BBM) bisa dipastikan naik. Namun, pernyataan pro dan kontra masih terus menghujam deras. Penolakan kenaikan harga BBM memang sudah sering terjadi di negeri ini. Massa penolak seakan ingin memanfaatkan kelemahan pemerintah (kelemahan SBY?) agar harga BBM batal naik sebagaimana sebelumnya terjadi.
Dalam pandangan saya, kedua belah pihak menyatakan butuh untuk dinaikkan dan butuh tidak menaikkan harga BBM memiliki alasan logis. Yang saya sayangkan adalah cara melakukan penolakan yang seakan tak memiliki dampak di mata DPR dan pemerintah.
Saya teringat kembali pada masa kolonial Belanda, ada sebuah massa yang berani melakukan protes kepada kolonial. Protes yang dilakukan waktu itu adalah mereka berhenti membayar pajak kepada Belanda. Massa tersebut yakin, mereka masih bisa bertahan hidup meski tanpa mematuhi pemerintah Belanda.
Lalu, Belanda pun tak bisa melakukan apa-apa. Karena toh tetap mereka kukuh tak membayar pajak. Konon, massa itu adalah massa pendukung sejati Soekarno. Mereka rela memberikan apa saja asal yang meminta atau yang menyuruh itu adalah Soekarno. Kita mengenal massa itu adalah masyarakat Samin. Kebersahajaan masyarakat Samin bisa tergambar jelas pada film "Lari dari Blora" dengan tokoh kawakan W.S. Rendra.
Saya tidak akan membahas bagaimana Samin dalam film tersebut. Namun, ada hal yang bisa ditiru pada gerakan ala Samin tersebut. Saya menyebut bahwa gerakan itu bisa masuk ke dalam ranah civil disobedience (pembangkangan sipil).
Fenomena civil disobedience belakangan ini mengalami penguatan. Pada pilkada di beberapa daerah, massa abstain (golput) cenderung meningkat. Bahkan, pada pemilihan kepada desa atau lurah, tak sedikit dijumpai kotak kosong menang. Kendati dilakukan pengulangan pemilihan, kotak kosong (yang biasanya ada karena jumlah kandidat tak memenuhi ketentuan) tetap saja menang. Penduduk desa bahkan tak percaya lagi mereka memiliki pemimpin di desanya.
Lalu, dalam hemat saya, semua orang di negeri ini seakan jenuh dengan keadaan yang menyelimuti mereka. Mereka tak ingin kesengsaraan yang ada akan ditambah lagi dengan kesengsaraan berikutnya sebagai dampak dari kenaikan BBM. Keresahan itu bisa saya pahami.
Toh, jika negera ini bermimpi bisa menjadi negara kesejahteraan, saya pikir negeri ini akan bangkrut lebih cepat dari yang kita duga. Negara ini tengah berjuang untuk mendapatkan kembali kejayaan masa silam seperti kejayaan masa Sriwijaya atau Majapahit. Kendati, kuat kemungkinan juga untuk gagal.
Yang akan saya tekankan di sini adalah model gerakan penolakan yang nyaris tanpa dampak bagi pemerintah dan DPR. Dengan demikian, sudah selayaknya massa penolak kenaikan harga BBM mengubah model gerakan ini menjadi semacam pembangkangan sipil yang sistemik.
Secara sederhana, jika Samin pada masa itu bisa membangkang kepada pihak Belanda untuk tidak membayar pajak, mengapa massa kali ini tidak? Mudah saja untuk meruntuhkan negeri ini. Berhentilah bekerja selama satu minggu secara masif. Dan negeri ini akan lumpuh. Tentu ini membutuhkan solidaritas tinggi sebagaimana solidaritas yang dimiliki masyarakat Samin.
Jika itu sulit, ada banyak alternatif hikmah dari kenaikan BBM. Sudah saatnya kita menghidupkan kembali angkutan umum atau membiasakan kembali ke tempat kerja, kampus, pasar dengan berjalan kaki atau bersepeda. Sejauh yang saya amati, banyak angkutan umum tak berpenumpang di jalan raya. Sedangkan, setiap pagi dan sore hari, jalan raya dijejali ribuan kendaraan roda dua dan roda empat dengan hanya 1 penumang.