Dalam dunia internasional, interaksi antara satu negara dengan negara lain menjadi aktivitas yang terjadi dan umum ditemui. Interaksi yang secara geografis memiliki hambatan karena adanya batas wilayah dan jarak secara nyata mulai pudar setelah masuknya globalisasi. Interaksi yang dilakukan antar negara ditujukan untuk dapat melancarkan aktivitas lokal melalui kerjasama global yang dilakukan negara. Namun, pada kenyataannya interaksi ini seringkali menimbulkan dominasi bagi satu kekuatan tertentu dalam tatanan dunia yang dibangun.
Interaksi antar negara dalam dunia internasional tidak lepas dari interaksi ekonomi yang dilakukan oleh berbagai negara dalam melahirkan sistem ekonomi politik global. Sistem ekonomi politik global pada dasarnya ingin menciptakan hubungan interaksi antara satu negara dengan negara lain yang saling memiliki ketergantungan. Akan tetapi, pada prakteknya negara maju seringkali berlaku eksploitatif terhadap negara berkembang yang melahirkan ketergantungan sepihak. Sedangkan negara maju dengan kekuatan yang dimiliki mampu untuk memberi peran dominan dalam praktik ekonomi politik global.
Hegemoni menjadi hal yang tidak dapat dihindari dengan adanya interaksi yang dilakukan antar negara. Baik dalam aspek politik maupun ekonomi, hegemoni sangat mungkin dialami dalam melahirkan dominasi. Negara-negara maju, negara-negara dengan kekuatan lebih besar tentunya memiliki kesempatan untuk melahirkan hegemoni dalam interaksi yang dilakukan. Secara sekilas, hegemoni dalam ekonomi politik internasional yang terjadi terlihat pada apa yang dilakukan Amerika Serikat ketika perang dunia ke-II berakhir. Hegemoni dilakukan Amerika Serikat secara perlahan dengan mulai memberi bantuan ekonomi bagi negara-negara terdampak perang.
Pasca perang dunia ke-II, semangat internasionalisme baru (new international spirit) lahir dengan memberi harapan akan sistem ekonomi global yang bertumbuh untuk kepentingan dunia. Beberapa lembaga perekonomian internasional kemudian dibentuk untuk merealisasikan harapan yang diberikan, antara lain International Monetary Fund (IMF), International Bank for Reconstruction Development (IBRD) dan General Agreement on Tariff and Trade (GATT) atau yang saat ini digantikan dengan World Trade Organization (WTO). Tujuan dibentuknya lembaga-lembaga ekonomi internasional ini yaitu untuk membantu membangun kembali perekonomian dunia pasca perang dunia ke-II, mencegah terulang kembali penyakit ekonomi yang terjadi sebelum perang dan membangun serta mengembangkan ekonomi dunia (A. Hasnan Habib: 1997, 373).
IMF merupakan salah satu lembaga yang bertanggung jawab atas sistem moneter yang berjalan di dunia internasional. IMF yang merupakan lembaga sentral moneter internasional memiliki tanggung jawab terhadap bagaimana nilai tukar mata uang dalam sistem pembayaran global dapat tetap dilakukan meskipun terdapat berbagai mata uang yang berbeda dalam menjalankan hubungan bisnis antar negara. IMF dalam usaha mempromosikan kesehatan ekonomi dunia beranggotakan 184 negara yang hampir mencakup seluruh negara internasional secara global. Sehingga IMF sewajarnya dapat menjadi wadah bagi negara-negara anggota dalam turut berkontribusi membangun ekonomi global dan bersama-sama memberikan pengaruh dalam sistem moneter internasional yang dijalankan.
Akan tetapi, pada kenyataannya kebijakan moneter yang diberikan dalam praktik interaksi antar negara dunia internasional memiliki ketimpangan. Hal ini terlihat dalam aktivitas moneter yang terjadi bahwa negara-negara maju, seperti Amerika Serikat (Dollar), Jerman (Mark) dan Jepang (Yen) menggunakan mata uang negara mereka sendiri yang notabennya merupakan mata uang utama dunia. Hal ini kemudian berakibat pada penyusunan kebijakan moneter yang didasarkan pada fluktuasi yang terjadi pada mata uang utama dunia yang dianggap sebagai suatu given (Hadiwinata: 177-178).Â
Dengan begitu, melemah atau menguatnya mata uang negara-negara lain pada akhirnya didasarkan pada nilai tukar mata uang utama dunia yang saat ini didasarkan pada dollar AS. Sehingga negara-negara internasional lain hanya dapat mengikuti alur yang terjadi pada dollar AS dan saling ketergantungan antar negara yang awalnya disuarakan globalisasi dan liberalisasi menjadi ketergantungan satu pihak. Kuatnya dollar AS menjadikan adanya ketimpangan nyata yang terjadi antara negara maju dan kuat (Amerika Serikat) dengan negara-negara lainnya. Dollar AS yang tidak dapat dikalahkan oleh mata uang lain membuat negara-negara lain tidak dapat melakukan pengendalian atas nilai tukar mata uang mereka sendiri apabila dolar AS mengalami pelemahan atau penguatan.
IMF sebagai lembaga moneter internasional memiliki peran sebagai lembaga rujukan yang memberi bantuan dana darurat baik dana tersebut berasal dari IMF maupun lembaga keuangan lain sesuai dengan isi pasal 1 Article of Agreement. Â Dalam hal ini, IMF memiliki prinsip yang berupa diperlukannya adequate safeguards setiap adanya peminjaman untuk memberikan keamanan terhadap pinjaman yang diberikan negara pemberi pinjaman kepada negara pemohon (Nim, 2011). Â Sehingga negara pemberi pinjaman yang notabennya merupakan negara-negara dengan kekuatan besar dapat menanamkan pengaruh yang mereka miliki kepada negara peminjam atau pemohon melalui kebijakan IMF.
Di sisi lain, IMF dalam mengambil keputusan nyatanya tidak berdasarkan pada prinsip one main vote (satu negara satu suara). IMF dalam mengambil keputusan pada praktiknya lebih condong kepada negara-negara yang memiliki kontribusi besar terhadap dana yang disetorkan sebagai anggota. Terlihat bahwa negara-negara maju menjadi negara dominan yang memberikan kontribusi dana dengan jumlah persentase 57,6%, dipimpin oleh Amerika Serikat dengan persentase  sebesar 19,1%. Sedangkan, negara berkembang hanya memiliki kontribusi dengan jumlah persentase lebih rendah, yaitu 34,4%. Â
Amerika  Serikat dalam hal ini tentunya sangat diuntungkan dengan kontribusi besar yang dimiliki. Secara tidak langsung, kebijakan moneter yang dikeluarkan IMF terhadap negara-negara internasional tidak lepas dari keputusan yang dibuat oleh Amerika Serikat. 19,1% kontribusi yang dimiliki sangat memungkinkan Amerika Serikat sebagai negara maju menjadi dominan dalam keputusan IMF yang  mensyaratkan 85% suara anggota dalam mengambil keputusan. Hal ini tentu menunjukkan bahwa keputusan yang dilahirkan IMF sangat mungkin menjadi salah satu sarana untuk mencapai kepentingan Amerika Serikat sebagai negara maju. Sehingga Amerika Serikat dalam ekonomi politik internasional berhasil menghegemoni dunia melalui sistem moneter yang lahir dan dijalankan dunia internasional.
Daftar PustakaÂ