Soe Hok Gie, mahasiswa sejarah Universitas Indonesia yang banyak melakukan pergerakan demi terwujudnya demokrasi yang adil. Banyak hal yang ingin saya katakan tentang beliau seorang aktivis dan pencinta alam.Â
Saya mengenal Gie sejak SMA, dengan membaca puisi-puisi Gie dan kata-katanya yang menggugahkan kita semua. Orang yang baru saya kenal ini, membuka cakrawala pikiran saya.Â
Tiap halaman buku catatan seorang demonstran membuat saya ingin bergerak. Benar kata Gie, orang seperti kita tidak pantas mati di tempat tidur. Sejak usia belasan tahun, Gie selalu membaca buku yang jarang dibaca oleh seusianya.Â
Bahkan suatu ketika, ia pernah berdebat dan mengkritik guru yang salah dalam mengajarnya. Karena Gie memiliki prinsip guru bukan dewa dan murid bukan kerbau. Kata ini memiliki makna yang cukup dalam.Â
Bahwa pendidikan di Indonesia masih dibilang kurang dari apa yang ingin dicita-citakan. Sampai saat ini, pendidikan kita masih dibawah dan tingkat literasi masih sangat kurang sekali. Inilah menjadi kritik Gie, ia menaruh besar terhadap sejarah dan literatur.
Beranjak dewasa, saat duduk di bangku kuliah, saya sangat menggagumi Soe Hok Gie. Buku Catatan Seorang Demonstran selalu saya baca berulang-ulang.Â
Buku ini seolah tidak bisa lepas dan hilang dari jemari saya. Gie menjadi tokoh yang menarik kita perbincangkan. Tahun 1965, Gie menjadi tokoh penggerak untuk melakukan kritik terhadap orde lama.Â
Dia melihat banyak pejabat senang berfoya-foya dan korup sedangkan di pelosok hanya melihat drama seperti wayang di Istana sana. Saya setuju dengan apa yang dikatakan oleh Gie, Kita, generasi kita ditugaskan untuk memberantas generasi tua yang mengacau. Generasi kita yang menjadi hakim atas mereka yang dituduh koruptur. Kitalah yang dijadikan generasi yang akan memakmurkan Indonesia.Â
Gie meninggal saat masih muda. Gie merencanakan untuk mendaki Gunung Semeru. Persiapan untuk mendaki, ia banyak menyita waktu dalam beberapa minggu terakhir. Ia sering mendaki gunung memiliki alasan yang cukup patriotik, ''kami jelaskan apa sebenarnya tujuan kami. Kami katakan bahwa kami adalah manusia-manusia yang tidak percaya pada slogan. Patriotisme tidak mungkin tumbuh dari hipokrisi dan slogan-slogan. Seseorang hanya dapat mencintai sesuatu secara sehat kalau ia mengenal objeknya. Karena itulah kami naik gunung''.Â
Itulah sepatah kata mengapa ia mendaki gunung. 14 Desember 1969, tiga hari sebelum ulang tahunnya 17 Desember 1969 ia berangkat menuju Malang untuk mendaki Gunung Semeru.Â
Catatan harian ini berhenti seiring ajal menjemputnya di Gunung Semeru. Gie tewas karena terlalu banyak menghirup gas beracun. Satu tim Gie, Idan Lubis pun bernasib sama dengan Gie. Herman Lantang menjadi saksi mata pada saat itu dan menemani mayat.