Mohon tunggu...
Aji Prawinto
Aji Prawinto Mohon Tunggu... -

wong sudra pekathik, ora tau mangan sekolahan, isaku mung iki.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Makar

3 Desember 2016   23:01 Diperbarui: 3 Desember 2016   23:37 118
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Jum’at, 2 Desember 2016 yang lalu terjadi peristiwa yang “luar biasa” di kantor saya. Ini tidak ada hubungannya dengan Aksi Super Damai 212 di Monas, yang ternyata memang benar-benar super damai tersebut. Juga tidak ada hubungannya dengan ditangkapnya tujuh aktifis – setidaknya secara substansi – karena dituduh makar.

Peristiwanya hanya masalah kosa kata. Bunga (bukan nama sebenarnya), seorang staf di kantor saya bertanya kepada saya, “Pak, apa sih artinya makar?” Saya benar-benar terkejut. Bukan karena “serem”nya kata yang ditanyakan, tapi karena harus menerima kenyataan bahwa; seorang sarjana di ibukota negara Indonesia tidak tahu arti sebuah kata sederhana dalam Bahasa Indonesia.

Makar /ma kar/, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (kbbi.web.id) berarti:

  • akal busuk; tipu muslihat
  • perbuatan (usaha) dengan maksud hendak menyerang (membunuh) orang, dan sebagainya
  • perbuatan (usaha) menjatuhkan pemerintah yang sah

Setelah saya jelaskan si staf tersebut terlihat puas, tapi ganti saya yang penasaran. Ganti saya yang bertanya, “Mengapa kamu tidak tahu arti kata sesederhana ini?” Dia menjawab, “Gak pernah dengar.”

Berbeda dengan saya yang mengalami masa-masa pemerintahan represif orde lama dan orde baru, dia yang lahir di awal 1990an memang hidup di era “reformasi”. Di masa-masa tersebut, kebebasan mengemukakan pendapat benar-benar dilindungi, sehingga kata tersebut (makar) tidak pernah terdengar. Pada jaman orde lama, cap makar diberikan kepada DI/TII, PKI (Muso) dan PKI (Aidit). Orde baru menggunakannya untuk kelompok Petisi 50. Tapi setelah tumbangnya rejim orde baru, kata tersebut tidak pernah digunakan pemerintah untuk memberi gelar kepada orang/kelompok yang berbeda pendapat dan (terutama) vokal.

Jadi ya wajar saja jika ada (dan mungkin banyak) generasi muda Indonesia yang tidak mengetahui arti kata tersebut. Sebuah kata, sesederhana apa pun, akan mudah dilupakan atau tidak dikenali jika tidak pernah digunakan. Tentu sangat tidak adil jika menyalahkan guru Bahasa Indonesia karena tidak mengajarkan kata ini kepada peserta didik. Bahasa adalah alat komunikasi. Kita tidak perlu repot-repot mengajarkan tentang kata yang tidak akan digunakan untuk berkomunikasi. Tidak perlu khawatir mengalami kepunahan, sepanjang masih tersimpan di kamus resmi.

Tapi, mulai saat ini, ibu bapak guru Bahasa Indonesia harus mulai mengenalkan kata ini kepada murid-muridnya karena mungkin saja akan sering kita dengar dan kita baca dari pemberitaan media. Dengan demikian, perbendaharaan kosa kata orang Indonesia akan semakin kaya.

Selamat mengenal kosa kata baru bagi generasi “jaman reformasi” dan menggunakan kembali kosa kata lama bagi generasi “jaman represif”.

******

Ciangsana, Sabtu Pahing 3 Desember 2016

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun