Sobat Tangsel dan Setanah Banten yang baik dan berbudi, saya ingin mengungkap sedikit tentang ironi kaum Intelektual di Tangsel dan Banten secara singkat di Pilgub Banten kini (2011).
Sebagai warga Tangsel yang secara tidak langsung terlibat dalam 2 (dua) kali Pilkada di Wilayah Banten, pertama Pilkada Walikota Tangerang Selatan dan kedua Pilkada Gubernur Banten, saya merasakan tulisan seorang Facebooker bernama samar Tangsel Indie yang menarik yaitu yang berjudul : Intelektual Pengkhianat. Entah itu tulisan nyomot dari mana atau dapat wangsit dari siapa, yang saya rasakan apa yang dia tulis ada benarnya. Saya sebagai makhluk Tuhan yang tidak pernah merasa seksi menjadi jengah dengan perilaku khianat mereka, segerombolan kaum yang mendapat gelar kehormatan "Intelektual". Dalam kamus besar Bahasa Indonesia arti Intelektual adalah : (http://kamusbahasaindonesia.org/intelektual)
intelektual in.te.lek.tu.al /intelEktual/ (1) a cerdas, berakal, dan berpikiran jernih berdasarkan ilmu pengetahuan; (2) n (yg) mempunyai kecerdasan tinggi; cendekiawan; (3) n totalitas pengertian atau kesadaran, terutama yg menyangkut pemikiran dan pemahaman
Berikut tulisan Tangsel Indie tersebut yang masih dapat dilongok di alamat ini : (http://www.facebook.com/notes/tangsel-indie/intelektual-pengkhianat/184326604920636)
Tentunya tidak haram jika kaum intelektual/cendekiawan memasuki dunia politik seperti menjadi aktitifis atau kader partai. Bahkan kehadiran kaum intelektual diharapkan bisa membangun dan memperkuat fungsi serta peran partai politik yang tengah dilanda krisis kepercayaan karena diguncang berbagai skandal korupsi dan prilaku menyimpang secara bertubi tubi. Politik bisa menjadi sarana bagi seorang intelektual untuk menyuarakan dan mewujudkan idealismenya dalam menegakkan nilai nilai kebenaran. Masalahnya seringkali terjadi penyimpangan pada kalangan intelektual yang terjun ke dunia politik atau menjadi birokrat. Mereka bukannya memperbaiki keadaan yang bobrok dalam dunia politk dan birokrasi, malah seorang intelektual seringkali berfungsi menjadi legitimator untuk membenarkan dan memoles prilaku korup. Alih alih memperbaiki keadaan yang bobrok, malah dirinya larut dan ikut menjadi bobrok. Lebih parah lagi, sang inteletektual gadungan ini acapkali menyerang kalangan intelektual kritis dan gerakan aktifis idealis yang dulu teman seiring sejalan dengan dirinya dalam meneriakkan kebenaran, melawan kezaliman. Seringkali kita dikejutkan, dibuat terheran heran, oleh “manuver” mantan aktifis yang semasa mahasiswa sangat idealis. Mereka yang lantang dan gagah berani melawan korupsi. Tapi begitu jadi pejabat, ternyata menjadi koruptor jua. Penyimpangan semacam ini bukan hal baru memang. Sudah `berlangsung sejak lama. Bahkan mungkin sejak peradaban manusia ada. Seperti wabah pelacuran yang tidak pernah bisa punah. Muchtar Lubis pernah berrtutur. Dia ditanya oleh wartawan asing, “Apakah Anda yakin mereka tidak akan korup kalau menjabat?” Dengan tegas Muchtar Lubis menyatakan yakin. Tapi ternyata dia kecele. Para pejuang yang semula dia kagumi itu berlaku korup. Tahun 1927, Julian Benda telah menyuarakan menggejalanya intelektual yang melacurkan diri dengan menjual idelismenya semacam ini di Prancis. Benda menyebutnya sebagai Intelektual Pengkhianat.
Pengkhianatan kasat mata yang telak-telak terjadi sebagai contoh adalah pecah kongsi para Penggagas dan Operator Jaringan Pemilih Tangerang Selatan yang terkenal dengan akronim JPTangsel di Facebook (http://facebook.com/jptangsel) , yang pada masa Pilkada Tangsel gaungnya begitu membahana ke seantero negeri yang launchingnya dihadiri para Tokoh dan Intelektual Papan Atas dan Kelas Kakap bahkan ada yang berharap Jaringan Pemilih tersebut dapat menjadi Laboratorium Demokrasi. Sebuah ide yang hebat dan luar biasa pada masa itu. Namun apa lacur kemudian, tepatnya di Pilgub Banten kini, mereka para Gerombolan Intelektual tersebut dari mulai yang kelas Cere hingga yang Kilap Berdasi Berkeringat Wangi seolah lupa akan semuanya. Beragam pengkhianatan bermunculan, dari yang seolah hilang ingatan pernah berikrar seia sekata hingga yang dengan penuh kesadaran kini mengangkangi apa yang telah mereka canangkan, dan kini tanpa rasa malu dan bersalah sekalipun berbalik menghujat keberadaan gerakan moral JPTangsel. Apa yang bisa diharap dari mereka kalau gelar kehormatan "Intelektual" tersebut ternyata macam "Pepesan Kosong" belaka? Laboratorium Demokrasi yang diimpikan ternyata berubah menjadi "Tragedi Demokrasi" karena ulah para penyandang gelar kehormatan "KAUM INTELEKTUAL". Bila para penjarah Negeri ini mendapat gelar BEDEBAH maka saya anggap para INTELEKTUAL PENGKHIANAT tersebut pun berhak mendapatkannya. Dan kini mereka yang konsisten di JPTS yang masih mampu berdiri tegak menyuarakan nurani dihajar kian kemari oleh para BEDEBAH tersebut. Bertahanlah!Kalian tetap menjadi ICON Perlawanan terhadap Tirani Kekuasaan yang menjadi tuan para BEDEBAH! Tangsel, 28 Oktober 2011 ane cahPamulang .
Kita harus berhenti membeli rumus-rumus asing. Diktat-diktat hanya boleh memberi metode,tetapi kita sendiri mesti merumuskan keadaan. Kita mesti keluar ke jalan raya, keluar ke desa-desa, mencatat sendiri semua gejala, dan menghayati persoalan yang nyata. Inilah sajakku Pamplet masa darurat. Apakah artinya kesenian, bila terpisah dari derita lingkungan. Apakah artinya berpikir, bila terpisah dari masalah kehidupan. 19 Agustus 1977, ITB Bandung, Potret Pembangunan dalam Puisi, WS Rendra - Sajak sebatang Lisong
Post ke
- Facebook :
http://www.facebook.com/note.php?note_id=192808974130092
- Related : Sajak Sebatang Lisong :
http://www.facebook.com/groups/tangselkite/doc/301782173169181/
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H