Hebat! Mungkin satu kata ini patut disematkan kepada Pertamina. Betapa tidak, di tengah kondisi pandemi dan resesi global seperti ini, Pertamina masih mampu mencetak laba dan memberikan pemasukan bagi negara.
Pertamina mencatatkan untung di atas US$ 1 miliar atau sekitar Rp 14 triliun tahun 2020. Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh Direktur Utama Pertamina, Nicke Widyawati pada Jumat (5/02).
Menariknya, laba tersebut dibukukan saat iklim bisnis kurang ideal. Pasalnya, pada awal tahun lalu Pertamina mengalami "triple shock". Ketiganya meliputi anjloknya harga minyak dunia, penurunan permintaan BBM, dan melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat.
Bahkan karena kondisi itu, Pertamina sempat mengalami kerugian Rp 11 triliun pada semester I tahun 2020.
Tetapi tidak hanya Pertamina saja yang mengalami kerugian saat itu. Hampir semua perusahaan minyak dunia juga mengalami hal serupa, seperti Exxon Mobil Corporation, Chevron Corporation, dan BP.
Hebatnya Pertamina cepat bangkit dari keterpurukan. Di saat bisnis sedang "jatuh", mereka segera beradaptasi dan mencari solusi yang tepat. Alhasil, per Juli 2020 lalu, perusahaan negara ini sudah mulai menghasilkan laba dan terus berlanjut hingga akhir tahun.
Yang pasti, kisah Pertamina membukukan laba ini tidak semudah membalikkan tangan. Ada upaya keras di dalamnya.
Bila menyimak paparan Dirut Pertamina, setidaknya ada tiga langkah strategis yang diambil perusahaan negara tersebut untuk membalikkan keadaan.
Pertama, Pertamina terus menggenjot peningkatan produktivitas hulu dan migas. Kinerja produksi mereka hampir mencapai target yang ditetapkan.
Kedua, penghematan atau efisiensi di semua lini bisnis. Misalnya, Pertamina melakukan pemotongan Operational Expenditur (Opex) hingga 30 persen, serta memetakan prioritas anggaran investasi.