Di sisi lain, Pertamina juga jeli dalam membaca peluang. Ini terlihat saat Pertamina "memborong" minyak ketika harga turun, terutama pada April-Mei 2020. Kemudian menyimpannya dalam landed storage dan kapal.
Kebijakan ini terbukti ampuh. Karena ketika harga minyak dunia mulai merangkak naik lagi pada semester II 2020, Pertamina punya persediaan minyak yang melimpah. Hal ini tentu berdampak ke penurunan biaya pokok produksi.
Beberapa langkah strategis di atas pada akhirnya membuat Pertamina bernasib beda dibandingkan kompetitor lainnya.
Karena faktanya, sebagian besar perusahaan migas dunia kini justru mengalami kolaps di tengah pandemi dan resesi global. Diantaranya, Exxon Mobile yang mencatatkan kerugian lebih dari USD 22,4 miliar pada 2020.
Begitu pula perusahaan migas British Petroleum (BP) yang merugi USD 5,7 miliar tahun lalu. Dan juga Chevron yang "buntung" hingga USD 5,5 miliar akibat pandemi ini.
Oleh karena itu, upaya Pertamina membalikkan keadaan dari rugi menjadi untung ini patut diapresiasi. Karena tentu saja, untuk menuju ke sana bukanlah langkah yang mudah. Tanpa adanya kerjasama dari jajaran direksi, komisaris, pemerintah dan masyarakat rasanya sangat mustahil.
Yang jelas, keberhasilan Pertamina membukukan laba ini adalah hasil kerjasama tim. Bukan aksi sepihak ataupun seorang saja.
Hal ini sekaligus membuktikan bahwa kualitas Pertamina bukan perusahaan kaleng-kaleng. Sudah pantas dianggap sebagai perusahaan kelas dunia (world class corporation), dan tak bisa dipandang sebelah mata lagi.
Kita sangat bangga dengan capaian ini. Semoga Pertamina semakin maju dan mampu mencetak laba lebih banyak lagi.
Karena makin cuan perusahaan BUMN ini, maka semakin besar pendapatan yang diterima negara untuk menyejahterakan rakyatnya. Dan, harapan itu masih terbuka di tahun-tahun depan.
Sekali lagi, selamat Pertamina!
