Masalah polusi di kota-kota besar Indonesia merupakan dampak dari aktivitas manusia. Seiring dengan kemajuan zaman, bahaya polusi seperti tak terhindarkan. Meski begitu juga selalu ada cara untuk mengeremnya.
Per Senin, 14 September 2020, kualitas udara di Jabodetabek cukup mengkhawatirkan. Menurut IQAir, indeks kualitas udara di Jakarta mencapai 133 AQI US. Di atasnya adalah Kota Bekasi (152 AQI US) dan paling atas adalah Tangerang Selatan (158 AQI US). Ketiganya masuk dalam kategori udara tidak sehat.
Sedangkan, konsentrasi partikulat (PM 2,5) di Jakarta mencapai 48 g/m3, Kota Bekasi 49,3 g/m3, dan Tangerang Selatan 69,8 g/m3. Padahal, standar dari WHO untuk PM 2,5 adalah 25 g/m3 untuk harian.
Bila dibandingkan dengan kota-kota lain di dunia, Jakarta (dan sekitarnya) masuk dalam kategori 10 kota paling berpolusi. Mengalahkan kota besar lainnya, seperti Paris, Los Angeles, Tokyo atau Beijing.
Kualitas udara yang buruk ini tidak hadir dengan sendirinya. Padatnya kendaraan bermotor di jalanan menjadi sebab utamanya.
Menurut data Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta, 75 persen penyebab polusi udara di Jakarta adalah transportasi, baru diikuti oleh industri dan domestik. Tak mengherankan jika rencana pengurangan polusi oleh pemerintah akan dimulai dari sektor tersebut.
Meski demikian, faktor utama yang perlu diperhatikan bukan pada jumlah kendaraannya. Tapi lebih pada bahan bakar yang digunakan.
Karena beberapa kota besar lainnya di dunia memiliki jumlah kendaraan yang jauh lebih besar dari Jakarta, tetapi dari segi polusi mereka justru lebih rendah. Selidik punya selidik, kondisi itu terjadi karena BBM yang mereka gunakan ternyata kualitasnya lebih baik.
Oleh karena itu, salah satu kebijakan yang perlu didorong untuk mengurangi polusi udara di Jakarta dan kota-kota besar lainnya di Indonesia, adalah mendukung penggunaan BBM yang lebih berkualitas.
Maksud dari "BBM yang lebih berkualitas" ini mengacu pada EURO-IV dimana BBM yang disarankan untuk masyarakat harus memiliki oktan di atas 90.