Ada saja dalih bagi yang anti terhadap wacana perda syari’at yang digulirkan oleh sebagian daerah di Indonesia. Seakan perda syari’at adalah sejenis monster yang akan memangsa segala keindahan dan ketentraman warga yang hidup di negara ini. Alih-alih bagi yang kontra melihat dan mencari nilai positif yang terkandung dalam pelaksanaan perda syari’at di wilayah-wilayah tertentu. Malah mereka menjadikan wacana yang digulirkan tersebut sebagai olok-olok yang sama sekali tidak ilmiah. Kompasiana pun (yang digadang-gadangkan menjadi wadah para blogger untuk sharing and connecting) tulisan antipati terhadap perda syari’at seakan tak pernah ada habisnya, meski yang publish hanya orang itu-itu saja. Sebuah fakta yang seakan mengindikasikan bahwa yang kontra perda syari’at tidaklah lebih masiv dari apa yang mereka tulis.
Alasan pertama yang paling sering mereka yang anti perda syari’at katakan adalah bahwa perda syari’at melanggar konstitusi NKRI. Konstitusi yang mana? Memang secara konstitusional NKRI bukan negara yang menjadikan hukum agama sebagai hukum negara. Tetapi apakah tidak ada ruang untuk memasukkan bagian–bagian tertentu dari salah satu agama kedalam hukum negara di wilayah-wilayah tertentu dan untuk kalangan tertentu saja. Seperti hukum syari’at bagi ummat Islam. Ingat khusus bagi ummat Islam, karena tidak ada kewajiban hukum Islam yang dibebankan bagi ummat non Islam.
Kedua mereka yang anti syari’at sering teriakkan disini adalah ngapain pemerintah daerah mengatur-ngatur masalah agama? Tak adakah problem masyarakat yang lebih penting daripada urusan agama? Yang ini terlalu menyepelekan tugas dan hak pemerintah daerah. Seakan pemerintah daerah tak berhak untuk membangun salah satu pilar dari sekian banyak pilar pembangunan, yaitu pilar mental spiritual. Walaupunsecara fisik pelaksanaan perda syari’at tidak akan membuat warga miskin akan kenyang. Meskipun perda syari’at tidak berwujud sebagai gedung megah atau jalanan yang lebar dan licin. Tetapi implementasi perda syari’at adalah salah satu bentuk dari pembangunan mental dan spiritual masyarakat muslim pada khususnya. Bukankah selama ini kita telah demikian gerah dengan fenomena degradasi moral di negara yang katanya tempat hidup ummat Islam terbesar dimuka bumi. Di wilayah yang mayoritas Islam ini tentu saja jumlah pelaku kriminalitas terbanyak juga dilakukan oleh ummat Islam, walaupun pelaksanaan perda syari’at juga belum pasti akan membuat indeks kejahatan stagnan tetapi setidaknya ada kita telah coba mengobati banyak penyakit masyarakat dengan sentuhan agama. Sebutlah ini salah satu alternative, jadi jangan cepat alergi. Bukankah yang namanya pengobatan alternative jarang sekali menyebabkan alergi. Hehehehe…
Ketiga mereka yang anti syari’at bilang bahwa perda syari’at adalah salah satu bentuk ketidak dewasaan ummat Islam dalam beragama dan berkeyakinan. Ngapain juga beragama saja harus dipaksa-paksa dan dikejar-kejar polisi syari’at. Saya melihat tuduhan ini adalah benar benar adanya jika kita lihat dari kacamata Islam itu sendiri. Kenapa? Karena bila ummat Islamnegeri ini telah dewasa maka tidaklah diperlukan lagi yang namanya hukum syari’at diperdakan oleh sebagian wilayah dan diabaikan di wilayah lainnya. Karena bagi ummat Islam yang dewasa dalam beragama akan mengerti setiap perintah dan larangan dalam agamanya. Bukankah yang diperdakan itupun telah tertulis dalam kitab suci dan hadits nabi telah pula di ijtihadkan oleh para ulama-ulama Islam dimasa lalu. Lalu karena banyak hal ummat Islam dewasa ini yang telah lupa akan perintah dan larangan agamanya, karena itu masyarakat Islam perlu didewasakan lagi dengan pemberlakuan perda syari’at yang akan menjaring para ummat Islam yang tidak dewasa untuk bisa dewasa dalam menjalani agamanya. Ingat perda syari’at ini hanya untuk ummat Islam.
Keempat ada yang mengatakan perda syari’at adalah bentuk dari Arabisasi dinegara kesatuan Indonesia. Kenapa sih terlalu phobi dengan Arab? Apakah pernah ada salah satu saja dari bangsa Arab datang ke Indonesia membawa armada perang dan menjadikan kita dan nenek moyang kita dahulu menjadi budaknya? Adakah mereka datang kesini lalu menjarah harta kekayaan bumi Indonesia tercinta? Jadi untuk apa kita tiba-tiba phobi terhadap Arab hanya karena perda syari’at, sebab antara perda syari’at dengan Arabisasi tak pernah sama. Memang Islam berasal dari Arab, tetapi kewajiban yang diterapkan atas ummat Islam bukan hanya bagi muslim di Jazirah Arabia sana melainkan bagi setiap orang laki-laki perempuan yang akil baligh dan waras akal fikirannya.
Kelima mengapa hanya ummat Islam saja yang ngotot dengan perda syari’at? Ummat agama lain toh tidak pernah mencoba untuk berwacana menerapkan perda agama masing-masing diwilayah dimana ummat Islam bukan mayoritas. Sepintas dalih ini cukup mengena di alam fikiran kita. Ah, sendainya nonmuslim menerapkan aturan agama untuk kalangan mereka sendiri itu adalah hak mereka alangkah saya apresiasi. Mengapa mereka tak melaksanakannya saja, asal tak mengorbankan hak ummat agama yang lain. Karena dengan demikian maka semakin lengkaplah kehidupan antar ummat beragama di negeri ini. Saya yakin dengan setiap penganut agama menjalankan aturan agamanya secara benar maka semakin kokohlah kehidupan beragama dinegeri ini dimana setiap ummat beragama bisa bebas menjalankan agama sesuai tuntunan agama masing-masing. Saya menantikan ada saat-saat seperti itu.
Lima poin penentangan diatas hanya sebagian saja masih banyak lagi alasan yang mereka anti syari’at koar-koarkan tak mungkin semuanya bisa saya publish dalam kesempatan ini. Intinya apapun yang namanya Islami bagi mereka adalah cela yang tidak boleh dianut. Seakan kebenaran mutlak hanya milik selain mereka yang meyakini syari’at Islam. Apapun yang ada embel-embel syari’at adalah nista jika menjadi bagian tertentu dalam kehidupan bernegara dan berbangsa.
Terakhir saya melihat atas suksesnya pelaksanaan perda syariat dinegeri ini yaitu di Aceh, mengapa Aceh? Karena saya pernah bertahun-tahun disana melihat dengan mata kepala sendiri betapa indahnya Qanun Syari’at Islam di Aceh. Disana pelaksanaan Qanun syari’at yang telah berjalan sekian tahun tanpa ada gejolak yang berarti. Hampir tak pernah ada gejolak atas pelaksanaan syari’at Islam di wilayah Aceh hingga sekarang. Kecuali peristiwa terakhir di Aceh Singkil yang sekarang sedang coba di mediasi oleh pihak-pihak terkait.Sementara secara keseluruhan kisruh itu telah mampu diatasi secara baik oleh para pihak beragama di Aceh. Bahkan ditengah kisruh itupun para tokoh non Islam di Aceh malah masih mengakui adanya kerukunan antar ummat beragama di Aceh ( sumber lihat disini ).
Jadi apalagi yang kita cemaskan dengan wacana perda syari’at, apalagi sampai menghujat dan menstigma para pelaksana syari’at Islam sebagai kaum intoleran. Mari kita melihat kebenaran dari sisi yang benar, bijaksana dan beradab tanpa rasa kebencian dan permusuhan. Belum tentu juga perda syari’at yang diwacanakan di Tasikmalaya akan menjadi kenyataan melihat sikap pemerintah pusat yang belum memberikan sinyal persetujuannya. Bagi ummat Islam yang pro berbesar hatilah jika rencana ini di anulir, artinya ada cara lain buat perjuangkan syari’at ini. Bagi yang kontra tolong jangan jadikan kegagalan penerapan perda syari’at sebagai senjata bagi anda untuk menyerang mereka yang pro syari’at. Bukankah demikian caranya untuk kita bisa hidup damai bersama dalam negara bangsa ini. Salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H