Gempa Jogja sudah berlalu sekitar 1 dekade lebih, namun rasa trauma masih melekat dalam diri saya. Pasalnya, kota Klaten tempat tinggal saya, yang lokasinya tidak jauh dari Jogja, tidak luput terkena dampak dari gempa tersebut. Saya menjadi saksi bagaimana rumah-rumah luluh lantak dalam kurun waktu kurang dari 1 menit.
Pagi itu, tanggal 27 Mei 2006, saya masih mematut jilbab di depan cermin. Saat itu saya duduk di bangku kelas XII SMA. Seperti biasanya, jam-jam tersebut Bapak melihat berita di TV sedangkan ibu sibuk membuat sarapan di dapur. Mas Joko, kakak ketiga saya, masih tidur pulas karena semalam kami main games virtual cops.
Tidak ada firasat apa-apa, tiba-tiba ada guncangan pelan tetapi lama-kelaman semakin kencang. Saya refleks keluar rumah sambil meneriaki seisi rumah untuk ikut keluar. Tidak lama, Mas Joko berlari keluar dan berdiri bersisian dengan saya di bawah pohon yang jauh dengan bangunan. Kami berdua panik menyaksikan rumah kami dan rumah tetangga rubuh satu per satu .
Mas Jundi, kakak kedua saya, keluar rumah dengan terhuyung dan berkucuran darah di kepalanya. Bapak masih shock. Beliau bertahan di kamar tamu karena panik takut terkena robohan tembok. Bagian ruang tamu temboknya sedikit doyong, tetapi tidak roboh, sehingga setelah gempa berhenti, Bapak bergegas keluar dari rumah.
Di luar rumah, kami memeriksa satu per satu anggota keluarga, dan yang belum ada diantara kami adalah ibu. Dapur adalah lokasi yang paling parah karena bangunannya hampir rata dengan tanah. Hati saya sudah ketar ketir membayangkan tentang ibu.
“Buuuuuk. Ibuuuuuuk” saya memanggil-manggil namanya sambil hati-hati menginjak puing-puing tembok. Mas Joko dan Bapak juga melakukan hal yang sama. Mas Jundi duduk di depan dengan istri dan anaknya karena wajahnya pucat banyak kehilangan darah.
Ibu tertindih tembok utama bangunan rumah. Beruntungnya, tubuhnya hanya terkunci di dalam (tidak benar-benar tertindih). Temboknya doyong menyamping dan ibu tidak bisa keluar. Butuh beberapa waktu untuk Mas Joko, Bapak dibantu beberapa tetangga mengevakuasi Ibu. Ibu pingsan dan baru sadar sore harinya.
Gempa yang berkekuatan 6,2 SR dengan durasi 57 detik tidak hanya meluluhlantakkan rumah kami, tetapi hampir seluruh rumah warga di desa rata tanah. Kalaupun ada rumah yang masih berdiri, bangunan tersebut tidak layak huni karena rawan roboh.
Menjelang siang, entah darimana asalnya, isu tsunami mengemuka di kampung. Seluruh warga panik dan berbondong-bondong ke arah dataran yang lebih tinggi. Setelah ada informasi dan arahan dari kepala desa kalau informasi tsunami tersebut tidak benar, masyarakat dapat tenang dan mulai kembali ke rumah masing-masing.
Dampak gempa Jogja waktu itu sangat nyata bagi keluarga kami. Kami tidak punya rumah dan bapak ibu kehilangan harta bendanya. Yang lebih memilukan adalah kakek saya meninggal karena tertindih tembok bangunan. Mayat beliau baru berhasil dievakuasi menjelang maghrib dan langsung dimakamkan bersama-sama korban yang lain.
Tanggap Risiko Bencana untuk Meminimalisir Kerugian