Belukar kering, kaku kuning segenapnya. Mata-mata kodok selokan membelalak tak mampu kedip-kedip, karena peristiwa kelap-kelip yang mampu menyetrum kalap, menyambar-nyambar mozaik tanpa tata.
Rombongan pasangan pesakitan terlihat berpeluhkan bencana rasa dan rupa. Kelezatan pelampiasan nafsu tersibak lebar selebarnya saat ini, membuat para pemeluk kesetiaan menanggalkan kepercayaan keramat mereka kepada asmara. Trauma asmara bertebaran dimana-mana. Mahligai nista jelmaan dusta cinta, menjadi slogan terpecaya, akibatnya.
Pemburu warta dan warga berdesakan mencuri dan mencari fakta. Daya tarik wajah-wajah malu melebihi daya tarik film kelas Oscar. Kutukan mengalir gencar segencarnya dari penonton pria dan wanita, walau pengutuk ini aslinya sama di hari lalu, di hari ini dan di hari depan.
Barisan pasangan pesakitan berjalan teratur menuju mobil patroli di bawah penjagaan ketat polisi, menyibak riuhnya warga dan wartawan. Riuh itu kian bergemuruh, ketika hakim-hakim jelata itu menyaksikan sekelompok polisi mengawal secara istimewa seorang wanita ayu, berusia kurang lebih 40 tahun beserta dua orang pemuda. Pakaian mereka tak beraturan, bahkan wanita itu sekiranya alpa mengancingkan gaun mewahnya di bagian dada yang berwarna putih kenanga.
*****
Penggalan headline harian Top Berita 14 maret 2014
Penggerebekan pasukan Jago Cinta kota Purawara yang dilaksanakan malam hari pukul 23, 13 maret, benar-benar menuai sukses. Di losmen Sedap Dewi kelas melati, sekitar 150 pasangan tanpa dilengkapi surat nikah, berhasil diciduk oleh aparat. Yang paling mengejutkan adalah tertangkapnya nyonya Kirmizi, 37 tahun, istri sah Baktianto, Direktur Utama PT. Berlian Megah.
Nyonya Kirmizi terpergok petugas sedang melakukan permainan trio kuda lumping tanpa mengenakan sepotong busana, bersama dua orang pemuda berinisial XY, 30 tahun, seorang preman terminal dan pemuda YX, 16 tahun, pelajar salah satu SMU swasta kota Purawara.
*****
Brigadir Jenderal polisi Nata Deniswara terlihat serius membaca sebuah lembaran iklan tamasya, di kamar hotel Gold Green, hotel megah berbintang 7 di jantung kota Purawara. Dia tertawa terkekeh-kekeh, membiarkan air liurnya meleleh-leleh, karena hatinya sedang nyeleneh leyeh-leyeh. Sehubungan penggerebekan sukses yang dilakukan anak buahnya atas losmen Sedap Dewi. Dia tengah menuntut oleh-oleh jabatan , yang ukurannya terlalu besar buat pikiran dan hati nuraninya yang sebesar pentil mangga.
Hpnya berdering uring-uringan, mulutnya maju mundur menyapa, kemudian membuka, melepaskan ijin untuk seseorang masuk ke dalam.
Pintu tanpa diketuk terbuka, masuklah seorang pria, mengenakan stelan jas hitam licin sempurna, berwajah tampan berusia kurang lebih 40 tahun, sebaya dengan sang Jenderal. Dasi biru bergaris putih tergantung anggun di pangkal lehernya. Tanpa dipersilahkan, tanpa takut apalagi sungkan, pria ini mengambil tempat duduk di atas sofa bersepuh emas, berhadapan dengan sang Jenderal.
“ Bagaimana bisnismu Direktur?. Kudengar kau berencana membangun hotel di selat Bali, hebat, sebuah hotel bawah laut pertama di Indonesia”
“ Aku dan rencanaku selalu hebat “, jawab lelaki berjas mantab.
“ Oh dari dulu aku tahu. Pertanyaanku adalah kekagumanku padamu sejak SMA dulu “, jawab sang Brigjend sambil memain-mainkan lidahnya di bibirnya yang manis.
“ Sedari dulu bodohmu masih sama Nata, bahkan seiring usiamu yang semakin tua, ha ha ha, mengikuti naiknya jabatanmu , maukah kau mengaku begitu, karena nyatanya ya begitu “, kata Direktur Baktianto.
Merah padam muka Brigjend Nata, tapi dia bukannya marah malahan tertawa tersengal-sengal.
“ Walau bodoh, hanya aku yang mampu mengembalikan pamor berlianmu yang paling berharga saat ini, ha ha ha “
“ Bukan berlian tapi panci karatan “
Sebuah pengakuan geram, membuat Brigjend Nata heran sedalam-dalamnya.
“ Jangan begitu, kutahu kau sangat mencintainya. Tertangkapnya istrimu bermain serong dengan dua lelaki sekaligus, tentu membuat rasa percayamu padanya kandas tanpa bekas. Karena dasar cinta yang besarlah sampai-sampai kau memintaku untuk mencuci kotoran kasus istrimu itu” hibur Brigjend Nata.
“ Kau tak tahu dan sok tahu yang merupakan ciri khasmu dari dulu “
“ Lalu?, oh biasa kasus rumah tangga orang kaya, kau dan istrimu sudah saling bosan bukan ? “
“ Kau tak tahu dan sok tahu yang merupakan ciri khasmu dari dulu “
Brigjend Nata memandang menyelidik wajah Direktur Baktianto. Otaknya serasa meledak saat menebak-nebak masalah antara sang Direktur dan istrinya.
“Pantaskah aku makan bersama buruh bangunan ?”, Tanya Direktur Baktianto. Buru-buru Brigjend Nata menjawab, “ Tentu tidak, orang hebat sepertimu tak pernah pantas berdampingan dengan buruh bangunan “
Direktur Baktianto menggerakkan ujung mulutnya, menyeringai tipis.
“ Kau sama dengan mertuaku “
“ Oh”, keluh Brigjend Nata, ingatannya terlempar kemasa lalu Baktianto yang getir.
“ Karena dulu aku hanya seorang buruh bangunan, maka kedua mertuaku menolakku secara hina ketika aku melamar salah satu puterinya, hal ini memaksa aku dan puterinya kawin lari. Dalam keterbatasan materi aku berjuang mati-matian membangun rumah tangga. Berjanji dalam kemiskinanku bahwa aku tak akan membuat istriku hamil sebelum kaya “
“ Akupun berhasil menjadi kaya, mertuaku akhirnya menerimaku, menghujaniku dengan hormat yang didasarkan pada kedudukan dan harta, sekarang, selalu mendesakku untuk membuat anaknya hamil, tapi aku kehilangan daya tiba-tiba untuk melakukannya”
“ Karena kedudukanku saat ini berasal dari buruh bangunan, maka kucari orang sederajat dengan diriku di masa lalu, untuk membuat istriku hamil, kau paham ?”
Rambut cepak Brigjend Nata menjelma menyerupai bulu landak. Kulit sawo matangnya berubah menjadi warna biji sawo. Susah dicerna akal waras motif direktur Baktianto menjerumuskan istri yang didapatnya secara susah payah.
“ Preman terminal itu adalah salah satu bandar putawku, sedangkan anak SMU itu adalah pecandu putaw. Hidup kedua orang itu benar-benar ditanganku, termasuk kau, Brigadir Jenderal Polisi Nata Deniswara”, ucap beku Direktur Baktianto sambil meletakkan koper kulit yang dipangkunya di atas meja, membukanya, di dalamnya berisi aneka lembaran kertas penting. Di ambilnya selembar cek bernilai milyaran rupiah, diserahkan kepada Brigjend Nata dengan bahasa tubuh mengancam.
“ Kasus runtuhnya rumah susun dua tahun lalu, yang sengaja kau jungkirkan kebenarannya, aku tahu detil-detilnya, karena pengembangnya meminjam uang padaku untuk menyuapmu waktu itu, ha ha ha”
Brigjend Nata tertawa bercampur menangis menanggapi keterangan marabahaya dari Direktur Baktianto.
*****
Penggalan Headline Harian Top Berita 24 Maret 2014
Nyonya Kirmizi, 37 tahun, istri Direktur PT. Berlian Megah, yang tertangkap pasukan Jago Cinta pada 13 maret 2014, ternyata menjadi korban penculikan 2 orang pria yang bersamanya waktu itu. Hal ini terungkap berdasarkan penyidikan intensif yang dilakukan polisi. Kepada polisi, nyonya Kirmizi mengaku dia diculik pada saat berjalan melintasi terminal Beruang, sepulang shoping pada 12 maret pukul 17. Oleh penculiknya dia langsung dibawa ke losmen Sedap Dewi menggunakan pick up sewaan.
Dibawah ancaman dan pengaruh obat perangsang yang disuntikkan ke tubuhnya, nyonya Kirmizi dipaksa melakukan permainan trio kuda lumping yang sangat tidak manusiawi.
Pada edisi sama, halaman tiga Top Berita diberitakan :
Direktur PT. Berlian Megah Baktianto, dalam keterangan persnya kepada wartawan mengatakan, mengutuk habis-habisan aksi penculikan disertai pelecehan seksual kepada istrinya. Tak lupa beliau memberikan apresiasi kepada kepolisian yang sukses dengan gerakan pasukan Jago Cintanya.
Secara bijaksana, beliau menekankan bahwa musibah yang menimpa istrinya adalah sebuah cobaan yang menguji keteguhan rumah tangganya. Musibah ini sedikitpun tak mampu mengurangi besarnya cinta Direktur Baktianto kepada sang istri.
Dengan kebesaran jiwa, beliau memaafkan dua penculik istrinya, melimpahkan sepenuhnya penyelesaian kasus ini kepada kepolisian dan pengadilan.
*****
Ombak pantai Patayya geraknya landai hari ini. Langit bersih tanpa awan membuat matahari bahagia memancarkan energi kehidupan. Gadis-gadis berbikini dari berbagai bangsa, menjadi hiasan paling mempesona, kulit warna-warni mereka memberi kabar kepada semua, bahwa keindahan dunia sumbernya adalah perbedaan.
Kulit kuning, kulit cokelat, kulit merah, kulit hitam, kulit putih, membuat hamparan pasir putih pantai kebanggan Thailand berubah menjadi maha kanvas yang menampung porselin, safir, batu delima, serta emas. Membentuk untai sketsa super pesona. Karena siluet-siluet mulia itu meliuk-liuk laksana tubuh Monalisa dalam rupa-rupi ras dunia.
Brigjend Nata Deniswara bersama istri serta 2 puteranya turut menyemarakkan meriahnya Patayya. Istrinya yang masih ramping itu mengenakan bikini biru dengan hiasan kembang kemuning, sibuk bermain-main ombak. 2 puteranya yang berusia 10 tahun dan 14 tahun asyik mengumpulkan pasir, untuk membuat bangunan ruang angkasa masa depan, karena bagi mereka istana pasir tak layak dibuat.
“ Imajinasi stagnan “, kritik rutin sang ayah pada bangunan istana pasir.
Nata merebahkan badan kekarnya yang mulai luntur tak jauh dari kedua puteranya. Sesekali memuji maupun mengkritik, dua puteranya kadang mendebat masukan maupun pujian sang ayah.
Karakter 2 puteranya ini mengingatkannya pada sosok muda Baktianto, Direktur Utama PT. Berlian Megah, yang tak lain teman SMAnya dulu.
Baktianto adalah murid jenius kebanggan SMA Perwira Bangsa, tempat Nata menimba ilmu pula. Kompetensi ilmu eksakta maupun lomba kreatifitas teknologi selalu ditaklukkannya dengan gampang. Sekolahnya menuai bermacam-macam gelar terpuji selama Baktianto menimba ilmu di sana.
Selain jenius, Baktianto memiliki idealisme maha tinggi, yaitu melebarkan wilayah Indonesia ke luar bumi. Karakternya pemberani serta egois dalam mempertahankan pemikir-pemikirannya yang mana seringkali bertentangan dengan nilai-nilai yang di anut masyarakat pada umumnya.
Kelemahan terfatalnya adalah kemiskinannya. Ayahnya penggali sumur, yang merangkap buruh tani musiman, mengalami kecelakaan tertimbun sumur yang baru digalinya, karena tanah yang digalinya waktu itu berada di sebuah bukit yang rawan longsor.
Ibunya sebatas buruh tani musiman saja, semakin tertatih-tatih menghidupi Baktianto dan 3 orang adiknya yang masih kecil sepeninggal ayahnya. Walau begitu, ibunya mampu membiayai pendidikannya sampai SMA. Diapun tak tanggung-tanggung, menebus pengorbanan sang bunda dengan NEM tertinggi tingkat propinsi.
Secara keji, kesenjangan sosial negeri ini membunuh impian sang bintang cemerlang. Dia campakkan kejeniusannya di lorong-lorong pengap terminal, areal pembangunan, serta jalanan, demi hidup ketiga adiknya. Di sanalah dia belajar kekejaman. Dasar jenius, trik-trik kejipun tetap membuatnya seorang maestro. Salah satunya adalah ketua pengedar mafia tingkat dunia, yang disegani banyak pejabat dari berbagai negara maupun mafia-mafia berkelas internasional.
Brigjend Nata menilai bahwa jalan hidupnya biasa dan datar dibandingkan dengan Direktur Baktianto. Seperti samudera dan comberan perbandingannya. Nata mampu menjadi polisi karena ayahnya mampu membelikannya peluang, tanpa tes otak dan tes fisik.
Hpnya berdering uring-uringan, Nata menyapa dengan irama meriang.
“ Nata, aku adalah matahari, kau adalah planetku yang paling kerdil, kehidupanmu sungguh tergantung padaku, namun aku selalu baik padamu “
“ Ya Dewa Putaw yang hebat “
“ Preman terminal itu memiliki seorang anak lelaki dengan wanita tukang cuci. Hidup wanita dan anak itu menjadi tak karuan pasca tertangkapnya si preman. Sekarang wanita itu hendak menjual anaknya kepada tengkulak cacing. Aku minta padamu, angkat anak itu menjadi anak asuhmu, karena dia anak pintar, lebih cerdas dari kedua anakmu “
“ Saat kau melaksanakan permintaanku ini, dengan senang hati aku akan mengirimkan beberapa wartawan untuk mengekspos aksi muliamu itu “
“ Oke oke “, jawab Brigjend Nata tanpa berpikir, mematuhi instruksi Direktur Baktianto yang dipastikan mampu memoleskan citra brilliant padanya. NK. Sari.
Tamat
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H