Mohon tunggu...
Komalasari Mulyono
Komalasari Mulyono Mohon Tunggu... lainnya -

F

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Indonesia Lebih Manusiawi Daripada Macau

24 Desember 2011   01:45 Diperbarui: 25 Juni 2015   21:49 533
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Berpapasan dengan tetangga kiri kanan di sini, cuek. Saling sapa sepertinya tak biasa. Apalagi saling tolong menolong. Berbeda jauh dengan kampung saya di Indonesia sana. Setiap hari antar tetangga selalu hangat. Saling tolong menolong adalah biasa bahkan kebiasaan. Tetangga hajatan maupun tetangga terkena musibah kita semua akan datang ramai-ramai membantu tanpa mengharapkan pamrih.

Sungguh berbeda, bagai lembah dan cakrawala situasi kedua negeri yang sempat saya tinggali ini. Inilah sederetan pengalaman yang saya alami di sini yang benar-benar semakin memupuk kecintaan saya kepada Indonesia.

Pengalaman pertama

Saat itu musim dingin, bulan februari, malam pukul 8. Saya dalam perjalanan pulang dari kerja. Turun dari bus dan menyusuri trotoar menuju rumah. Beberapa langkah berjalan, mata saya menangkap sosok kakek tua kira-kira berusia 70 tahun, berjalan sempoyongan, mulutnya merintih-rintih tak jelas, tubuhnya saya lihat terkadang bergetar. Saya perhatikan, semua pejalan kaki yang berjalan lalu lalang tak peduli. Kakek itupun akhirnya limbung, cepat-cepat saya melompat sekuat tenaga menahan tubuh renta sang kakek, mencegahnya jatuh berdebum ke lantai trotoar yang keras. Kakek ini pingsan, masih juga tak ada yang peduli. Panas sekali badannya.

Tenyata jaket yang dikenakan kakek ini jahitannya rusak sana sini. Orang-orang yang lewat melihat saya dengan mengernyitkan dahi serta dengan pandangan aneh. Saya mencoba memanggil mereka untuk menolong, tapi tak ada yang mau. Aneh sekali sikap mereka bagi saya yang terbiasa dengan budaya tepo seliro ( tenggang rasa ) di negeriku. Saya lepas jaket saya, menyelimutkannya pada tubuh kakek ini.

Seorang ibu mendekati saya. " Mui (panggilan anak perempuan) kok maunya repot-repot, panggil saja polisi". Sayapun langsung menelpon polisi. Tak berapa lama polisi datang. Mereka semua heran melihat saya. Banyak kata terimakasih yang diucapkan oleh 3 orang polisi itu. Menanyakan negara saya mana. Aneka pujian dari polisi-polisi Macau ini dipersembahkan untuk Indonesia.

Kejadian Kedua

Di pagi hari, beberapa tahun ke depan. Saat saya berangkat bekerja. Di suatu tempat bus yang saya tumpangi berhenti dalam waktu yang lama, karena ada kecelakaan lalu lintas. Saya mencoba melihat ke depan, menembus kerumunan masa yang membentuk lingkaran, menyaksikan korban tergeletak di tengah jalan. Semua penumpang dilarang keras turun, karena di Macau kalau naik kendaraan umum hanya di bus stop penumpang boleh turun. Pintu bus terkunci secara otomatis dan rapat.

Pelan-pelan dan agak susah, akhirnya mata saya menangkap sosok korban kecelakaan yang ternyata adalah seorang wanita muda, di kaki dan kepala tetesan darah terlihat, ngeri. Wanita ini bergerak-gerak sedikit, kadangkala. Tak ada satupun orang yang menonton menolong. Ah, lagi-lagi menunggu polisi. Tak tahan saya dekati sopir, minta turun untuk meringankan beban wanita itu. Sopir menolak keras permintaan saya. Semua penumpang menghujani saya dengan pandangan heran.

Lama polisi datang, ketika polisi beserta ambulan tiba, wanita ini sudah tak bergerak. Ntah pingsan ntah yang lainnya.

Kejadian ketiga

Saat saya jalan-jalan di sekitar Senado Square, pusat jalan-jalannya warga Macau. Sedang asyiknya menikmati suasana Mediterania yang di dominasi warna pastel area ini, mata saya menangkap kerumunan masa, mengerubuti sesuatu. Ternyata ada seorang wanita muda pingsan.

Kerumunan masa hanya menonton. Kalau sudah puas menyaksikan sosok tergeletak tak berdaya ini, mereka satu persatu pergi dengan ekspresi datar-datar saja. Lagi-lagi tugas polisi menurut mereka. Benar-benar program hidup ala robot. Kaku.

Walaupun Indonesia digempur silih berganti dengan kasus korupsi, pertikaian dan kejahatan yang meningkat tajam, satu hal ciri khas budaya agung bangsa ini yang masih terasa, yang tak dimiliki lagi oleh negara paling majupun di dunia ini. Yaitu budaya saling mengasihi dan tolong menolong.

Semua orang dari berbagai bangsa yang pernah bercakap-cakap dengan saya , mengatakannya, bahwa ketika mereka datang ke Indonesia , hal yang paling membuat mereka terkesan adalah keramah- tamahan serta sikap ringan dalam memberikan pertolongan tanpa memandang ras maupun lain-lainnya.

Era digital jangan sampai membuat kita menjadi manusia digital. Karena ke-digital-an adalah ciptaan manusia. Maka kitalah yang harus smart memonitornya, bukan kebalikannya, ke-digital-an memonitor kita.

Benih-benih digital memonitor kita mulai tumbuh, ditandai dengan sikap egoisme yang ujungnya adalah depresi, bunuh diri serta kejahatan kejahatan yang bermacam -macam. Mulai mengikis kebutuhan dasar manusia yang bernama kasih sayang, yang hanya bisa didapatkan melalui tegur sapa, saling jabat, saling peluk serta saling mengisi.

Telah tertuang dalam lagu INDONESIA TANAH AIR BETA adalah PUSAKA ABADI NAN JAYA YANG SELALU DI PUJA-PUJA BANGSA bagaimanapun keadaan dan bentuk INDONESIA. Bangga menjadi orang INDONESIA.

Salam. NK. Sari.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun