Sebagai ibu dari 3 anak, dengan bungsu yang spesial. Saya menyadari, bagi kedua anakku yang lain, pastilah tidak mudah. Tekanan dan penolakan dari masyarakat, karena tingkah saudara kandungnya yang spesial, seringkali cukup membuat mereka merasa tak nyaman.
Kejadian di sebuah toko penyedian peralatan hobi adalah salah satunya. Â Si bungsuku.. marah, menjerit dan menangis, karena ia tidak mendapatkan apa yang ia inginkan. Yah... jika yang melakukan sikap-sikap demikian balita, mungkin tanggapan orang atas bungsuku, lebih bisa diterima. Tetapi jika yang melakukan ini, anak pra remaja, dengan badan yang cukup berisi.. O la la... Saya bisa melihat.. rasa malu yang tergores di wajah kedua anakku yang lain. Â Keduanya berpindah ke sudut toko...
Memiliki saudara kandung spesial, untuk kedua anakku yang lain, Â memang seolah-olah diposisikan untuk lebih memiliki tengang rasa. Dalam hal berbagi perhatian, waktu, dan dana. Ada saatnya mereka juga harus mengorbankan apa yang mereka miliki untuk sauadara kandung tercinta, lebih daripada persaudaraan diantara anak-anak lainnya. Ketika barang kesayangan miliknya dirusakkan oleh sang adik. Ketika mereka harus merelakan waktu luang mereka, untuk mengasuh sang adik. Â Dan, saya pun seringkali harus, meperbesar tuntutan. Meminta mereka untuk mengabaikan apa yang mereka rasakan. Rasa kecewa mereka. Rasa sedih mereka. Harapan-harapan mereka. Hufft saya memang merasa bersalah dengan hal-hal demikian.
Sebagaimana orang tua-orang tua lainnya, yang dikaruniai anak spesial, saya menyadari adanya kesenjangan diantara anak-anakku, ditambah dengan rasa bersalahku, saya pun melakukan berbagai kompensasi. Â Kompensasinya, bisa berbagai macam hal. Mulai dari menyediakan waktu khusus bersama anak-anak yang lain, tanpa kehadiran bungsu spesialku. Hingga membelikan benda-benda tertentu, yang menurutku tidak memiliki nilai manfaat yang besar. Seperti HP dengan banyak fitur, padahal, ia menggunakan fitur-fitur tersebut hanya untuk "having fun". Â Memang saat melakukan, saya berharap, dengan kompensasi-kompensasi yang kulakukan kesenjangan itu dapat kuperkecil. Ternyata, sebaliknya, kompensasi tersebut malah berakibat memperbesar kesenjangan. Â Sifat ingin mendapat lebih dan memanfaatkan rasa bersalahku, menjadi alasan mereka untuk lebih bisa mendapatkan apa yang mereka mau. Ujung-ujungnya, kehadiran saudara kandung spesial, menjadikan anak-anak yang lain, menjadi anak-anak spesial juga.
Pengalaman itulah, yang kemudian, membuat saya berkeyakinan, bahwa penerimaan utuh kepada saudara kandung spesial, lebih diutamakan meningkatkan kepada hubungan yang baik diantara mereka. Membina dan meningkatkan kontak tulus diantara mereka. Memang sulit dan perlu proses panjang untuk membuat anak-anakku lapang dada dalam situasi sulit bersama saudara kandung spesialnya. Dan tak dapat dikompensasikan dengan benda-benda lainnya. Tetapi, jika terus diasah, diberikan dukungan dan empati dari orang tua serta masyarakat disekitarnya, insya Allah akan terbina.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H