Bagi orang awam seperti saya, memilih daging sapi yang cocok untuk membuat hidangan tertentu sungguh membingungkan. Waktu saya ingin membuat bakso, ada yang menyarankan agar saya menggunakan daging paha sapi. Tapi penjual daging menyarankan menggunakan sengkel. Nama yang masih asing di telinga saya. Untung saja suami suka memasak, walaupun dia jarang masak daging. Maka mulailah kami mencoba-coba memasak berbagai macam hidangan berbasis daging sapi. Sejak itu saya mulai mengenal nama bagian-bagian daging sapi seperti has dalam, has luar, sengkel, gandik, sirloin, tender loin dan sebagainya. Cuma kadang bingung juga nih, karena ada yang memakai istilah Indonesia, tapi ada juga istilah Belanda dan Inggris.
Harga daging sapi di Indonesia, terutama di ibukota, sekarang cukup tinggi dan tidak stabil. Mencapai 120 ribu rupiah per kilogram. Ini tentu sangat memberatkan konsumen. Bukan saja konsumen rumah tangga, tetapi juga para pedagang makanan yang menggunakan daging sapi sebagai bahan dasarnya. Seperti penjual bakso, soto, martabak dan lain-lain. Oleh karena itu, sekarang pemerintah menggelar berbagai macam upaya untuk menstabilkan dan menurunkan harga daging sapi agar lebih terjangkau oleh masyarakat umum.
Apa saja upaya itu?
Mari kita simak penjelasan Menteri Perdagangan Thomas Embong. Beliau menjadi narasumber dalam acara Kompasiana Nangkring bertema “Daging Sapi: Beda Potongan, Beda Harga” yang diselenggarakan pada 22 juni lalu.
Di pasaran sekarang ada berbagai kategori daging. Yang pertama adalah primary cut Harganya mencapai 120 ribu rupiah sampai 130 ribu rupiah per kilogram. Kemudian ada secondary cut Tipe A dan Tipe B dengan kisaran harga antara 80 dan 115 ribu rupiah per kilogram. Selanjutnya ada daging industri berupa tetelan dan daging giling dengan harga atara 40 dan 60 ribu rupiah per kilogram. Lalu ada pula daging buntut dan kepala dengan harga 65 sampai 100 ribu rupiah per kilogram. Selain itu ada jeroan dengan harga 30 sampai 40 ribu rupiah per kilogram.
Mengapa harga berbeda?
Mengkonsumsi daging sapi tujuan utamanya adalah untuk memenuhi kebutuhan protein. Dan semua daging sapi dari bagian mana pun mengandung protein sama banyaknya. Harga berbeda karena perbedaan kelembutan otot-ototnya. Misalnya, has dalam dan has luar mempunyai jaringan otot yang paling lembut sehingga mudah matang jika di masak. Maka haganya termasuk yang paling mahal. Biasanya dimasak sebagai steak. Lalu ada sandung lamur. Bagian daging ini agak berlemak dan banyak dipakai dalam masakan Padang. Sedangkan bakso, soto, dan sup biasanya menggunakan sengkel, daging yang diambil dari kaki bagian atas depan.
Memenuhi kebutuhan akan daging sapi merupakan tantangan tersendiri bagi Kemendag (Kementrian Perdagangan) . Solusinya adalah membuat harga sapi stabil dan wajar di pasaran. Pemerintah mengupayakan agar harga daging sapi jenis secondary cut berkisar antara 80 ribu dan 90 ribu rupiah per kilogram. Untuk jangka pendek, bukan solusi permanen, pemerintah berusaha menekan harga daging melalui operasi pasar dengan menyediakan daging beku. Daging beku biasanya diimpir. Dibanding daging sapi lokal, daging impor lebih murah karena di negara asalnya proses pemotongan dan pengolahannya sudah sangat modern dan cepat sehingga mengurangi biaya produksi. Sedangkan harga sapi dalam negeri termasuk mahal karena pengolahannya belum efisien dan rantai distribusinya terlalu panjang. Selain itu, karena beku daging menjadi lebih tahan lama, bisa sampai berbulan-bulan. Sedangkan daging segar hanya tahan beberapa hari saja. Tapi harus diingat bahwa impor daging adalah langkah terakhir atau darurat. Tujuan jangka panjang Kemendag adalah swasembada daging sapi agar kebutuhan gizi masyarakat terpenuhi. Yang selanjutnya, meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Perlu pula diingat bahwa kandungan gizi pada semua kategori daging itu sebenarnya sama. Bedanya, semakin lembut potongan daging, semakin mahal harganya.
Untuk mencapai swasembada daging diperlukan waktu yang tidak singkat. Perlu waktu sekitar sepuluh tahun untuk mencapainya. Tapi Kemendag berharap kita dapat mencapainya dalam waktu tujuh tahun saja. Menurut Bapak Lembong, Kementrian Perdagangan tidak bisa melakukannya sendiri, melainkan harus bekerja sama dengan kementrian lain serta seluruh jajaran masyarakat.