Mohon tunggu...
huru huru
huru huru Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Money

Urgensi Bukti Audit

24 Februari 2017   04:14 Diperbarui: 24 Februari 2017   14:00 213
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Pada tahun 2016, pemberitaan tentang pajak yang cukup ramai adalah perpajakan Google, Facebook dan Twitter. Laman kementerian keuangan pun juga turut memberitakan hal tersebut dengan judul " DJP Akan Periksa Kewajiban Pajak BUT Google, Facebook dan Twitter" sebagai berikut:


Jakarta, 07/04/2016 Kemenkeu - Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan telah menemukan bukti kuat ada empat unit usaha (berbentuk Perseroan Terbatas, Representative Office, atau orang pribadi), yang sebelumnya tidak mendaftarkan unit usaha tersebut sebagai Bentuk Usaha Tetap (BUT). DJP akan melakukan penelitian serta pemeriksaan atas kewajiban perpajakan atas penghasilan yang diperoleh dari Indonesia, dari BUT milik Google, Facebook dan Twitter.
Seperti dilansir dari Keterangan Pers DJP, Kantor Pelayanan Pajak Badan dan Orang Asing (KPP Badora) juga telah menetapkan satu badan yang kedudukannya tidak bebas, di mana menjalankan usaha sebagai agen pemasaran jasa kesehatan/ perawatan dari Rumah Sakit di Luar Negeri. Namun, perusahaan tersebut dengan sengaja tidak melaporkan usahanya sebagai BUT untuk menghidari penghasilan kantor pusat di luar negeri ditarik menjadi penghasilan di negeri sumber, dalam hal ini penghasilan yang diperoleh di Indonesia (force of attraction rule).
Menurut Menteri Keuangan Bambang P.S. Brodjonegoro, dalam G20 juga telah disebutkan bahwa ekonomi digital harus ikut memberikan manfaat bagi tuan rumah. “Yang kita tidak mau itu adalah mereka mengabaikan kewajiban bayar pajak di Indonesia, dan hanya menguntungkan negara asal. Dasarnya digital economy di G20, kalau anda mendapat manfaat suatu negara, pajaknya harus datang ke negara tersebut," tegas Menkeu di Kantor DJP, Jakarta pada Rabu (06/04).
Sebagai informasi, pemajakan terhadap WP Luar Negeri dapat dibedakan kepada mereka yang memperoleh atau menerima penghasilan dari: (1) menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia (WP PMA); (2) mengoperasikan anak perusahaan di Indonesia, atau (3) WPLN yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia melalui BUT.

(http://www.kemenkeu.go.id/Berita/djp-akan-periksa-kewajiban-pajak-google-facebook-dan-twitter)

Pemberitaan tersebut menunjukkan pentingnya bukti kuat dalam pemeriksaan yang dalam hal ini adalah pemeriksaaan pajak. Pemeriksaan pajak adalah serangkaian kegiatan menghimpun dan mengolah data, keterangan, dan/atau bukti yang dilaksanakan secara objektif dan profesional berdasarkan suatu standar pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dan/atau untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Terdapat pengaturan tentang pemeriksaan pajak, antara lain bahwa pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan harus dilaksanakan sesuai dengan standar pemeriksaan, meliputi standar umum pemeriksaan, standar pelaksanaan pemeriksaan, dan standar pelaporan hasil pemeriksaan. Salah satu standar pelaksanaan pemeriksaan adalah "temuan hasil pemeriksaan harus didasarkan pada bukti kompeten yang cukup dan berdasarkan ketentuan peraturan perundangundangan perpajakan".

Bukti kompeten adalah bukti yang valid dan relevan dengan tetap mempertimbangkan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha atas transaksi Wajib Pajak yang memiliki hubungan istimewa. Bukti audit dalam pemeriksaan pajak dianggap kompeten apabila bukti tersebut valid dan relevan. Bukti yang valid berarti bukti tersebut dapat diandalkan untuk menyimpulkan suatu fakta. Tingkat validitas bukti dipengaruhi oleh 3 (tiga) faktor, yaitu: independensi dan kualifikasi sumber diperolehnya bukti, kondisi bukti diperoleh, dan cara bukti diperoleh. Sementara itu, bukti yang relevan berarti bahwa bukti tersebut harus berkaitan dengan pos-pos yang akan diperiksa sebagaimana tercantum dalam program pemeriksaan.
Selain kompeten, suatu bukti harus cukup. Bukti yang cukup adalah bukti yang memadai untuk mendukung temuan hasil pemeriksaan. Kecukupan tersebut terkait dengan pertimbangan profesional (professional judgement) pemeriksa pajak.

Sebagai penutup, pemeriksaan yang didasarkan pada bukti kompeten yang cukup akan menaikkan kualitas pemeriksaan. Selain itu, bukti audit selama pemeriksaan pajak dapat menjadi alat bukti dalam persidangan sengketa pajak.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun