Jogja, atau Yogya, atau Yogyakarta, atau Daerah Istimewa Yogyakarta, atau Ngayogyakarta Hadiningrat, adalah sebuah kota yang-saya yakin-hampir semua orang Indonesia tahu tentang tentang kota ini. Kota dimana biasanya orang menyebutnya dengan “Indonesia kecil” karena penduduknya berasal hampir dari seluruh Indonesia, dari Sabang hingga Merauke. Juga disebut kota pendidikan karena banyaknya kampus-kampus yang berdiri megah di kota gudeg itu. Kota budaya karena inilah salah satu kota yang tetap menjaga tradisi dan budaya Jawa dimana keraton sebagai penopang utama kebudayaan itu. Dan juga julukan lainnya untuk kota yang istimewa itu.
Istimewa mengapa? Selain karena namanya yang memang sudah istimewa dimana sistem pemerintahannya tidak menyelenggarakan pemilihan gubernur dan wakil gubernur seperti daerah-daerah lainnya, juga banyak teman-teman saya-termasuk saya-yang menyimpan kenangan tersendiri di kota Jogja itu. Apapun itu, entah perjuangan hidupnya, entah kenangannya ketika masih belajar di Jogja, ataupun tentang pencarian cinta di kota sekaten itu, semuanya mengesankan.
Sepanjang pengetahuan saya, beberapa teman saya merasakan ada kebanggaan tersendiri ketika berkunjung ke kota Jogja. Saya tak tahu mengapa, tapi saya yakin semuanya akan sepakat jika saya mengatakan Jogja memang istimewa.
Beberapa waktu lalu, kembali saya mengunjungi kota yang sampai saat ini masih nyantol di mimpi saya karena saya ingin sekali mencicipi bagaimana rasanya bermukin di kota itu barang satu tahun atau dua tahun. Tempat yang biasa saya tuju tentu indekos teman saya yang berada di jalan Kaliurang bagian atas. Tujuan saya mengunjungi Jogja kemarin tak begitu penting untuk dibagi di sini, tapi masya Allah, kemajuan Jogja begitu terasa. Bagaimana tidak, selain beberapa jalan layang yang baru saya jumpai, juga banyaknya apartemen-apartemen yang menjulang tinggi di beberapa ruas jalan.
Entah mengapa, bukannya senang malah saya sedih melihat banyaknya apartemen yang mulai memadati sendi-sendi kota Jogja. Mungkin ini bagus untuk perekonomiannya, tapi saya lebih melihatnya dari sisi komposisi masyarakat yang ada. Kota Jogja sebagai kota budaya seakan terancam eksistensinya secara perlahan walaupun saya sadar analisis saya mungkin terlalu berlebihan.
Terancam esksistensinya? Ya. Saya melihat adanya ketidakseimbangan antara bangunan apartemen yang tinggi menjulang lalu di sekitarnya banyak masyarakat kota yang taraf perekonomiannya masih sedang-sedang saja. Tak menjadi soal memang, tapi ini masalah kesemrawutan kota. Betapa beberapa tahun lagi-bahkan sekarang pun sudah mulai-mungkin Jogja akan masuk sebagai kota termacet di Indonesia karena banyaknya pendatang yang menghuni kota itu. Ada semacam ketidak-sreg-an di hati saya sebagai orang yang juga sangat bangga dengan kota Jogja walaupun saya bukan penduduk Jogja.
Satu lagi yang membuat saya mengelus dada adalah adanya tempat hiburan di depan Puro Pakualaman. Saya tidak tahu bagaimana itu proses terbentuknya dulu, tapi yang jelas, bagi saya, lagi-lagi, ada rasa yang tidak seimbang dimana di satu sisi, pusat kebudayaan tetap dipertahankan, tetapi di sisi lain, media hiburan yang menawarkan kemodernan hidup tersaji begitu jelas.
Ini bukan kritik, hanya unek-unek untuk kota yang menyimpan sejuta makna bagi banyak orang. Dan memang beberapa teman saya juga “mengeluhkan” kondisi Jogja yang semakin metropolitan itu. Seorang penjual nasi goreng di Jogja yang sejak lahir sudah tinggal di Jogja berujar pada saya, “Sekarang mas... Penduduk asli Jogja sudah mulai minggir dari kota”. Bukan lain karena semakin sempitnya ruang gerak di kota Jogja dan semakin metropolitannya kota itu.
Saya sepakat bahwa ini bukan kesalahan penuh pemerintahannya, melainkan semua pihak juga berperan. Banyaknya orang datang ke kota itu tentu menguntungkan bagi perekonomiannya, tetapi tentang kenyamanan penduduknya, itu yang perlu diperjuangkan. Untunglah keraton masih tetap eksis mempertahankan ke-Jawa-annya hingga saat ini. Seakan tumpuan itu ada pada tubuh keraton sebagai pemangku utama bumi Jogja, bahkan Indonesia.
Terlepas dari itu semua, Jogja bagi saya tetap istimewa. Saya sepakat dengan pitutur teman saya, “kamu pasti ada perasaan senang kan ketika mulai memasuki kota Jogja walaupun itu masih batas provinsi di daerah Wates sana?”. Saya meng-iya-kan dan memang saya juga merasakannya. Perasaan bahagia mendesir dalam tubuh saya ketika melihat tulisan “Selamat datang di Yogyakarta”. Ada kekuatan magis tertentu yang menarik saya untuk tetap tinggal di dalamnya. Ups, jangan langsung menuduh ini klenik, tapi rasakanlah perasaan itu. Atau apabila kita akademis, pelajarilah itu. Ada apa dengan Jogja? Mengapa beberapa orang jatuh cinta pada Jogja?
Maka, mari jangan biarkan keistimewaan Jogja di benak hati masing-masing dari kita tergerus oleh hingar-bingar kemodernan yang tak bertanggungjawab. Perlu ada suatu upaya sistematik untuk menjaga perdamaian kota Jogja karena Jogja kini sedang dalam incaran kepentingan orang tak bertanggungjawab yang ingin menghancurkannya. Tak usah bertanya siapa dan bagaimana, tapi lihatlah saja gejalanya.
Nah, bagi teman saya yang di Jogja, titip salam saya untuk Jogja ya... Titip salam enggak bayar kaya titip doa kan? Hehe...
Cilacap, 3 Januari 2014
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H