Mohon tunggu...
Dipananta
Dipananta Mohon Tunggu... Buruh - manusia menulis

belajar untuk menulis untuk belajar

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Skena-Skeni | Tanggapan pada Tulisan Skena

4 November 2023   12:52 Diperbarui: 4 November 2023   12:56 79
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Tulisan dari Audinanto ini mengingatkan tren beberapa waktu lalu soal kata skena yang maknanya jadi belok-belok dan bengkok. Terima kasih, pertama-tama, tulisan ini memantik bara keresahan yang terlupakan. Kata 'skena' tiba-tiba trending akibat konten yang menghibur di media sosial.

Penjelasan makna tentang skena sudah dijelaskan di tulisannya di  sini. Pergeseran makna yang terjadi juga sudah terjelaskan dalam gambaran tentang kemiripannya dengan konsep komunitas. Ketertarikan yang sama adalah inti dari keduanya.

Kalau dari pencarian bebas di google, arti kata skena sendiri lebih mengerucut ke sebuah kumpulan orang yang suka nongkrong, berjalan dan bercengkrama bersama-sama. Saya rasa tanpa kesamaan nilai atau ketertarikan atau kepentingan hal ini juga minim kemungkinan, sama juga dengan komunitas. 

Yang baru buat saya adalah informasi tentang sosok yang mencetuskan tren skena ini dahulu adalah seorang yang aktif sebagai penggebuk drum di sebuah grup bernama Piston. Kini ia menjadi seorang pelawak dan pembuat konten. Saya sendiri hanya dua kali melihat kontennya, karena penasaran saat kata skena trending, dan lalu memutuskan untuk menyembunyikan akunnya, karena kurang menikmatinya. Saat mengetahui informasi masa lalu ini, saya teringat dengan fenomena anak populer dan anak kurang populer yang tergambarkan di film-film. 

Anak populer biasanya digambarkan ideal, keren dan menjadi idola. Sedang anak yang tidak populer di sekolah digambarkan dengan karakter kurang menonjol, seringkali dirundung, atau sakit hati karena perbuatan anak populer. Anak yang kurang populer juga seringkali mencoba dengan berbagai cara untuk menjadi keren. Mungkin dengan masuk tim olahraga atau komunitas yang dianggap keren. 

Hingga suatu ketika, dengan cara entah apa, si anak tidak populer ini mendapat perhatian dari orang-orang yang tidak populer juga dalam jumlah banyak. Pada akhir film, anak populer dan anak tidak populer menemukan caranya masing-masing dalam hidup. Hanya saja, sakit hati karena gagal menuju apa yang dianggap keren itu tidak tercapai. Entah mengapa bayangan ini muncul dalam benak saya sesaat setelah membaca tulisan ini.

Lalu sambil minum kopi americano dengan duduk bersilang di bangku dengan baju artsy hasil lukisan seorang seniman asal bekasi, celana linen, dan sepatu boots,  saya berpikir lagi berlandaskan bayangan tersebut. Kalau, hanya kalau, itu memang benar. Berarti ini kejadian skena yang tiba-tiba naik ini adalah soal ketidakcocokan nilai yang berasal dari modal budaya, sosial dan ekonomi seseorang. Dan menyangkut juga dengan dorongan seseorang untuk terus membuat karya yang membuatnya memiliki audiens.

Jadi, kurang lebih begini, misalkan saya yang dahulu pernah satu grup musik dengan si penulis yang saya tanggapi. Katakanlah lalu, saat itu saya mencoba masuk ke dalam skena musik, lalu saya merasa kurang bisa berbaur karena nilai yang saya bawa itu berbeda. Jujur, saya sangat memikirkan uang, modal budaya saya kurang minim. Saya mundur dan masuk ke skena lain, belajar berargumen, lalu saya berargumen tentang konyolnya bermusik dan kehidupan dalam skena yang bla bla bla. Saya bisa berargumen bahwa gitar gibson SG itu tidak mirip dengan trisula setan, lebih mirip dayung kan? Terlalu ringan juga gitar itu, hanya seberat tiga nampan potong bawang. Bisa kan? 

Dan lalu, awalnya saya menyalurkan argumen, ternyata argumen itu mewakili perasaan orang lain yang pernah merasakan apa yang saya rasakan. Tidak cocok dengan satu skena lalu mundur. Mirip dengan gambaran anak yang tidak populer di awal. Lalu dengan argumen yang telah mewakili perasaan itu, terbentuklah audiens atau, kerennya, penikmat. Karena saya tahu benar ada kenikmatan dalam keterwakilan perasaan, apapun perasaan itu. Dan zaman sekarang, audiens adalah uang. Maka jadilah peluang ekonomi, jadi jangan sampai terlewat, eksploitasilah. 

Namun, tulisan ini hanya ejawantah dari bayangan yang asal-asalan yang muncul  dan terpantik oleh tulisan Audinanto. Saya hanya seorang karyawan yang tidak mengusahakan apa-apa selain mencoba menjelaskan apa yang saya pikirkan sebagai pendapat, tapi memang sempat resah soal tren ini. Semoga tulisan ini bisa berguna. Setidaknya dari bayangan ini ada pola yang bisa tertangkap untuk pencobaan menciptakan peluang, pasar dan taraf ekonomi yang lebih baik. 

Dipananta, 4 November 2023

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun