Perempuan, sejak dulu hingga kini, sering kali dipandang sebagai pihak yang lemah dan subordinat di tengah masyarakat. Banyak dari mereka hidup dalam bayang-bayang diskriminasi, pelecehan, dan kekerasan. Baik dalam ruang privat maupun publik, perempuan kerap menjadi sasaran kekerasan fisik maupun seksual yang tak jarang disembunyikan di balik tirai norma sosial atau dianggap tabu untuk diperbincangkan. Fenomena ini bukan hanya melukai fisik, tetapi juga menghancurkan jiwa dan hak asasi perempuan sebagai manusia.
Fenomena ini tidak hanya terjadi di ruang publik, tetapi juga merambah ke ruang privat---tempat yang seharusnya menjadi benteng keamanan dan kenyamanan. Di rumah, perempuan sering kali menjadi korban kekerasan domestik yang meliputi pemukulan, pemaksaan hubungan seksual, hingga kekerasan verbal yang melukai batin mereka. Di tempat kerja, banyak perempuan yang mengalami pelecehan seksual atau diskriminasi gender, meskipun ada aturan yang melarangnya. Sementara di jalanan, ancaman pelecehan fisik dan catcalling menjadi makanan sehari-hari yang melukai martabat mereka.
- Mengapa Kekerasan Terhadap Perempuan Terjadi?
Kekerasan terhadap perempuan tidak muncul begitu saja; ia berakar dari pola pikir patriarki yang telah mengakar selama berabad-abad. Patriarki mendukung struktur sosial di mana laki-laki dianggap lebih dominan dan memiliki kekuasaan atas perempuan. Akibatnya, perempuan sering dianggap sebagai properti atau objek yang dapat dikontrol, dimiliki, atau bahkan dieksploitasi.
Dalam konteks ini, kekerasan terhadap perempuan sering kali dianggap sebagai "masalah pribadi" yang tidak pantas diintervensi oleh masyarakat. Bahkan, tidak jarang korban disalahkan atas insiden yang mereka alami---fenomena yang dikenal sebagai victim blaming. Sebagai contoh, dalam kasus pemerkosaan, masyarakat kadang bertanya, "Kenapa dia berpakaian seperti itu?" atau "Kenapa dia keluar malam?" Pertanyaan-pertanyaan ini mengabaikan fakta bahwa pelaku adalah satu-satunya pihak yang bertanggung jawab atas tindakannya.
Selain itu, norma sosial yang kaku dan kurangnya edukasi tentang hak asasi manusia turut memperparah situasi. Banyak perempuan tidak menyadari hak-hak mereka, sementara banyak laki-laki tidak pernah diajarkan untuk menghormati batasan pribadi orang lain. Ini adalah lingkaran setan yang harus diputus.
- Dampak Kekerasan terhadap Korban
Kekerasan, baik fisik maupun emosional, meninggalkan luka yang dalam. Secara fisik, korban kekerasan dapat mengalami cedera, penyakit, atau bahkan kematian. Secara emosional, kekerasan dapat menyebabkan trauma jangka panjang, seperti gangguan kecemasan, depresi, atau stres pascatrauma (PTSD). Selain itu, stigma sosial yang sering melekat pada korban membuat mereka enggan melaporkan kejadian tersebut, sehingga mereka terjebak dalam siklus kekerasan yang berulang.
Dampak kekerasan terhadap perempuan juga meluas ke tingkat sosial dan ekonomi. Perempuan yang menjadi korban kekerasan sering kali kehilangan produktivitas kerja, kesempatan pendidikan, atau bahkan kepercayaan diri untuk menjalani kehidupan yang mandiri. Dalam jangka panjang, ini berkontribusi pada ketimpangan gender yang semakin sulit diatasi.
- Siapa Yang Harus Menyuarakan Hal Ini?
Kekerasan terhadap perempuan bukanlah masalah perempuan semata; ini adalah masalah kemanusiaan. Setiap individu, terlepas dari gender, memiliki peran dalam menciptakan lingkungan yang aman dan setara. Kita bisa mulai dari hal kecil, seperti mendengarkan korban tanpa menghakimi, melaporkan kekerasan yang kita saksikan, atau menyuarakan isu ini di lingkaran sosial kita.
Perempuan adalah bagian penting dari masyarakat. Ketika perempuan terus menjadi korban kekerasan, kita kehilangan potensi, kekuatan, dan kontribusi besar mereka dalam membangun dunia yang lebih baik. Mari kita bergerak bersama, menghentikan kekerasan, dan menciptakan masa depan di mana perempuan bisa hidup bebas dari rasa takut.
Karena pada akhirnya, hak perempuan adalah hak asasi manusia. Dan membela hak tersebut adalah tanggung jawab kita semua.