Menurut Ricklefs (1978), Pemberontakan Trunajaya ini merupakan klimaks dari ketidakpuasan banyak pihak terhadap gaya pemerintahan Amangkurat yang keras dan otoriter.
Pemberontakan ini berhasil merebut banyak wilayah penting, termasuk ibu kota kerajaan, Plered, pada tahun 1677. Amangkurat I terpaksa melarikan diri dan mencari perlindungan pada VOC di Batavia. Kejadian ini menandai runtuhnya sebagian besar kekuasaan Amangkurat di Jawa, dan VOC semakin memperkuat pengaruhnya atas Mataram sebagai balasan atas bantuan militer yang diberikan.
Salah satu kebijakan Amangkurat I yang paling kontroversial adalah keputusan untuk melakukan pembunuhan massal terhadap para bangsawan dan ulama yang dianggap sebagai ancaman bagi kekuasaannya.Â
Pada tahun 1647, tak lama setelah ia naik takhta, ia memerintahkan pembunuhan terhadap ribuan orang yang terlibat dalam pemberontakan atau yang dia anggap berpotensi memberontak. Pembunuhan ini tidak hanya menargetkan lawan politik, tetapi juga para ulama yang memiliki pengaruh besar di masyarakat Jawa.
Menurut Ricklefs (2008), tindakan ini memperlemah dukungan terhadap Amangkurat I di kalangan bangsawan dan rakyat biasa, serta menciptakan ketidakstabilan politik yang berlarut-larut. Banyak yang menilai kebijakan tersebut sebagai bentuk paranoia politik, di mana Amangkurat I lebih mementingkan mempertahankan kekuasaan daripada memperbaiki kondisi sosial ekonomi kerajaan.
Dalam bidang agama, Amangkurat I memiliki hubungan yang rumit dengan Islam. Meskipun Mataram adalah kerajaan Islam, Amangkurat I sering kali bertindak bertentangan dengan ulama dan tradisi Islam yang kental di masyarakat Jawa.Â
Misalnya, ia sering mengabaikan nasihat para ulama dan bahkan melakukan tindakan yang dianggap melecehkan agama. Dalam catatan Lombard (2005), Amangkurat I juga mengusir banyak ulama dari keraton dan menggantikan mereka dengan penasihat yang lebih sekuler.
Tindakan ini membuat banyak ulama dan masyarakat Muslim di Jawa merasa terasing dari pemerintahan Amangkurat I, dan menyebabkan ketidakpuasan yang memuncak dalam pemberontakan seperti yang dipimpin oleh Trunajaya. Kegagalan Amangkurat I untuk merangkul kelompok agama penting ini mempercepat kehancuran stabilitas politik di Mataram.
Amangkurat I juga mewarisi sistem ekonomi yang rapuh. Meski Mataram pernah mencapai kejayaan ekonomi di bawah Sultan Agung, Amangkurat I tidak berhasil mempertahankan momentum ini. Penekanan yang berlebihan pada kontrol sentralistik dan kebijakan represif menyebabkan stagnasi ekonomi.Â
Perdagangan di wilayah pesisir Jawa yang dulunya dikuasai oleh pedagang lokal mulai dikuasai oleh VOC, yang semakin memperburuk keadaan.
Amangkurat I juga memberlakukan pajak yang berat pada rakyatnya untuk mendanai gaya hidup mewahnya dan upaya militer yang terus-menerus dilakukan untuk memadamkan pemberontakan. Kebijakan pajak yang keras ini menambah penderitaan rakyat, dan meningkatkan ketidakpuasan terhadap pemerintah.