Amangkurat I (1646--1677) merupakan Sultan Mataram yang berkuasa pada periode yang sangat kritis dalam sejarah Kesultanan Mataram Islam. Amangkurat I mewarisi takhta dari ayahnya, Sultan Agung, yang telah membangun Mataram menjadi kekuatan besar di Nusantara. Namun, pemerintahan Amangkurat I sering dianggap sebagai masa penurunan Mataram karena berbagai kebijakan politiknya yang kontroversial dan gaya kepemimpinannya yang represif. Artikel ini akan menjelaskan karakteristik pemerintahan Amangkurat I, kebijakan-kebijakan yang diambil, serta dampaknya terhadap kerajaan, dengan merujuk pada berbagai sumber akademis seperti jurnal dan buku sejarah.
Amangkurat I, yang lahir dengan nama Raden Mas Sayidin, naik takhta pada 1646 setelah kematian Sultan Agung. Menurut Carey (1981), Amangkurat mewarisi kerajaan yang luas namun juga menghadapi berbagai tantangan, termasuk potensi pemberontakan dari para bangsawan lokal dan ancaman dari VOC di pesisir. Mataram pada era Sultan Agung telah melakukan banyak ekspansi militer, sehingga wilayah kerajaan sangat luas, tetapi membutuhkan administrasi yang ketat untuk mempertahankan stabilitas. Amangkurat I tidak hanya mewarisi wilayah yang luas tetapi juga konflik internal dan eksternal yang menumpuk akibat ekspansi agresif sebelumnya.
Dalam pemerintahannya, Amangkurat I dikenal sebagai penguasa yang sangat otoriter. Berdasarkan penelitian H.J. de Graaf (1985), Amangkurat I cenderung memperkuat kekuasaannya dengan cara yang represif, bahkan terhadap keluarganya sendiri. Salah satu tindakan awalnya sebagai raja adalah memusnahkan para bangsawan yang dianggapnya berpotensi memberontak. Langkah ini membuat pemerintahannya ditandai dengan ketakutan dan ketidakpercayaan. Misalnya, pada tahun 1659, Amangkurat I memerintahkan eksekusi massal terhadap para bangsawan di istana, yang diduga merencanakan pemberontakan. Kebijakan ini memperburuk hubungan antara raja dan kaum bangsawan.
Selama pemerintahan Amangkurat I, hubungan antara Mataram dan VOC Belanda mengalami perubahan signifikan. Amangkurat I menyadari pentingnya kekuatan VOC di wilayah pesisir Jawa, terutama karena VOC menguasai perdagangan internasional dan memiliki kekuatan militer yang signifikan. Sebagai bagian dari strateginya, ia menjalin hubungan dengan VOC, namun hubungan ini tidak berlangsung mulus. Amangkurat I sering kali mengadopsi sikap bermuka dua dalam berurusan dengan Belanda. Dia berupaya menjaga keseimbangan antara kebutuhan untuk bersekutu dengan VOC, terutama dalam perdagangan, dan menjaga otonomi Mataram.
Pada tahun 1674, Amangkurat I berusaha untuk memperkuat aliansi dengan VOC untuk menekan pemberontakan yang muncul di beberapa wilayah kerajaannya. Meskipun VOC bersedia membantu, ini hanya menambah ketergantungan Mataram pada kekuatan asing dan mengurangi kedaulatan kerajaan.
Salah satu peristiwa terpenting selama pemerintahan Amangkurat I adalah Pemberontakan Trunajaya yang berlangsung dari 1674 hingga 1679. Trunajaya, seorang bangsawan Madura yang merasa kecewa dengan kebijakan Amangkurat I, memimpin pemberontakan besar melawan kekuasaan Mataram. Menurut Ricklefs (1978), Pemberontakan Trunajaya ini merupakan klimaks dari ketidakpuasan banyak pihak terhadap gaya pemerintahan Amangkurat yang keras dan otoriter.
Pemberontakan ini berhasil merebut banyak wilayah penting, termasuk ibu kota kerajaan, Plered, pada tahun 1677. Amangkurat I terpaksa melarikan diri dan mencari perlindungan pada VOC di Batavia. Kejadian ini menandai runtuhnya sebagian besar kekuasaan Amangkurat di Jawa, dan VOC semakin memperkuat pengaruhnya atas Mataram sebagai balasan atas bantuan militer yang diberikan.
Salah satu kebijakan Amangkurat I yang paling kontroversial adalah keputusan untuk melakukan pembunuhan massal terhadap para bangsawan dan ulama yang dianggap sebagai ancaman bagi kekuasaannya. Pada tahun 1647, tak lama setelah ia naik takhta, ia memerintahkan pembunuhan terhadap ribuan orang yang terlibat dalam pemberontakan atau yang dia anggap berpotensi memberontak. Pembunuhan ini tidak hanya menargetkan lawan politik, tetapi juga para ulama yang memiliki pengaruh besar di masyarakat Jawa.
Menurut Ricklefs (2008), tindakan ini memperlemah dukungan terhadap Amangkurat I di kalangan bangsawan dan rakyat biasa, serta menciptakan ketidakstabilan politik yang berlarut-larut. Banyak yang menilai kebijakan tersebut sebagai bentuk paranoia politik, di mana Amangkurat I lebih mementingkan mempertahankan kekuasaan daripada memperbaiki kondisi sosial ekonomi kerajaan.
Dalam bidang agama, Amangkurat I memiliki hubungan yang rumit dengan Islam. Meskipun Mataram adalah kerajaan Islam, Amangkurat I sering kali bertindak bertentangan dengan ulama dan tradisi Islam yang kental di masyarakat Jawa. Misalnya, ia sering mengabaikan nasihat para ulama dan bahkan melakukan tindakan yang dianggap melecehkan agama. Dalam catatan Lombard (2005), Amangkurat I juga mengusir banyak ulama dari keraton dan menggantikan mereka dengan penasihat yang lebih sekuler.