Pada masa kontemporer ini sudah tidaklah asing di telinga kita dengan kata “Demokrasi”. Demokrasi sendiri merupakan sebuah sistem pemerintahan di mana hukum, kebijakan, kepemimpinan, ataupun berbagai aspek yang menjalankan sebuah negara ditentukan oleh rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi (Dahl, Robert A, by Britannica, 2020).
Banyak literatur penelitian menyebutkan, bahwa demokrasi pertama kali diterapkan pada masa Yunani Kuno. Namun, jauh sebelum masa Yunani kuno, praktik demokrasi ini diyakini telah ada semenjak manusia fase berburu dan berkebun.
Fase tersebut menciptakan sebuah ketidaksetaraan dalam hal kekayaan dan kedudukan di kelompoknya. Barulah beribu tahun kemudian, praktik demokrasi dalam bentuk pemerintahan dilaksanakan di kota Athena.
Praktik demokrasi di kota atau Polis Athena sendiri bisa dibilang cukup sederhana. Kesederhanaan ini disebabkan juga dengan luas Polis yang tidak begitu luas dan memiliki jumlah masyarakat yang relatif sedikit. Sehingga demokrasi yang dijalankan oleh Yunani Kuno saat itu adalah Demokrasi langsung. Langsung dalam arti bahwa masyarakatnya bisa secara langsung menyuarakan aspirasi mau pun kritik terhadap pemerintah secara langsung.
Adapun persyaratan bagi mereka untuk diakui sebagai warga serta mendapatkan hak penuh atas demokrasi, yaitu ia harus laki-laki dewasa dan juga merdeka atau bebas (bukan budak). Maka, di luar dari persyaratan tersebut, mereka tidak memiliki hak untuk bersuara dalam pemerintahan Athena.
Seiring berkembangnya zaman, banyak dari asosiasi dan kelompok masyarakat yang pada akhirnya membentuk sebuah negara yang lebih besar, seperti Amerika dan Perancis. Dalam skala yang lebih masif, penerapan demokrasi langsung tidaklah efektif. Sebaliknya, jika sebuah negara besar menerapkan demokrasi langsung, maka hasil yang dikeluarkan pun tidak akan demokratis karena kecil kemungkinan seluruh suara teraspirasikan.
Oleh karenanya, pada awal abad ke-18 terdapat perubahan bentuk demokrasi menjadi demokrasi perwakilan. Untuk menerapkan demokrasi perwakilan, maka dibutuhkan seperangkat lembaga institusi politik yang nantinya akan memastikan berjalannya sistem demokrasi (Dahl, Robert A, by Britannica, 2020).
Representasi di dalam sebuah pemerintahan, merupakan sebuah metode atau proses untuk menghidupkan peran masyarakat dalam membentuk atau memengaruhi legislasi dan kebijakan pemerintah melalui wakil yang sudah dipilih (Britannica, 2012). Alasan di balik bergesernya demokrasi langsung menjadi perwakilan adalah masyarakat di zaman modern yang hidup di negara yang besar, tidak memungkinkan untuk seluruhnya dikumpulkan pada satu tempat dan waktu.
Melihat alasan tersebut, apabila masyarakat hendak berpartisipasi dalam sebuah pemerintahan, lantas mereka harus memilih seorang atau beberapa wakil yang akan mewakili suara masyarakat. Itulah yang akhirnya menjadi perbedaan utama dalam demokrasi langsung Yunani Kuno dan Demokrasi Perwakilan di zaman modern ini. Perbedaan selanjutnya yang bisa kita analisis bahwa persyaratan untuk menjadi warga negara seperti harus laki-laki dewasa dan sebagainya, dihilangkan pada praktik demokrasi perwakilan. Kembali lagi, karena demokrasi perwakilan ingin meningkatkan peran seluruh elemen masyarakat dalam merumuskan sebuah kebijakan.
Sistem demokrasi perwakilan berisikan para wakil yang memiliki latar belakang yang berbeda, namun saling berhubungan dengan para terwakilnya yang sudah memberikan haknya kepada para wakil, untuk nantinya menghasilkan sebuah kebijakan publik. Terdapat empat elemen pada sistem demokrasi perwakilan, yaitu a) Representative pluralism, di mana tidak semua masyarakat menjadi wakil, pun tidak semuanya bisa secara langsung mewakili suaranya.
Maka dalam sistem demokrasi perwakilan, diperlukan pula aktor non-pemerintah, seperti NGO, Organisasi Masyarakat, Gerakan Sosial, dan lainnya. Bersama dengan aktor non-pemerintah inilah pemerintah bisa menentukan arah gerak sebuah pemerintahan akan dibawa kemana.
Berbagai tuntutan akan dilayangkan kepada pemerintah, oleh karenanya sistem demokrasi perwakilan berbicara bagaimana pemerintah merespon akan tuntutan tersebut. B) Popular authorization berbicara bagaimana masyarakat memiliki hak untuk menyuarakan suaranya dengan berbagai cara. Tidak hanya melalui pemilihan, masyarakat bisa mengeluarkan sebuah sistem atas hak dan peraturan agar aspirasi mereka didengarkan. Akhirnya terciptalah struktur minimum atas perwakilan informal, yaitu kebebasan berekspresi dan berkumpul.
Struktur minimum tersebut juga meliputi NGO, Gerakan Sosial, kelompok kepentingan dan lainnya. C) Distribution of representative work membahas bagaimana sebuah kebijakan tidak dihasilkan hanya oleh satu aktor saja, melainkan melibatkan aktor pemerintah dan non-pemerintah. Kedua aktor ini, pada satu waktu akan bekerjasama untuk menghasilkan sebuah kebijakan atas nama rakyat. D) Levels of representation membahas bagaimana seorang wakil harus berinteraksi dengan konstituennya pada level individu. Pada intinya adalah bagaimana seorang wakil bisa mewakilkan suara konstituennya dengan berbagai cara dan juga seorang wakil harus mengerti dan memahami keinginan dari konstituennya.
Seperti yang sudah dijelaskan di atas, di mana keempat elemen tersebut tidak akan berjalan tanpa adanya jalinan komunikasi yang baik. Tentu saja aktivitas komunikasi ini akan menjadi sangat vital posisinya dalam hubungan antara wakil dan konstituennya. Menurut Everett M. Rogers, komunikasi merupakan sebuah proses di mana suatu ide dialihkan dari sumber kepada sebuah penerima, dengan maksud untuk mengubah tingkah laku penerima (Cangara, 2008:20).
Komunikasi juga dapat dijabarkan sebagai sebuah proses interaksi antar manusia yang bersifat untuk mempengaruhi satu sama lain, baik itu disengaja ataupun tidak. Komunikasi juga tidak memiliki batas dalam bentuknya, ia bisa berbentuk verbal, isyarat, ekspresi muka, tulisan, seni dan teknologi. Sebuah jalinan komunikasi dapat terjadi jika terdapat kesamaan makna suatu pesan yang disampaikan oleh komunikator kepada penerima (Effendy, 2004: 9). Dengan demikian, kesamaan makna akan suatu pesan yang disampaikan juga menjadi hal penting yang harus diperhatikan dalam menjalin sebuah komunikasi.
Dalam hal politik, terdapat pula apa yang disebut sebagai komunikasi politik. Komunikasi politik sendiri diartikan sebagai sebuah disiplin yang dibentuk dari berbagai disiplin ilmu terutama dengan proses komunikasi dan proses politik. Istilah komunikasi politik pertama kali muncul setelah terbitnya buku karya Gabriel Almond (1960) yang berjudul “The Politics of the Development Areas”.
Dalam bukunya, ia menjelaskan komunikasi politik sebagai salah satu fungsi yang selalu hadir dalam setiap sistem politik yang ada. Komunikasi politik juga dapat diartikan sebagai proses penyampaian pesan berkenaan dengan politik dari pemerintah kepada masyarakat begitupun sebaliknya (Surbakti, 2010: 152). Maka proses hubungan yang terjalin antara wakil dan konstituennya termasuk kepada komunikasi politik. Komunikasi politik memegang peran penting di dalam sebuah sistem politik, komunikasi politik menjadi penentu dalam membentuk hubungan politik yang dinamis dan menjadi bagian dalam sosialisasi politik, partisipasi politik, dan perekrutan politik.
Sudah dijelaskan di atas kalau komunikasi politik merupakan saluran bagi informasi melalui perantara masyarakat dan melalui beragam sistem politik. Komunikasi politik memiliki fungsi untuk menciptakan struktur politik yang menyerap berbagai aspirasi, gagasan dan pandangan yang berkembang di lingkungan masyarakat yang kemudian akan dituangkan sebagai bahan pertimbangan dalam perumusan kebijakan. Mulusnya komunikas politik yang terjalin akan menentukan terhadap kemantapan pada kehidupan politik. Maka dari itu, terhambatnya jalinan komunikasi politik yang terjalin akan menyebabkan kesalahpahaman antar satu kelompok dengan kelompok lain dan antar satu aktor dengan aktor politik lainnya. Dengan demikian, terdapat sebuah fungsi komunikasi yang akan mempermudah jalannya komunikasi politik di dalam sebuah sistem politik yang berjalan.
Dalam pembuatan kebijakan publik, terdapat beberapa hal yang berkaitan langsung dalam proses perumusan dan pelaksanaanya, antara lain:
Fungsi Artikulasi Kepentingan
Fungsi ini merupakan sebuah proses dalam penyerapan beragam aspirasi masyarakat yang nantinya akan disaring dan diolah, dan dituangkan di dalam sebuah kebijakan.
Fungsi Agregasi Kepentingan\
Suara yang diberikan oleh masyarakat tentunya tidak datang dari seorang saja, melainkan banyak suara yang akan diterima. Maka, fungsi agregasi di sini berupaya untuk menampung seluruh aspirasi masyarakat yang banyak, sehingga akan ditemukan sebuah kepentingan bersama.
Fungsi Pembuatan Kebijakan
Fungsi ini erat kaitannya dengan legislatif. Dalam menjalankan fungsi ini, legislatif akan bekerjasama dengan lembaga eksekutif serta badan perwakilan rakyat. Badan perwakilan rakyat ini memiliki sejumlah hak, yaitu hak mengajukan rancangan undang-undang (Inisiatif), hak amandemen, hak untuk ikut serta dalam penetapan anggaran negara (budget), hak meminta keterangan kepada pemerintah (interpelasi), hak untuk menjalankan penyelidikan (angket) dan hak untuk mengajukan pertanyaan kepada pemerintah.
Fungsi Penerapan Kebijakan
Fungsi ini dijalankan oleh lembaga eksekutif, untuk memberikan rincian dan penafsiran agar mudah dipahami dan ditaati oleh masyarakat.
Fungsi Penghakiman Kebijakan
Pada fungsi ini, tujuan utamanya adalah untuk menjamin kepastian hukum dan menciptakan ketertiban di masyarakat. Selain itu, fungsi penghakiman ini juga bertujuan untuk menghadirkan rasa keadilan jika terjadi pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan.
Dari fungsi yang sudah dijabarkan, maka komunikasi politik bertugas sebagai penyambung lidah bagi masyarakat ke pemerintah atau wakil dengan konstituennya. Komunikasi politik juga bertujuan untuk menghadirkan kestabilan sebuah negara.
Dalam sebuah sistem politik, komunikasi politik pada umumnya dijalankan oleh media massa, baik itu media cetak maupun elektronik.
Media massa memegang peran strategis sebagai sarana komunikasi antara wakil dan terwakil. Media massa merupakan sebuah metode komunikasi massa, di mana informasi, advokasi, propaganda, iklan dan bentuk ekspresi lainnya disampaikan ke para audiens yang masif (Duignan, Brian, 2022).
Mengacu pada penjelasan tersebut, media massa dalam hal ini meliputi media cetak, radio, televisi, video dan internet. Pada masa kontemporer ini, media massa yang sering digunakan adalah media televisi dan internet. Fokus tulisan ini akan berada pada media massa internet khususnya dalam hal penggunaan media sosial, karena penggunaan media sosial dalam konteks politik modern menduduki kedudukan yang sentral (Pawito, 2015). Penggunaan media sosial ini, bertujuan agar masyarakat luas dapat mengetahui tentang apa yang dibawakan oleh seorang politisi.
Tidak bisa dipungkiri kalau masyarakat modern, bergantung kepada media sosial jika perhelatan Pemilu sudah dekat. Ketergantungan para politisi terhadap media massa dan media sosial membawa sebuah perubahan yang awalnya politik representatif menjadi politik audiens (Manin, 1997). Dengan penggunaan media sosial, para wakil rakyat kesulitan untuk mengontrol konstituen mereka. Kesulitan yang terjadi disebabkan pergeseran hubungan antara wakil dengan konstituennya, yang awalnya bersifat formal kini menjadi semakin informal. Hubungan yang bersifat informal ini dikarenakan para konstituen bisa langsung berhubungan dengan wakilnya melalui media sosial.
Perkembangan sistem demokrasi yang representatif menemui sebuah tantangan. Tantangan tersebut diakibatkan oleh digitalisasi media tradisional dalam hal membagikan, menerbitkan dan mengomentari berita politik. Digitalisasi ini juga menyebabkan kondisi para konstituen yang tak terkontrol dalam ruang dunia maya. Maka tantangan baru pun muncul bagi para politisi yang ingin mencalonkan menjadi seorang anggota parlemen. Mereka dituntut untuk berkompetisi atas suara masyarakat, tidak hanya di dunia nyata juga di dunia maya. Para politisi harus bisa beradaptasi dengan meluasnya arena suara. Beradaptasi bagaimana cara mereka untuk meraih suara dari masyarakat yang masif serta bagaimana mereka menyampaikan pesan mereka agar diterima dengan baik oleh masyarakat luas.
Penggunaan media sosial sebagai arena politik ini sudah diterapkan di Indonesia. Sebagai contohnya pada saat Pemilu dan Pilkada serentak pada tahun 2019. Jika kita memperhatikan kondisi media sosial saat itu, kebanyakan mengandung informasi dari paslon presiden mau pun calon anggota dewan. Mereka menggunakan media sosial sebagai framing bagi image mereka di masyarakat. Segala informasi dan strategi dari setiap politisi dapat kita amati melalui media sosial mereka. Salah satu anggota parlemen yang penulis amati adalah Ibu Anggo Noviah selagu anggota parlemen masa jabatan 2019-2024. Beliau merupakan anggota DPRD Indramayu dari fraksi PDI-P.
Beliau merupakan lulusan sarjana Ilmu Politik Universitas Padjadjaran. Dalam media sosialnya di platform “Instagram” @angginoviah beliau membagikan kegiatannya sebagai anggota DPRD. Sebelum itu, beliau juga gencar memperlihatkan kegiatannya selama persiapan untuk mencalonkan diri. Pada kampanyenya, ibu Noviah menggunakan slogan “Muda Bersuara Bertindak dan Bela Rakyat”. Slogan ini memberikan makna kepada masyarakat yang melihat bahwa beliau berasal dari golongan muda yang peduli akan persoalan masyarakat. Pada setiap unggahan di Instagramnya, tidak sedikit pula yang memberikan komentar.
Selain itu, pada fitur “story Instagram” terdapat pula konstituen yang bertanya dan bersuara di sana. Ini membuktikan dari penjelasan di atas, bahwa digitalisasi media, tidak dapat membendung siapa yang melihat, berkomentar ataupun bersuara di media massa. Tentunya segala unggahan akan menjadi citra para politisi di mata konstituennya. Mengingat bahwa pada tahun 2019, media massa menjadi sarana yang vital keberadaannya dalam strategi politik yang dijalankan. Tidak sedikit mungkin hampir seluruh calon anggota legislatif maupun calon presiden dan wakil presiden menggunakan media massa khususnya media sosial dalam strategi politiknya.
Pada akhirnya, tindakan komunikasi politik tidaklah sama dengan komunikasi yang biasa kita lakukan. Pesan yang disampaikan mengandung tujuan dan unsur politik tertentu. Tujuan dalam komunikasi politik yang dilakukan lebih menjurus kepada tindakan persuasif, agar menarik suara masyarakat. Cakupan dari komunikasi politik pun lebih luas, yaitu mencakup suprastruktur dan infrastruktur pemerintahan.
Oleh karena itu, orientasi dari komunikasi politik sendiri haruslah berlandaskan pada kepentingan rakyat. Terlebih lagi dengan digitalisasi media massa, maka jangkauan terhadap masyarakat pun lebih luas. Hal tersebut akan menyulitkan para politisi dalam membatasi interaksi mereka dengan konstituen.
Namun, penggunaan media massa khususnya media sosial pada politik modern ini, membawa tradisi baru di mana para konstituen dapat secara langsung berinteraksi dengan wakilnya. Juga perlu diperhatikan, bagi lembaga perwakilan khususnya DPR-RI agar bisa beradaptasi dengan kebiasaan masyarakat kita, dalam lebih memilih untuk langsung ‘menindak’ para wakilnya. Supaya fungsi DPR sebagai penyerap aspirasi tidak bias dengan kebiasaan baru ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H