Tidak bisa dipungkiri kalau masyarakat modern, bergantung kepada media sosial jika perhelatan Pemilu sudah dekat. Ketergantungan para politisi terhadap media massa dan media sosial membawa sebuah perubahan yang awalnya politik representatif menjadi politik audiens (Manin, 1997). Dengan penggunaan media sosial, para wakil rakyat kesulitan untuk mengontrol konstituen mereka. Kesulitan yang terjadi disebabkan pergeseran hubungan antara wakil dengan konstituennya, yang awalnya bersifat formal kini menjadi semakin informal. Hubungan yang bersifat informal ini dikarenakan para konstituen bisa langsung berhubungan dengan wakilnya melalui media sosial.
Perkembangan sistem demokrasi yang representatif menemui sebuah tantangan. Tantangan tersebut diakibatkan oleh digitalisasi media tradisional dalam hal membagikan, menerbitkan dan mengomentari berita politik. Digitalisasi ini juga menyebabkan kondisi para konstituen yang tak terkontrol dalam ruang dunia maya. Maka tantangan baru pun muncul bagi para politisi yang ingin mencalonkan menjadi seorang anggota parlemen. Mereka dituntut untuk berkompetisi atas suara masyarakat, tidak hanya di dunia nyata juga di dunia maya. Para politisi harus bisa beradaptasi dengan meluasnya arena suara. Beradaptasi bagaimana cara mereka untuk meraih suara dari masyarakat yang masif serta bagaimana mereka menyampaikan pesan mereka agar diterima dengan baik oleh masyarakat luas.
Penggunaan media sosial sebagai arena politik ini sudah diterapkan di Indonesia. Sebagai contohnya pada saat Pemilu dan Pilkada serentak pada tahun 2019. Jika kita memperhatikan kondisi media sosial saat itu, kebanyakan mengandung informasi dari paslon presiden mau pun calon anggota dewan. Mereka menggunakan media sosial sebagai framing bagi image mereka di masyarakat. Segala informasi dan strategi dari setiap politisi dapat kita amati melalui media sosial mereka. Salah satu anggota parlemen yang penulis amati adalah Ibu Anggo Noviah selagu anggota parlemen masa jabatan 2019-2024. Beliau merupakan anggota DPRD Indramayu dari fraksi PDI-P.
Beliau merupakan lulusan sarjana Ilmu Politik Universitas Padjadjaran. Dalam media sosialnya di platform “Instagram” @angginoviah beliau membagikan kegiatannya sebagai anggota DPRD. Sebelum itu, beliau juga gencar memperlihatkan kegiatannya selama persiapan untuk mencalonkan diri. Pada kampanyenya, ibu Noviah menggunakan slogan “Muda Bersuara Bertindak dan Bela Rakyat”. Slogan ini memberikan makna kepada masyarakat yang melihat bahwa beliau berasal dari golongan muda yang peduli akan persoalan masyarakat. Pada setiap unggahan di Instagramnya, tidak sedikit pula yang memberikan komentar.
Selain itu, pada fitur “story Instagram” terdapat pula konstituen yang bertanya dan bersuara di sana. Ini membuktikan dari penjelasan di atas, bahwa digitalisasi media, tidak dapat membendung siapa yang melihat, berkomentar ataupun bersuara di media massa. Tentunya segala unggahan akan menjadi citra para politisi di mata konstituennya. Mengingat bahwa pada tahun 2019, media massa menjadi sarana yang vital keberadaannya dalam strategi politik yang dijalankan. Tidak sedikit mungkin hampir seluruh calon anggota legislatif maupun calon presiden dan wakil presiden menggunakan media massa khususnya media sosial dalam strategi politiknya.
Pada akhirnya, tindakan komunikasi politik tidaklah sama dengan komunikasi yang biasa kita lakukan. Pesan yang disampaikan mengandung tujuan dan unsur politik tertentu. Tujuan dalam komunikasi politik yang dilakukan lebih menjurus kepada tindakan persuasif, agar menarik suara masyarakat. Cakupan dari komunikasi politik pun lebih luas, yaitu mencakup suprastruktur dan infrastruktur pemerintahan.
Oleh karena itu, orientasi dari komunikasi politik sendiri haruslah berlandaskan pada kepentingan rakyat. Terlebih lagi dengan digitalisasi media massa, maka jangkauan terhadap masyarakat pun lebih luas. Hal tersebut akan menyulitkan para politisi dalam membatasi interaksi mereka dengan konstituen.
Namun, penggunaan media massa khususnya media sosial pada politik modern ini, membawa tradisi baru di mana para konstituen dapat secara langsung berinteraksi dengan wakilnya. Juga perlu diperhatikan, bagi lembaga perwakilan khususnya DPR-RI agar bisa beradaptasi dengan kebiasaan masyarakat kita, dalam lebih memilih untuk langsung ‘menindak’ para wakilnya. Supaya fungsi DPR sebagai penyerap aspirasi tidak bias dengan kebiasaan baru ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H