[caption id="attachment_177011" align="aligncenter" width="448" caption="tampak depan museum anak Kolong Tangga"][/caption] Di dalam sebuah kotak display kaca berdiri sebuah boneka prajurit kerajaan Belgia lengkap dengan seragam merah biru dan bertopi kebesaran. Boneka tersebut sedang menunggang kuda. Di sampingnya, berdiri miniatur mini seorang bocah sedang memainkan kuda lumping. Kedua boneka tadi setelah dirunut jauh ke belakang ternyata memiliki kesamaan cerita sejarah, yakni permainan kuda lumping tidak hanya dimainkan di Indonesia namun juga di Belgia dan negara-negara Eropa lainnya. Di Belanda, permainan anak kuda lumping dinamai Stokpaard Rijden sedangkan di Inggris dipanggil Hobby Horse.
“Semua mainan punya cerita,” begitu kata Primi (22), volunteer Museum Anak Kolong Tangga.
Tidak heran bila semua kotak display mainan-mainan yang ada dilengkapi dengan papan keterangan. Papan keterangan tersebut berfungsi menjelaskan kepada pengunjung tentang sejarah dan latar belakang sebuah mainan. Pengaturan kotak display juga tidak sembarangan. Kotak-kotak display disusun dan digolongkan berdasarkan periode sejarah kemunculan mainan. Lihat saja, kotak display dengan segerombolan boneka (miniatur) prajurit perang lengkap dengan senjata seperti pistol dan tank. Situasi perang dunia kedua lah yang kemudian melahirkan boneka-boneka prajurit perang.
Begitulah sejak awal berdirinya- yakni 1 Februari 2008- Museum Anak Kolong Tangga bertekad untuk menjadi wahana rekreasi edukatif bagi anak-anak. Adalah Rudi Corens, seorang berkewarganegaraan Belgia yang berada di balik cikal bakal kelahiran Museum Anak Kolong Tangga. Awalnya Rudi yang hobi travelling ini gemar mengoleksi mainan-mainan tradisional dari tempat di mana ia travelling. Salah satu tempat tujuan dia adalah Indonesia. Di Indonesia inilah ia memiliki banyak teman, antara lain Kartika Affandi. Berkat dukungan teman-teman Indonesianya, Rudi akhirnya memutuskan untuk mendirikan museum mainan. Pada mulanya pendirian museum dimasudkan untuk menaruh koleksi mainan-mainan Rudi yang sudah membludak.
Kini museum yang terletak di bawah “kolong tangga” lantai dua Gedung Taman Budaya Yogya telah menyimpan 5.000 lebih item mainan. Tidak semua mainan dipamerkan.
“Setiap setahun sekali kami melakukan rotasi mainan yang akan dipamerkan di museum. Rotasi mainan berfungsi untuk menampilkan kepada pengunjung mainan-mainan yang sebelumnya belum pernah dipamerkan,” ujar Primi yang sudah tiga tahun menjadi volunteer.
Pada setiap rotasi akan dicek mainan-mainan mana saja yang butuh perawatan. Mainan-mainan yang rusak akan diperbaiki di studio milik Rudi. Tidak hanya perbaikan, studio Rudi juga membuat replika mainan-mainan yang berasal dari buku bacaan anak atau bahkan dari relief candi.
Di usianya yang sudah empat tahun, Museum Anak Kolong Tangga terus berbenah. Penambahan koleksi rutin dilakukan. Pembuatan replika mainan dari buku bacaan anak-anak dan relief candi pun menjadi alternatif. Semuanya itu tidak lain dilakukan untuk mewujudkan visi Museum Anak Kolong Tangga sebagai “sahabat” anak belajar sekaligus bermain.
Pemberlakuan tiket gratis masuk bagi anak-anak bertujuan untuk mengajak anak-anak dari semua lapisan masyarakat menemukan dunia mereka. Dunia mainan mereka yang selalu punya cerita.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H