Filsafat lingkungan hidup merupakan sebuah upaya atau pencarian---dari sekian banyak upaya atau pencarian lainnya---untuk dapat memahami secara benar (kebenaran) tentang lingkungan hidup. Ia lahir dari sebuah pergumulan dan pergulatan pemikiran yang panjang dalam rangka menjawab sekaligus memahami secara lebih tepat apa sesungguhnya lingkungan hidup itu.Â
Sebuah pencarian yang---sebagaimana filsafat pada umumnya---lahir dari rasa heran dan penasaran tentang hal ihwal yang belum bisa dipahami yang bernama lingkungan hidup (Keraf, 2014). Menimbang bahwa lingkungan hidup (alam) merupakan eksistensi yang menarik dan misterius, maka manusia terdorong untuk mencari tahu apa saja kebenaran tentangnya atau apa yang ada di baliknya. Kemenarikan alam beserta kemisteriusannya, memicu ketertarikan (berikut rasa penasaran dan rasa heran) manusia untuk lebih mengenal alam atau lingkungan hidup.
Lingkungan hidup dipahami sebagai oikos dalam bahasa Yunani, yang artinya habitat tempat tinggal atau rumah tempat tinggal. Tetapi, oikos di sini tidak pertama-tama dipahami sekadar sebagai lingkungan sekitar di mana manusia hidup. Dia (lingkungan hidup) bukan sekadar rumah tempat tinggal manusia. Oikos dipahami sebagai keseluruhan alam semesta dan seluruh interaksi saling pengaruh yang terjalin di dalamnya di antara makhluk hidup dengan makhluk hidup lainnya dan dengan keseluruhan ekosistem atau habitat.Â
Jadi, kalau oikos adalah rumah, itu adalah rumah bagi semua makhluk hidup (bukan hanya manusia) yang sekaligus menggambarkan interaksi dan keadaan seluruhnya yang berlangsung di dalamnya. Oikos menggambarkan tempat tinggal, rumah, habitat tempat yang memungkinkan kehidupan tumbuh dan berkembang. Singkatnya, lingkungan hidup tidak hanya berkaitan dengan lingkungan fisik tetapi juga dengan kehidupan yang terjalin dan berkembang di dalamnya.Â
Dengan demikian lingkungan hidup di sini pertama-tama dan terutama dipahami sebagai alam semesta, ekosistem, atau lebih sempit bumi tempat tinggal dan keseluruhan atmosfer yang menanunginya dan yang menunjang segala kehidupan. Lingkungan hidup di sini dipahami sebagai ekosistem, tempat makhluk hidup---termasuk manusia---tinggal yang merupakan sebuah sistem yang terkait satu sama lain dan terus berkembang secara dinamis (Ibid.). Penjelasan tersebut memberikan tendensi bahwa oikos yang secara harfiah berarti rumah memiliki tafsiran yang lebih holistis, dan hal tersebut tidak hanya berhenti di makna rumah secara fisik, melainkan juga segala dinamika (atau proses) yang ada di dalamnya.
Secara etimologis pula oikos dipahami dalam padanan yang lebih utuh dengan logos menjadi oikos dan logos, ecology, ekologi. Logos berarti ilmu atau kajian. Karena itu, lingkungan hidup dapat pula dipahami sebagai sebuah ilmu, yaitu ilmu tentang ekosistem dengan segala hubungan saling pengaruh di antara ekosistem dan isinya serta keseluruhan dinamika dan perkembangan yang berlangsung di dalamnya. Sebagaimana dikatakan Owen (1980), "Ekologi berurusan dengan hubungan di antara tumbuhan dan hewan dan lingkungan di mana mereka hidup."
Singkatnya, ekologi adalah sebuah kajian tentang organisme atau makhluk hidup pada umumnya---manusia, hewan, tumbuhan, dan makhluk-makhluk hidup lainnya termasuk virus---serta hubungan atau interaksi di antara makhluk hidup tersebut satu sama lain dan dengan ekosistem seluruhnya dalam sebuah proses kait-mengait.Â
Ada hubungan saling memengaruhi satu sama lain di antara berbagai kehidupan dan dengan ekosistemnya untuk memungkinkannya tumbuh, berkembang, dan hidup menjadi dirinya sebagaimana adanya. Dalam proses saling berinteraksi itu, setiap organisme berubah dan menyesuaikan diri serta memengaruhi perubahan organisme lainnya termasuk ekosistemnya. Dalam hal ini, organisme adalah bagian dari ekosistem, tetapi sebagai bagian, setiap organisme---selain dipengaruhi---juga memengaruhi perkembangan ekosistemnya. Semuanya ini dipengaruhi pula oleh rangkaian faktor seperti iklim, intensitas cahaya, beragam entitas anorganik dan abiotis seperti tanah, air, udara (yang sesungguhnya pada dirinya sendiri mengandung kehidupan atau paling tidak menjadi sumber kehidupan dan menunjang kehidupan).
Dapat dikatakan bahwa ekosistem atau lingkungan hidup merupakan sebuah sistem atau susunan jejaring kehidupan yang menghimpun beragam elemen (biotik, abiotik, dan juga kultural) yang susun-menyusun, kait-mengait, dan saling pengaruh secara dinamis---tidak pernah berhenti berkembang dan berubah. Dengan demikian, lingkungan hidup atau ekosistem dapat dimaknai pula sebagai suatu ruang yang memungkinkan segala sesuatu untuk hidup dan berkembang dengan cara saling berinteraksi. Interaksi inilah yang kemudian mengakibatkan perkembangan, perubahan, dan adaptasi bagi masing-masing entitas (termasuk ekosistem sebagai ruang itu sendiri).
Pada satu sisi ada makna kajian dalam wujud pertanyaan dan pencarian terus-menerus tetapi di pihak lain ada makna kebenaran atau kearifan tentang ekosistem seluruhnya. Kearifan yang bersumber dari kebenaran tadi pada gilirannya berfungsi menuntun pola perilaku secara tertentu sejalan dengan kebenaran tadi dalam menjaga dan merawat alam semesta, tempat tinggal makhluk hidup seluruhnya. Jadi, ecosophy adalah filsafat lingkungan hidup yang mengandung pengertian kearifan memahami alam sebagai rumah tinggal, sekaligus sebagai sebuah kearifan dalam menuntun secara alamiah bagaimana mengatur rumah tempat tinggal tadi agar layak didiami dan menjadi penunjang sekaligus memungkinkan kehidupan dapat berkembang di dalamnya. Ia tidak sekadar sebuah ilmu (science) melainkan sebuah kearifan (wisdom) sekaligus (Keraf, 2014).
Filsafat lingkungan hidup tidak berhenti sebagai sebuah pencarian atas kebenaran yang bersifat ilmiah, melainkan juga bersifat etis. Atau dapat dikatakan bahwa filsafat lingkungan hidup yang juga memproduksi kearifan (selain science) berfungsi sebagai produsen nilai yang dapat dijadikan pedoman berbasis kearifan---kesadaran akan nilai, perasaan, intuisi, dan kasih sayang---untuk memanajemen alam agar senantiasa berada dalam ekuilibrium (keseimbangan).
Bertolak dari pemahaman awal tentang apa itu filsafat dan apa itu lingkungan hidup, secara sangat elementer bisa dikatakan bahwa filsafar lingkungan hidup tidak lain adalah sebuah kajian tentang lingkungan hidup, tentang oikos, tempat tinggal makhluk hidup. Filsafat lingkungan hidup adalah sebuah pencarian, sebuah pertanyaan terus-menerus tentang lingkungan hidup, baik tentang makna dan hakikatnya maupun tentang segala hal yang berkaitan dan menyangkut lingkungan hidup itu. Di satu pihak itu berarti, filsafat lingkungan hidup adalah ekologi, ilmu tentang lingkungan hidup. Ilmu yang mengkaji dan memungkinkan kita memahami secara benar tentang alam semesta, ekosistem, tempat kehidupan ini berlangsung dan segala interaksi yang berlangsung di dalamnya (Keraf, 2014).
Tetapi, di lain pihak, filsafat lingkungan hidup bukan sekadar sebuah kajian ilmiah begitu saja. Dia bukan sekadar sebuah ekologi, ilmu tentang lingkungan hidup. Sebagai sebuah filsafat, filsafat lingkungan hidup mencakup dua sisi sekaligus yang terkait erat satu sama lain, yang dirumuskan Arne Naess sebagai ecosophy. Eco dari oikos sebagaimana telah diartikan di atas. Sedangkan sophy juga dari kata Yunani sebagaimana telah kita artikan di atas dalam kaitannya dengan filsafat.Â
Jadi, dengan ecosophy mau dikatakan bahwa filsafat lingkungan hidup tidak lain adalah kearifan tentang lingkungan hidup, tentang ekosistem seluruhnya. Pada satu sisi ada makna kajian dalam wujud pertanyaan dan pencarian terus-menerus tetapi di pihak lain ada makna kebenaran atau kearifan tentang ekosistem seluruhnya. Kearifan yang bersumber dari kebenaran tadi pada gilirannya berfungsi menuntun pola perilaku tertentu sejalan dengan kebenaran tadi dalam menjaga dan merawat alam semesta, tempat tinggal makhluk seluruhnya.
Jadi, ecosophy adalah filsafat lingkungan hidup yang mengandung pengertian kearifan yang memahami alam sebagai rumah tinggal, sekaligus sebagai sebuah kearifan dalam menuntun secara alamiah bagaimana mengatur rumah tempat tinggal tadi agar layak didiami dan menjadi penunjang sekaligus memungkinkan kehidupan dapat berkembang di dalamnya. Ia tidak sekadar sebuah ilmu (science) melainkan sebuah kearifan (wisdom) sekaligus (Keraf, 2014).
Filsafat lingkungan menurut Skolimowski sebagaimana dikutip dalam Nurmardiansyah (2014) membawa kembali koherensi antara sistem nilai manusia dengan pandangannya atas alam semesta supaya masing-masing akan menjadi aspek yang satu bagi yang lainnya, seperti dalam kebudayaan-kebudayaan tradisional. Filsafat lingkungan berusaha menyelamatkan individu bukan dengan pesan dangkal yang menenangkan ego kita, sementara baian lain keberadaan kita masih tercabik-cabik, tetapi dengan cara melakukan rekonstruksi menyeluruh pada kosmologi kita, yang, bersama kebudayaan, menyusun matrik kesehatan (atau penyakit) kita. Lebih lanjut, Skolimowski memberikan dasar-dasar konsepsi alternatifnya, yakni:
"...in devising new tactics for living we shall need to rethink our relationship with the world at large, ... we shall need to abandon the mechanistic conception of the world, and replace it with a much broader and richer one. Eco-philosophy attempts to provide the rudiments of this alternative conception."
Skolimowski agaknya menandai potensi besar krisis lingkungan yang diakibatkan oleh paradigma mekanistis sejak revolusi Industri. Sudah bukan rahasia umum bahwa paradigma mekanistis membawa manusia pada jurang antroposentrisme berlebihan yang menganggap alam sekadar benda yang eksis untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan manusia, sehingga alam tidak lagi dipandang sebagai bagian dari mereka---atau sebaliknya. Hal ini yang menyebabkan adanya struktur hierarkis yang secara sepihak memosisikan manusia berada di atas puncak piramida tersebut dan bersikap secara fasistik. Skolimowski menyadari bahwa paradigma mekanistis adalah paradigma yang "miskin" serta tidak memiliki keluasan, yang maka dari itu, sudah semestinya dievaluasi kembali dengan paradigma yang lebih "kaya".
Pada awal 1800-an, John Rodman sebagaimana dikutip dalam Molina-Motos (2018) menyatakan tiga tipologi awal paradigma lingkungan, yaitu: (1) konservasi sumberdaya (prudential stage), (2) perlindungan ruang alami (reverential stage), dan (3) perluasan moral (respectful stage). Tahap terakhir dari paradigma lingkungan menurut Rodman adalah (4) kepekaan ekologis (inclusive stage) yang memperkaya "persepsi, sikap, dan penilaian". Tipologi ini memiliki keidentikan dengan paradigma etika lingkungan ekosentrisme, yang terlebih ditekankan pada tipologi ketiga (perluasan moral) dan keempat (kepekaan ekologis).Â
Perluasan moral yang berarti bahwa pertimbangan moralitas tidak sebatas berada di dalam komunitas manusia, melainkan juga kepada komunitas ekologis secara keseluruhan. Setelah tipologi ini tercapai, maka kemudian termungkinkan juga tercapainya kepekaan ekologis, yang bertendensi pada pembinaan hubungan berbasis emosional dan tak hanya rasional. Komunitas ekologis selain manusia kemudian menjadi sosok yang juga layak untuk diberikan kasih sayang dan perhatian sebagaimana manusia pada umumnya.
Dengan pemahaman seperti itu, maka pertama-tama filsafat lingkungan hidup tidak lain adalah sebuah proses pertanyaan dan pergumulan terus-menerus tentang apa itu alam semesta, apa itu lingkungan hidup itu sendiri. Konsekuensinya, tidak bisa dielakkan bahwa pertanyaan dan pergumulan tentang filsafat lingkungan hidup membawa kita kepada pergumulan yang telah lama berlangsung dalam bidang kajian yang disebut sebagai ilmu pengetahuan dan kritik terhadap ilmu pengetahuan atau yang disebut sebagai filsafat ilmu.Â
Kita harus memasuki khazanah filsafat ilmu untuk membongkar kembali seluruh pemahaman yang telah lama dirumuskan tentang alam semesta. Sebuah proses pergumulan yang melahirkan temuan-temuan penting dan klasik di bidang ilmu pengetahuan. Kita harus melakukan ini karena ini cara pandang ilmu pengetahuan (dan sekaligus berarti filsafat ilmu pengetahuan) tentang alam semesta telah menjadi cara pandang dominan sampai membentuk budaya masyarakat (Barat) yang modern tetapi sekaligus juga menjadi cara pandang dominan tentang lingkungan hidup, alam, atau ekosistem. Ini yang pada gilirannya, kedua, membentuk kearifan dan memengaruhi perilaku manusia modern atas lingkungan hidup, atas alam dengan segala dampak positif dan negatifnya sebagaimana kita alami hingga sekarang (Keraf, 2014).
Sumber:
Owen, D., 1980, What Is Ecology?, Oxford: Oxford University Press.
Keraf, S. A., 2014, Filsafat Lingkungan Hidup, Yogyakarta: PT. Kanisius.
Molina-Motos, D., 2018, Ecophilosophical Principles for an Ecocentric Environmental Education, Education Sciences, Vol. 9, No. 37.
Nurmardiansyah, E., 2014, Eco-philosophy dan Implikasinya dalam Politik Hukum Lingkungan di Indonesia, Melintas.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H