Pelacur itu mati hari ini. Mayatnya ditemukan di sebuah rumah bordil yang kumuh dan tersembunyi di sudut kota. Tidak ada yang berduka akibat kematiannya, apalagi meneteskan air mata. Mereka bahkan memandangi tubuhnya yang telanjang itu dengan tatapan sinis, dan beberapa lainnya seperti senang. Mereka seperti sedang memandangi bangkai seekor tikus yang selama ini mengganggu kehidupannya.
Aku sekarang berada di antara mereka, orang-orang yang sedang berbisik-bisik tentang kematian pelacur itu. Aku merasa ada yang menusuk dadaku ketika mendengar kalimat yang mereka lontarkan satu sama lain.
“Akhirnya mampus juga wanita jalang itu. Cuih!”
“Ya. Sudah lama aku menantikan kematiannya. Buang saja bangkainya ke laut. Tanah ini terlalu suci bagi pendosa sepertinya!”
“Aku setuju! Kalau perlu, kita kencingi dahulu bangkainya sebelum dibuang ke laut. Biar tahu rasa!”
“Tentu saja. Dia butuh air yang banyak untuk mendinginkan tubuhnya. Sebab, dia akan dimasukkan ke lubang neraka! Hahaha ....”
Sungguh dadaku merasa ditusuk oleh sebilah pisau, dan kemudian pisau itu digerakkan ke atas dan ke bawah hingga paru-paruku sobek dan darahku tumpah ke tanah layaknya air mancur. Aku lihat mereka mengumpat, dan kemudian meludah dengan wajah penuh amarah. Aku sungguh tidak menyangka kematian pelacur itu akan menjadi pembicaraan yang menggema ke seantero kota. Mereka menghinanya habis-habisan, padahal mereka juga tidak jarang berada di rumah bordil itu dan menyewanya ketika istri mereka di rumah sudah dirasa kendor dan tidak menarik. Aku benar-benar tidak terima. Aku ingin melihat apa yang akan mereka lakukan kepada mayat pelacur itu.
Sebuah bangunan kumuh di ujung kota. Tempat ini benar-benar terselubung. Pantas saja banyak orang, termasuk yang mengklaim bahwa dirinya adalah orang suci, sering bertamasya ke tempat ini. Nama baik mereka tidak akan rusak, sebab, segala aktivitas yang ada di rumah bordil ini begitu rahasia. Ah, orang-orang suci itu, yang berbicara tentang surga dan neraka itu, ternyata tidak bisa menolak untuk menikmatinya juga. Pada waktu tertentu ketika mengingatnya, aku ingin terbahak-bahak, tetapi, pada waktu tertentu pula, aku ingin sangat marah.
Penjaga rumah bordil itu adalah seorang pria paruh baya, berperawakan tambun, rambutnya agak jarang, tidak berkumis dan berjanggut, matanya selalu tampak seperti orang mabuk, lengannya dihiasi banyak gelang emas, mulutnya selalu bau alkohol. Hanya saja, wajahnya tiba-tiba redup ketika menatapku. Ia sangat tahu bahwa pelacur yang mati itu adalah pelacur yang paling sering aku sewa dahulu, sebelum memutuskan untuk pergi dari kota yang penuh dusta ini. Ia mempersilakan aku untuk masuk. Dari gelagatnya, ia seperti memberitahu bahwa pelacur itu masih belum dikuburkan, atau dibuang ke laut. Sama sekali belum ada orang yang menyentuhnya setelah dia mati. Aku kemudian masuk untuk memastikannya sendiri.
Bau anyir, kendi-kendi berisi anggur, selendang-selendang putih yang bergantungan di tepi pintu, ukiran kayu berbentuk kelamin lelaki, suara bisik-bisik ... suara bisik-bisik. Aku menerobos kerumunan orang yang sedang dengan terselubung maupun terbuka mengumpat kematian pelacur itu. Mereka, orang-orang yang sama denganku, membicarakan hal yang sama dengan para orang suci di luar sana, surga dan neraka. Hendak berlabuh di manakah pelacur itu setelah kematiannya? Hampir semuanya dengan tegas menyatakan bahwa neraka adalah tempat kembalinya. Aku tidak terlalu yakin. Aku bukan orang beragama. Bahkan, aku tidak berhak berpikir bahwa aku orang beragama. Kenapa? Karena aku adalah orang yang sering mengunjungi tempat ini, sama seperti mereka, orang suci yang berbicara tentang surga dan neraka itu. Aku lihat mayat pelacur itu terkulai lemas. Matanya menyorotkan ketakutan. Di sudutnya masih ada sisa air mata yang belum mengering. Tubuhnya telanjang. Payudaranya yang kendur menggantung ke arah lantai. Wajahnya lebam. Dahinya berdarah. Mulutnya menganga, berbusa. Lidahnya menjulur ke luar. Rambutnya kusut, tidak seperti biasanya, terawat dan indah. Sehelai selendang yang dibuntal-buntal melilit lehernya. Apakah ia mati dicekik seseorang? Seseorang yang telah menikmati tubuhnya juga, dan kemudian membunuhnya? Edan! Pelacur itu benar-benar mati dalam keadaan yang menyedihkan. Tak terasa air mataku menetes. Aku tak percaya bahwa orang tak beragama sepertiku bisa menangis, yang artinya, aku masih memiliki perasaan. Aku kira kehidupan ini sudah tidak memiliki arti apapun di mataku, ternyata hal itu tidak sepenuhnya tepat. Aku masih bisa merasa kehilangan. Aku merasa kehilangan seorang wanita yang konon disebut orang sebagai pendosa, sebagai orang hina, sebagai penghuni neraka. Aku benar-benar penasaran, apa yang telah ia lakukan sampai dipandang serendah itu? Apa hanya karena ia menjual harga dirinya? Setidaknya dia masih memiliki harga! Aku tidak paham kenapa orang-orang mencibirnya dengan sebegitu kentara. Bukankah pelacur itu telah berkorban untuk memberi kenikmatan kepada orang-orang penuh nafsu dengan bayaran yang sama sekali tidak sepadan? Apakah mereka yang menyewa pelacur tidak sama buruknya dengan pelacur itu, atau bahkan lebih buruk? Apa mereka yang datang ke sini merasa lebih baik dari pelacur itu? Lalu, apakah tujuan mereka datang ke sini bukanlah suatu kehinaan? Terlalu banyak orang yang tidak mau berkaca. Terlalu banyak orang yang merasa dirinya paling benar. Terlalu banyak orang yang merasa terhindar dari dosa. Terlalu banyak orang yang merasa dirinya paling suci! Cuih!
Kudekati mayat pelacur itu. Wajahnya masih secantik seperti ketika ia hidup. Ia tak harus merasakan lagi penderitaan di dunia ini, tetapi apakah setelah kematiannya ia tidak akan mengalami penderitaan lagi? Aku tahu bahwa ia menjadi pelacur bukan karena kehendaknya. Ia menjadi pelacur karena ancaman tuhan. Ya, tuhan yang banyak dipuja-puji oleh orang kebanyakan. Tuhan yang konon bisa memberi ketentraman, ketenangan, kemashyuran, dan kebahagiaan. Tuhan yang banyak dipuji oleh mereka telah menyeret seorang gadis suci menjadi seorang pelacur yang hina di mata manusia. Dan hari ini, ia mati dalam keadaan yang hina pula. Beberapa pasang mata kini mulai mengalihkan perhatiannya padaku. Tangisanku akhirnya pecah tanpa aku sadari. Mereka akhirnya memasang tatapan yang sama padaku seperti mereka menatap pelacur itu—sinis. Kuseka air mata dan pipiku yang basah. Kugenggam tangan pelacur itu. Dingin. Aku masih ingin menangis, namun aku sadar, air mataku hanya akan membuat banyak orang berpikir tidak karuan. Tidak satu orang pun yang menangis di sana. Ya, mereka sedikit pun tidak terlihat bersedih. Mereka malah tertawa sinis, berbisik-bisik, mengumpat. Apakah benar mereka orang-orang beragama? Ah! Anjing!